Kubur Nona Bertha di Talete. |
Dekat dengan makam penginjil besar Tomohon
Pendeta Nicolaas Philip Wilken, di lokasi pekuburan umum Kelurahan Talete, terdapat sebuah kubur sederhana dari nona ini.
Masih terbaca tulisan di nisannya meski sudah sangat usang, Gysbertha C.Krook, lahir 30
November 1850, meninggal 16 Maret 1886.
Nona ini baru berusia 26 tahun ketika
meninggal. Gara-gara kolera yang mewabah di seluruh Minahasa.
Nona Bertha, panggilannya, bukan sembarang
nona. Karena dia adalah direktris pertama dari Meisjesschool atau Sekolah Nona. Sekolah yang mencatatkan sejarah,
sebagai sekolah pertama untuk jenis demikian di seluruh Indonesia (masih
Hindia-Belanda).
Sekolah ini dibuka dengan sangat meriah di Tomohon
tanggal 1 November 1881.
Bangunan sekolah dan asrama masih memanfaatkan
bekas rumah Pendeta Wilken di Talete serta bekas gedung Sekolah Penolong Injil.
Murid pertamanya hanya 15 putri, berasal dari berbagai tempat di Minahasa. Mereka adalah
putri para kepala. Mereka akan menerima pendidikan Eropa, sementara lainnya sekedar
sebagai pengunjung sekolah.
Sekolah yang ditangani satu lembaga khusus dari
NZG di Rotterdam Belanda ini bertujuan menjadikan para nona calon ibu rumah
tangga yang layak. Sebagai perempuan terpelajar, sehingga tidak kalah dengan
laki-laki. Masa itu, ada kesenjangan di antara mereka. Dengan pendidikan,
laki-laki dan perempuan diharapkan akan saling memahami dan menghargai. Menurut Louwerier dan Jan Nannes Wiersma Hulpprediker Ratahan, itu satu-satunya
cara menuju kebahagiaan pernikahan sejati dan kehidupan rumah tangga.
Karena muridnya putri para kepala dan tinggal
berasrama, sekolahnya bernama De Meisjes-, kost-en dagschool atau Kost-en
Dagschool voor Dochters van Hoofden en Aaanzienlijken in de Minahasa.
Salah satu murid awal adalah Raumanen Wenas,
putri dari Kepala Distrik Tomohon Majoor Herman Wenas. Namun, gadis berusia 15
tahun ini meninggal 1 Januari 1885.
Nona Bertha yang bernama lengkap Gijsbertha
(Gysbertha) Catharina Krook lahir di ‘s Gravenhage Belanda. Sebelumnya sebagai guru Normaalschool
di Zetten. Ketika masih banyak kekhawatiran dengan kondisi di Minahasa, ia dengan suka cita mengajukan diri menerima pekerjaan tersebut. Ia tiba di Manado pertengahan September 1881 bersama Nona W.C.de
Ligt yang ditunjuk menjadi guru mendampinginya. Beberapa hari kemudian mereka sampai
di Tomohon, sebelum pembukaan sekolah. Keduanya segera mempelajari bahasa
Melayu.
Pengaruhnya terhadap para murid sangat bagus. Ia dicintai mereka yang selalu menghadiahinya bunga yang digemarinya. Louwerier selalu melihatnya dikerumuni di waktu senggang
Metode pendidikan yang diajarkannya di Sekolah Nona dipuji sangat baik.
Pujian tertinggi untuk pendidikan di sekolah ini disampaikan Inspektur Pendidikan di Wilayah Tiga Meyl yang berkunjung bulan September 1885. Kemudian pula pujian dari Ds.Wieland (Predikant Manado Petrus Thomas Wieland) yang membezuk sekolah 3 November 1885. Wieland memiliki kesan baik dan menyenangkan melihat hasil dan pekerjaan bagus dari Nona Bertha dan rekan gurunya Nona de Ligt.
Nicolaas Graafland, bekas Direktur Kweekschool Tanawangko dan menjabat Ajun Inspektur Pendidikan Wilayah Lima yang melihat bersama Louwerier gaya pembelajaran Nona Bertha sangat kagum, karena sangat jelas dan mudah dipahami.
Metode pendidikan yang diajarkannya di Sekolah Nona dipuji sangat baik.
Pujian tertinggi untuk pendidikan di sekolah ini disampaikan Inspektur Pendidikan di Wilayah Tiga Meyl yang berkunjung bulan September 1885. Kemudian pula pujian dari Ds.Wieland (Predikant Manado Petrus Thomas Wieland) yang membezuk sekolah 3 November 1885. Wieland memiliki kesan baik dan menyenangkan melihat hasil dan pekerjaan bagus dari Nona Bertha dan rekan gurunya Nona de Ligt.
Nicolaas Graafland, bekas Direktur Kweekschool Tanawangko dan menjabat Ajun Inspektur Pendidikan Wilayah Lima yang melihat bersama Louwerier gaya pembelajaran Nona Bertha sangat kagum, karena sangat jelas dan mudah dipahami.
Nona Bertha dianggap menjadi berkah bagi
banyak gadis di Minahasa selama hampir lima tahun memimpin sekolah tersebut.
Masa depan kaum wanita Minahasa sangat menjanjikan.
Namun, wabah kolera telah mengakhiri pekerjaannya.
Penilik sekolah, Hulpprediker Tomohon Jan Louwerier, yang telah mencita-citakan sekolah ini sejak Oktober 1876 mengaku wabah tersebut tidak dicurigainya terjadi di Tomohon. Kendati sejak beberapa bulan sebelumnya, epideminya telah melanda Tondano.
Penilik sekolah, Hulpprediker Tomohon Jan Louwerier, yang telah mencita-citakan sekolah ini sejak Oktober 1876 mengaku wabah tersebut tidak dicurigainya terjadi di Tomohon. Kendati sejak beberapa bulan sebelumnya, epideminya telah melanda Tondano.
Louwerier tidak bercuriga, ketika dalam satu malam
di bulan November 1885, di salah satu wijk
(kampung) di Tomohon sebanyak 97 orang terkena penyakit perut. Ia tidak melihat
ada kasus kolera, karena obat-obatan yang dikirimnya, memulihkan mereka semua.
Tomohon tetap aman, ketika di tempat lain
kematian banyak dilaporkan.
Namun, tanggal 2 Maret 1886 Kepala Kampung (Hukum
Tua) Talete meninggal. Padahal, sang kepala tetap beraktivitas biasa, hadir
dalam pertemuan yang dipimpin Louwerier. Bahkan pada Minggu 28 Februari ia
masih menunggang kuda di kebun kopi. Tapi, pada jam 2 malam ia meninggal. Jam 5
sore tanggal 5 Maret ia dikuburkan
dengan penghormatan Kabasaran.
Sejak hari itu, ada kematian setiap hari.
Kematian akibat penyakit ini hanya butuh beberapa jam.
Tapi, Louwerier belum berani memastikan bahwa
kolera terjadi di Tomohon.
Tanggal 9 Maret jam setengah dua pagi, ia
dipanggil menemui janda dari Efraim Lasut, Guru Genootschapschool Tomohon yang
telah meninggal pada Oktober 1884. Nyora guru ini adalah saudara dari kepala
tadi. Memiliki 8 anak, yang termuda berusia 5 tahun. Ia meninggal sore harinya.
Louwerier mengambil salahsatu dari anaknya, sementara Nona Bertha mengambil
tiga anak untuk dididik.
Kini Louwerier tidak meragukan kasus sporadis
itu disebabkan kolera. Ia bertindak cepat, mengambil tindakan pencegahan,
memberi tahu orangtua murid Sekolah Nona yang segera menjemput putri mereka.
Tidak ada di antara murid Nona Bertha yang sakit.
Minggu 14 Maret Nona Bertha masih menghadiri
kebaktian di gereja yang dipimpin Pendeta Louwerier.
Senin pagi 15 Maret Nona Bertha beraktivitas
biasa pula. Jam satu ia masih melihat api di dekat sekolah. Sore jam enam, ia
menemani percakapan bersama Louwerier dan Kruijt (Zendeling Hendrik Cornelis Kruijt, Direktur
Kweekschool voor Inlandsche onderwijzers
di Tanawangko, kelak bertugas di Deli).
Di malam hari jam 7, ia membicarakan bersama
Nona de Ligt surat yang diterimanya dari awal Januari. Ketika Nona Bertha pergi
tidur, ia mengambil pekerjaan tangan, yakni gaun untuk Nyonya van de Liefde (istri
Hulpprediker Amurang Cornelis Johannes van de Liefde), yang telah dikerjakannya
selama beberapa waktu.
Nona Bertha selalu berkata adalah memalukan
untuk tidur lebih awal. Lebih dari sekali Louwerier harus menegurnya karena
tidak cukup beristirahat.
Dari pengakuan Nona Bertha kepada Nona de
Ligt, dia merasa sakit selama tiga jam, tapi tidak memanggil siapa pun. Ia
datang ke kamar Nona de Ligt untuk membangunkannya, tapi memintanya tidak
memberitahu Louwerier, karena menurutnya terlalu dini.
Ternyata sebelum memanggil Nona de Ligt, ia
menulis surat kepada ibunya di Belanda. Louwerier kemudian menemukannya.
Agaknya Nona Bertha sudah merasakan akhirnya. Tapi di surat itu ia juga
berbicara dengan pasti harapan penuh kebahagian yang memenuhi dirinya.
Meski pun Nona Bertha melarang, Louwerier langsung
dipanggil, dan Louwerier segera merasakan ketakutan akan hal terburuk.
Awalnya Nona Bertha sedikit gugup, namun segera tenang seperti sifatnya. Nona de Ligt merawatnya dengan telaten. Kruijt ikut menjaga si sakit. Begitu pun istri Louwerier yang anak laki-lakinya sedang sakit.
Awalnya Nona Bertha sedikit gugup, namun segera tenang seperti sifatnya. Nona de Ligt merawatnya dengan telaten. Kruijt ikut menjaga si sakit. Begitu pun istri Louwerier yang anak laki-lakinya sedang sakit.
Jam 8 pagi, ia meminta Louwerier berdoa
bersama, dan Nona Bertha tampak lebih tenang. Namun, tiba-tiba keluar keluhan
kecilnya mengingati ibu tercintanya. Setelah berdoa lagi, Louwerier bertanya
kalau ingin mendengar mereka bernyanyi, yang diangguknya. Louwerier dan Kruijt
menyanyi bersama.
Ketika rasa sakitnya meningkat, Nona Bertha
berusaha menahan keluhannya. Ia bersikeras agar mereka harus makan. Louwerier
yang beranjak terakhir. Namun, belum tiba di rumahnya, ia dipanggil. Nona
Bertha tidak sadar berkali. Ketika sadar terakhir kali, ia mengenali beberapa
orang yang datang menemuinya.
Sekitar setengah tiga tanggal 16 Maret, ia meninggal dengan tenang.
Sore hari tanggal 17 Maret Nona Bertha dimakamkan di dekat makam Pendeta Wilken dengan diantar banyak pelayat, antaranya para muridnya. Hulpprediker Sonder Johann Albert Traugott Schwarz memimpin ibadah penguburannya.
Nona de Ligt (kelak kawin dengan Kruijt) ditunjuk menggantikannya sebagai Direktris.***
Sore hari tanggal 17 Maret Nona Bertha dimakamkan di dekat makam Pendeta Wilken dengan diantar banyak pelayat, antaranya para muridnya. Hulpprediker Sonder Johann Albert Traugott Schwarz memimpin ibadah penguburannya.
Nona de Ligt (kelak kawin dengan Kruijt) ditunjuk menggantikannya sebagai Direktris.***
-----
Foto: Defdy Didi
Sigar.
Sumber tulisan: Maandberigt
van het Nederlandsche Zendelinggenootschap No.7 tahun 1886 dan Januari
1890.
Terima kasih buat informasi sejarahnya.. Banyak informasi baru yg saya dapatkan..
BalasHapusYa, saya merasa perlu, agar detil masa lalu bole diingat.
BalasHapus