Kamis, 04 Juli 2019

Legenda Rurukan




Lukisan J.Sumanti, dengan pal bertera 1850.





Asal mula tercetusnya nama Rurukan, sekarang dua kelurahan di Kecamatan Tomohon Timur (Rurukan dan Rurukan Satu) banyak versi.

Bahkan, legendanya dari waktu ke waktu terus berkembang. Meski intinya sama tentang uji bertahan dalam air.

Konon, di masa lalu, menjadi adat dan tradisi dari penduduk Tomohon dan umumnya orang Minahasa adalah menguji apakah seseorang berbohong atau jujur dengan harus menyelam dan bertahan di dalam air.

Legenda ini menjadi cerita rakyat turun-temurun sejak Rurukan menjadi satu negeri di Distrik Tomohon bulan April 1848. [1]

Legenda Rurukan tampil dalam versi-versi berbeda, sebab bukan sekedar tuturan baru. Dua kisah diantaranya sudah sangat tua. Telah dicatatkan, bahkan dipublikasikan secara meluas di abad ke-19, melalui dua koran harian besar yang terbit di Pulau Jawa.

Menjelang akhir abad tersebut, Rurukan telah menjadi objek rekreasi penting
dari kalangan Belanda, setelah Alfred Russel Wallace tinggal di Rurukan 23 Juni-3 Juli 1859 dan publikasi buku terkenalnya‘’Malay Archipelago’’ tahun 1869.

Ketika itu negeri di lereng Gunung Mahawu ini masih menjadi negeri paling tinggi di seluruh Minahasa (Kentur Temboannya 962 meter dpl). Selain berudara segar, memiliki pemandangan indah pelabuhan Kema, Pulau Lembeh, Gunung Klabat dan Dua Sudara.

Penulis pertama adalah seorang pendeta (Hulpprediker) terkenal Minahasa utusan Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG), yakni Jan Bodde, yang berkarya injil di Kumelembuai Minahasa Selatan sejak 18 Mei 1881 hingga 1888.

Ia mengunjungi Rurukan tahun 1883. Dari wawancaranya dengan penduduk Rurukan ketika itu terbit tulisan berkaitan legenda Rurukan di harian De Locomotief Semarang tanggal 5 September 1883.

Ini berarti kisahnya telah berumur hampir 136 tahun.

Asal nama Rurukan, menurut Jan Bodde, adalah mirip dengan negeri lain di Minahasa. Dari sungai kecil yang mengalir di situ, yang memperoleh namanya dari kisah seorang pemburu trampil dengan budaknya.

Meski tidak menyebut nama sang pemburu, tapi ia mencatatnya sebagai seorang Tonaas dari Tomohon. Keduanya pergi berburu. Seperti kebiasaan pada saat itu, mereka tinggal selama beberapa hari dan bermalam di hutan. Karenanya mereka membangun satu pondok terletak pada satu sungai kecil yang belum diketahui namanya.

Setiap berburu, sang Tonaas akan mengambil yang terbaik yakni hati dan jantung buruannya, dipisahkan dan disimpan dalam bambu. Dia hanya memakan ini dan sesuai adat kebiasaan tidak membagikan pada budaknya. Tidak perduli berapa banyak pun hasil yang diperoleh.

Suatu hari sang pemburu kembali menangkap babi hutan yang kemudian disembelih. Ia meninggalkan buruan dijaga budaknya karena masih mengawasi binatang buruan lain. Tapi, ketika kembali jantung babinya telah dicuri. Entah oleh budak atau oleh anjing, dia tidak tahu. Dia berpikir tidak ada orang lain lagi yang melakukannya, selain budaknya.  

Tetapi budak itu membantah dan berkata: ‘’Aku berani sumpah, karena aku tidak mencurinya.’’

Tidak puas, Tonaas berkata kepada hambanya. ‘’Mari kita bersumpah, pergi ke sungai dan bertahan bersembunyi di dalam air (tamilalem). JIka kau pertama kali keluar, maka kau benar-benar pencuri. Dan, jika saya lebih dulu keluar, maka kau tentu tidak mencuri.’’

Tapi, ia kemudian melanjutkan kalimatnya, ’’Sebagai pengganti saya, di sini saya akan masukkan tombak (rurukan) ke dalam air.’’

Hal itu segera dilakukannya. Tonaas memegang tombak di satu ujung, sementara yang lain sudah di dalam air.

Budak itu menjawab: ‘’Tuan, bagaimana saya bisa bertahan dengan tombak di dalam air ? Itu tidak mungkin, karena meski pun tombak itu tetap ada seratus tahun di dalam air, dia akan tetap di sana, kecuali seseorang menariknya.’’

Tetapi pemburu itu mendesaknya untuk tetap melakukan syaratnya, dan sang budak mengikutnya sebagai seorang hamba yang taat.

Maka, pada hitungan ketiga, manusia dan tombak telah berada di dalam air.

Tiba-tiba, pemburu melihat seekor babi hutan (songkei) yang besar. Cepat dia mengambil tombaknya dari air dan memburu binatang itu. Tidak jauh dari situ babi tersebut tertikam olehnya.

Budak tersebut keluar dari air. Ikut tuannya dan berteriak: ‘’Tuan, tombakmu keluar dari air lebih cepat dari saya,’’

Sang budak membantunya menyembelih babi hutan. Tapi, tanpa henti dia terus berkata, ‘’Bagaimana sekarang, tuan. Tombakmu keluar dari air lebih cepat dari saya.’’

Pemburu itu diam sejenak, kemudian mulai tersenyum dan berkata, ‘’Itu benar. Kamu tidak bersalah. Engkau adalah pelayan yang jujur.’’

Ketulusan budak itu mengantarnya menjadi manusia bebas di masa berikut.

Dikatakan orang-orang Rurukan, menurut Jan Bodde, setelah kejadian itu, si pemburu memutuskan bahwa sungai tempat terjadinya peristiwa itu, untuk selanjutnya dinamai sungai Rurukan.

 

MAKALEN

Tulisan kedua terbit hampir 7 tahun setelah tulisan Jan Bodde. Penulisnya hanya menginisialkan namanya sebagai A, dan tulisan berjudul  ‘’De waterproof’’ (Uji atau tes air) darinya dimuat harian Java Bode di Batavia (Jakarta) tanggal 26 April 1890. 

Kalau dihitung dari sekarang berarti kisah Rurukan ini berusia lebih 119 tahun.

Penulis memberi pengantar bahwa di antara orang Kristen, tapi terutama di kalangan orang kafir (heidenen) masa itu masih ada kebiasaan lama, yakni semacam tes air untuk mengungkap kebenaran dalam kasus yang meragukan. Kisah ini, menurutnya merupakan asal-usul dari kebiasaan tersebut.

Alkisah, ada seorang pria tua bernama Makalen. Tempat tinggalnya tidak diketahui. Makalen ini memiliki sejumlah burung elang dan budak yang menemaninya ketika dia dengan senjata tombaknya pergi ke hutan dari waktu ke waktu untuk berburu. Di tengah hutan, di tepi sebuah sungai ia biasa mendirikan sabuah kecil (terung) untuk tempat berteduh selama musim berburu.

Suatu hari, ketika berada di terungnya Makalen memerintahkan budaknya menyiapkan makanan untuk persiapan berburu. Sementara di terung itu, ia menuduh budaknya mencuri pinang dari saku (sompoi) pakaiannya.

Bahkan, Makalen yang sedang bersuasana hati buruk menambah tuduhannya kalau sang budak telah mengambil pula sebagian daging santapannya.

Budak itu berkata: ‘’Tuanku tahu bahwa aku telah melayanimu dengan setia selama bertahun-tahun dan tidak pernah mencuri sedikit pun, bahkan sepotong pinang atau sepotong daging. Mengapa tuanku berbicara demikian kepada hambanya?’’

Makalen merasa bahwa budak itu mengatakan yang sebenarnya, tetapi dia tidak ingin kehilangan muka oleh seorang budak. Karena itu ia menjawab dengan cara kasar, ‘’Diam. Kita akan menyelam bersama. Ketika tombak diangkat pertama, kebohonganmu akan terungkap.’’

‘’Bagus, tuan, aku akan memenuhi perintahmu,’’ jawab budak itu.

Keduanya kemudian melompat dengan tombak masing-masing ke sungai, menyelam dalam air.

Tiba-tiba Makalen melihat babi hutan, dan dia dengan cepat mengangkat tombaknya untuk membunuhnya. Tapi, ketika dia melihat dengan baik, dia menyadari bahwa babi tersebut hanya khayalannya.

Budak itu mengangkat kepalanya dan bertanya apa yang sedang terjadi. 

Makalen memberitahunya tentang kesalahannya, tetapi menambahkan bahwa mereka akan mengulangi tes sekali lagi. Tetapi kali ini tanpa tombak. Hanya dengan sekedar memegang jempol kaki di bawah air.

Mereka hanya melakukan ini untuk waktu yang singkat ketika Makalen dengan jerit kesakitan menarik kakinya keluar dari air. Seekor udang besar menggigitnya di jempol kaki.

Terhadap pertanyaan budak mengapa dia menarik kakinya, dia menjawab: ‘’Budak, yang menang kau. Saya salah. Mulai saat ini, mari kita serahkan perkara begini kepada para dewa yang pasti akan menunjuk siapa yang berbicara benar atau berbohong. Jika ada orang lain yang menuduhmu salah dan tidak ada saksi yang bisa mengungkap kebenaran, untuk mengetahui kebenaran harus menyelam bersama di dalam air dengan cara sama seperti yang baru kita lakukan. Jadi, para dewa akan menunjukkan siapa pembohong.’’

Maka, dari kejadian tersebut, menyelam dalam keadaan untuk mengetes kejujuran menjadi populer di Minahasa.

Sungai tempat Makalen dan budaknya memakai nama Rurukan, dan di tempat terungnya berdiri sekarang adalah negeri dengan nama yang sama.

Pendeta Nicolaas Philip Wilken sendiri menyebut tokoh dalam kisah Makalen ini bernama Makalew.

PANGKEY POSUMAH

Hampir sama dengan kejadian yang dituturkan penduduk Rurukan kepada Pendeta Jan Bodde tahun 1883 dan kepada penulis A tahun 1890, adalah kisah ketiga yang saya dengar di awal tahun 1980-an. 

Namun tokoh tonaasnya bernama Pangkey Posumah dari Talete Tomohon.




------------
  • [1]. Menurut Wallace berdiri tahun 1849. Tapi ada pula berpendapat berdiri tahun 1850.

Sumber lukisan: koleksi Het Geheugen van Nederland.
Sumber tulisan: buku ‘’Riwayatmu Tomohon’’ 1986, buku ‘’Tomohon Kotaku’’ 2006, naskah ‘’Tomohon Dulu dan Kini’’, serta Delpher Kranten.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.