Lukisan J.Sumanti, dengan pal bertera 1850. |
Asal mula tercetusnya nama Rurukan, sekarang dua
kelurahan di Kecamatan Tomohon Timur (Rurukan dan Rurukan Satu) banyak versi.
Bahkan, legendanya dari waktu ke waktu terus
berkembang. Meski intinya sama tentang uji bertahan dalam air.
Konon, di masa lalu, menjadi adat dan tradisi
dari penduduk Tomohon dan umumnya orang Minahasa adalah menguji apakah
seseorang berbohong atau jujur dengan harus menyelam dan bertahan di dalam air.
Legenda ini menjadi cerita rakyat
turun-temurun sejak Rurukan menjadi satu negeri di Distrik Tomohon bulan April
1848. [1]
Legenda Rurukan tampil dalam versi-versi
berbeda, sebab bukan sekedar tuturan baru. Dua kisah diantaranya sudah sangat
tua. Telah dicatatkan, bahkan dipublikasikan secara meluas di abad ke-19,
melalui dua koran harian besar yang terbit di Pulau Jawa.
Menjelang akhir abad tersebut, Rurukan telah
menjadi objek rekreasi penting
dari kalangan Belanda, setelah Alfred Russel Wallace
tinggal di Rurukan 23 Juni-3 Juli 1859 dan publikasi buku terkenalnya‘’Malay
Archipelago’’ tahun 1869.
Ketika itu negeri di lereng Gunung Mahawu ini
masih menjadi negeri paling tinggi di seluruh Minahasa (Kentur Temboannya 962 meter
dpl). Selain berudara segar, memiliki pemandangan indah pelabuhan Kema, Pulau Lembeh,
Gunung Klabat dan Dua Sudara.
Penulis pertama adalah seorang pendeta (Hulpprediker) terkenal Minahasa utusan Nederlandsch
Zendeling Genootschap (NZG), yakni Jan Bodde, yang berkarya injil di
Kumelembuai Minahasa Selatan sejak 18 Mei 1881 hingga 1888.
Ia mengunjungi Rurukan tahun 1883. Dari wawancaranya
dengan penduduk Rurukan ketika itu terbit tulisan berkaitan legenda Rurukan di
harian De Locomotief Semarang tanggal 5 September 1883.
Ini berarti kisahnya telah berumur hampir 136
tahun.
Asal nama Rurukan, menurut Jan Bodde, adalah
mirip dengan negeri lain di Minahasa. Dari sungai kecil yang mengalir di situ,
yang memperoleh namanya dari kisah seorang pemburu trampil dengan budaknya.
Meski tidak menyebut nama sang pemburu, tapi
ia mencatatnya sebagai seorang Tonaas dari Tomohon. Keduanya pergi berburu.
Seperti kebiasaan pada saat itu, mereka tinggal selama beberapa hari dan
bermalam di hutan. Karenanya mereka membangun satu pondok terletak pada satu sungai
kecil yang belum diketahui namanya.
Setiap berburu, sang Tonaas akan mengambil
yang terbaik yakni hati dan jantung buruannya, dipisahkan dan disimpan dalam
bambu. Dia hanya memakan ini dan sesuai adat kebiasaan tidak membagikan pada
budaknya. Tidak perduli berapa banyak pun hasil yang diperoleh.
Suatu hari sang pemburu kembali menangkap
babi hutan yang kemudian disembelih. Ia meninggalkan buruan dijaga budaknya
karena masih mengawasi binatang buruan lain. Tapi, ketika kembali jantung
babinya telah dicuri. Entah oleh budak atau oleh anjing, dia tidak tahu. Dia berpikir
tidak ada orang lain lagi yang melakukannya, selain budaknya.
Tetapi budak itu membantah dan berkata: ‘’Aku
berani sumpah, karena aku tidak mencurinya.’’
Tidak puas, Tonaas berkata kepada hambanya.
‘’Mari kita bersumpah, pergi ke sungai dan bertahan bersembunyi di dalam air (tamilalem). JIka kau pertama kali
keluar, maka kau benar-benar pencuri. Dan, jika saya lebih dulu keluar, maka
kau tentu tidak mencuri.’’
Tapi, ia kemudian melanjutkan kalimatnya, ’’Sebagai
pengganti saya, di sini saya akan masukkan tombak (rurukan) ke dalam air.’’
Hal itu segera dilakukannya. Tonaas memegang
tombak di satu ujung, sementara yang lain sudah di dalam air.
Budak itu menjawab: ‘’Tuan, bagaimana saya
bisa bertahan dengan tombak di dalam air ? Itu tidak mungkin, karena meski pun
tombak itu tetap ada seratus tahun di dalam air, dia akan tetap di sana, kecuali
seseorang menariknya.’’
Tetapi pemburu itu mendesaknya untuk tetap
melakukan syaratnya, dan sang budak mengikutnya sebagai seorang hamba yang
taat.
Maka, pada hitungan ketiga, manusia dan
tombak telah berada di dalam air.
Tiba-tiba, pemburu melihat seekor babi hutan
(songkei) yang besar. Cepat dia
mengambil tombaknya dari air dan memburu binatang itu. Tidak jauh dari situ
babi tersebut tertikam olehnya.
Budak tersebut keluar dari air. Ikut tuannya
dan berteriak: ‘’Tuan, tombakmu keluar dari air lebih cepat dari saya,’’
Sang budak membantunya menyembelih babi hutan.
Tapi, tanpa henti dia terus berkata, ‘’Bagaimana sekarang, tuan. Tombakmu
keluar dari air lebih cepat dari saya.’’
Pemburu itu diam sejenak, kemudian mulai
tersenyum dan berkata, ‘’Itu benar. Kamu tidak bersalah. Engkau adalah pelayan
yang jujur.’’
Ketulusan budak itu mengantarnya menjadi
manusia bebas di masa berikut.
Dikatakan orang-orang Rurukan, menurut Jan
Bodde, setelah kejadian itu, si pemburu memutuskan bahwa sungai tempat
terjadinya peristiwa itu, untuk selanjutnya dinamai sungai Rurukan.
MAKALEN
Tulisan kedua terbit hampir 7 tahun setelah
tulisan Jan Bodde. Penulisnya hanya menginisialkan namanya sebagai A, dan tulisan
berjudul ‘’De waterproof’’ (Uji atau tes air) darinya dimuat harian Java Bode di
Batavia (Jakarta) tanggal 26 April 1890.
Kalau dihitung dari sekarang berarti kisah Rurukan ini berusia lebih 119 tahun.
Kalau dihitung dari sekarang berarti kisah Rurukan ini berusia lebih 119 tahun.
Penulis memberi pengantar bahwa di antara
orang Kristen, tapi terutama di kalangan orang kafir (heidenen) masa itu masih ada kebiasaan lama, yakni semacam tes air
untuk mengungkap kebenaran dalam kasus yang meragukan. Kisah ini, menurutnya
merupakan asal-usul dari kebiasaan tersebut.
Alkisah, ada seorang pria tua bernama
Makalen. Tempat tinggalnya tidak diketahui. Makalen ini memiliki sejumlah
burung elang dan budak yang menemaninya ketika dia dengan senjata tombaknya
pergi ke hutan dari waktu ke waktu untuk berburu. Di tengah hutan, di tepi
sebuah sungai ia biasa mendirikan sabuah kecil (terung) untuk tempat berteduh selama musim berburu.
Suatu hari, ketika berada di terungnya
Makalen memerintahkan budaknya menyiapkan makanan untuk persiapan berburu.
Sementara di terung itu, ia menuduh budaknya mencuri pinang dari saku (sompoi) pakaiannya.
Bahkan, Makalen yang sedang bersuasana hati
buruk menambah tuduhannya kalau sang budak telah mengambil pula sebagian daging
santapannya.
Budak itu berkata: ‘’Tuanku tahu bahwa aku
telah melayanimu dengan setia selama bertahun-tahun dan tidak pernah mencuri
sedikit pun, bahkan sepotong pinang atau sepotong daging. Mengapa tuanku
berbicara demikian kepada hambanya?’’
Makalen merasa bahwa budak itu mengatakan
yang sebenarnya, tetapi dia tidak ingin kehilangan muka oleh seorang budak.
Karena itu ia menjawab dengan cara kasar, ‘’Diam. Kita akan menyelam bersama.
Ketika tombak diangkat pertama, kebohonganmu akan terungkap.’’
‘’Bagus, tuan, aku akan memenuhi perintahmu,’’
jawab budak itu.
Keduanya kemudian melompat dengan tombak
masing-masing ke sungai, menyelam dalam air.
Tiba-tiba Makalen melihat babi hutan, dan dia
dengan cepat mengangkat tombaknya untuk membunuhnya. Tapi, ketika dia melihat
dengan baik, dia menyadari bahwa babi tersebut hanya khayalannya.
Budak itu mengangkat kepalanya dan bertanya
apa yang sedang terjadi.
Makalen memberitahunya tentang kesalahannya,
tetapi menambahkan bahwa mereka akan mengulangi tes sekali lagi. Tetapi kali
ini tanpa tombak. Hanya dengan sekedar memegang jempol kaki di bawah air.
Mereka hanya melakukan ini untuk waktu yang
singkat ketika Makalen dengan jerit kesakitan menarik kakinya keluar dari air.
Seekor udang besar menggigitnya di jempol kaki.
Terhadap pertanyaan budak mengapa dia menarik
kakinya, dia menjawab: ‘’Budak, yang menang kau. Saya salah. Mulai saat ini,
mari kita serahkan perkara begini kepada para dewa yang pasti akan menunjuk
siapa yang berbicara benar atau berbohong. Jika ada orang lain yang menuduhmu
salah dan tidak ada saksi yang bisa mengungkap kebenaran, untuk mengetahui
kebenaran harus menyelam bersama di dalam air dengan cara sama seperti yang
baru kita lakukan. Jadi, para dewa akan menunjukkan siapa pembohong.’’
Maka, dari kejadian tersebut, menyelam dalam
keadaan untuk mengetes kejujuran menjadi populer di Minahasa.
Sungai tempat Makalen dan budaknya memakai
nama Rurukan, dan di tempat terungnya berdiri sekarang adalah negeri dengan
nama yang sama.
Pendeta Nicolaas Philip Wilken sendiri menyebut tokoh dalam kisah Makalen ini bernama Makalew.
Pendeta Nicolaas Philip Wilken sendiri menyebut tokoh dalam kisah Makalen ini bernama Makalew.
PANGKEY POSUMAH
Hampir sama dengan kejadian yang dituturkan
penduduk Rurukan kepada Pendeta Jan Bodde tahun 1883 dan kepada penulis A tahun
1890, adalah kisah ketiga yang saya dengar di awal tahun 1980-an.
Namun tokoh
tonaasnya bernama Pangkey Posumah dari Talete Tomohon.
------------
- [1]. Menurut Wallace berdiri tahun 1849. Tapi ada pula berpendapat berdiri tahun 1850.
Sumber lukisan:
koleksi Het Geheugen van Nederland.
Sumber tulisan: buku
‘’Riwayatmu Tomohon’’ 1986, buku ‘’Tomohon Kotaku’’ 2006, naskah ‘’Tomohon Dulu
dan Kini’’, serta Delpher Kranten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.