![]() |
Tomohon, dari Kuranga, tahun 1847. |
Talete, dua kelurahan di Kecamatan Tomohon
Tengah, pas di stad (pusat) Kota Tomohon, adalah salah satu dari dua negeri
awal di pusat kota Tomohon (bekas Distrik Tomohon). Ketuaannya telah dicatatkan
para penulis kita, bahkan oleh penulis barat. Negeri lain yang sama tuanya
adalah Kamasi.
Dari tradisi, jejak sejarahnya bahkan telah
ada sejak jaman purba, bahkan sebelum masa pembagian di Watu Pinewetengan,
ketika Kumiwel dan Lololing anak-anak Toar-Lumimuut dari kalangan Makarua Siow
datang berdiam di kawasan Talete.
Penulis Belanda terkenal Dr.Johan Friedrich
Gerhard Riedel mencatat Penghulu Kumiwel beserta istrinya Pahirangan dan tiga
anaknya menetap di satu bukit kecil Kuranga. Sementara Lololing dengan istrinya
Rinerotan dan enam anaknya pergi berdiam di satu bukit kecil bernama Puser in
Tana [1].
Pemukiman awal di lokasi Talete ini
dipastikan di masa berikut lenyap, mungkin diakibatkan oleh wabah penyakit yang
mematikan dan dianggap pembawa sial serta bencana. Atau karena peristiwa alam,
serta kebiasaan masa silam untuk selalu berpindah tempat.
Baru beberapa waktu setelah pembagian di Watu
Pinawetengan,
para pemukim Tomohon menyebar dari negeri Saru di lereng Gunung Masarang yang telah
dididirikan Tonaas Mokoagow alias Rori setelah persebaran penduduk Tombulu di
Maiesu.
Cucu-cucu Mokoagow masing-masing Mangantung
(Mangangantung), Mapalendeng-tinamberan, Pondaag, Mamengko, Gosal dan Sambuaga
mendirikan negeri-negeri yang membentuk Tomohon pertama. Menurut Riedel,
tempat-tempat ini adalah Limondok, Kamasi, Kinupit, Toumaajah, Rangihir,
Tounbuntu dan Lingkonkong.
Limondok atau ditulisnya dalam buku ‘’Inilah
Pintu Gerbang Pengatahuwan Itu’’ yang terbit tahun 1862 sebagai Limendok yang
dikenal sebagai Talete kemudian. Limondok atau sering ditulis penulis lain
sebagai Sumondak atau Lumondak, bermakna tempat atau bagian yang muncul atau
menonjol, karena letak bukitnya lebih di atas negeri-negeri lain yang memang
berada di tempat rata atau di bawahnya.
Pemukiman awal ini dekat dengan mata air
Sineleyan yang menjadi sumber utama air dan lokasi Pinati yang di masa silam menjadi tempat pengambilan waruga
penduduk. Nama Sineleyan dikisah tercetus dari wanita yang memakai ikat kepala
atau pita, para perempuan yang mengambil air untuk kebutuhan rumah tangganya, atau juga dikaitkan dengan legenda Leilei alias Lewlew.
Talete sebagai nama bagi negerinya diduga
kuat telah dipakai sejak awal, kendati Riedel menyebutnya Limondok. Mungkin
ketika ia mencari data untuk bukunya mendengar Talete ketika masih berada
di bukit Limondok itu.
Nama Talete tercatat pertama kali dalam
sejarah, dari memori serahterima jabatan Gubernur Maluku Dr.Robertus Padtbrugge
tahun 1682. Dengan mengutip laporan Residen Manado ketika itu Abraham Meyert
yang juga dicatat oleh penulis terkenal Belanda Francois Valentijn dalam buku
Oud en Nieuw Oost-Indien’’ tahun 1714. Talete yang ditulis sebagai Tontelette
(mungkin karena lafal dan aksen Talete dari sang residen) dicatat berpenduduk
sebanyak 80 awu (dapur, rumah tangga), sekitar 400 jiwa.
Talete disebut terpisah dengan negeri Tomohon
(ditulis Tomon) yang hampir menyatu dengan Kamasi (ditulis Cormasje) sama-sama
berpenduduk 800 awu (sekitar 4.000 jiwa). Tidak ada lagi negeri-negeri Kinupit,
Toumaajah, Rangihir, Tounbuntu dan Lingkonkong. Kuat dugaan penduduknya telah
terkonsentrasi di Tomohon, berada di Nimawanua (Kolongan sekarang). Ini
tergambarkan dari peta masa Padbrugge.
Jumlah penduduk hanya dari Talete ketika itu
sama banyak dengan Balak Tombasian. Bahkan, masih lebih banyak dari penduduk
Balak Sarongsong, Tonsea, Tompaso, Bantik dan Rumoong yang hanya berkisar 60-70
awu.
Asal nama Talete dipercayai dari kata Timete atau Taletena. Ini merujuk pada posisinya ketika itu yang harus dilewati
menggunakan titian (jembatan) dari bambu atau kayu. Selain karena posisinya
yang sulit, tujuan utama adalah demi pertahanan, ketika masih sering terjadi
perang antarnegeri. Limondok sendiri dikisah dibentengi buluh-buluh tui,
seperti umumnya negeri-negeri lain di Minahasa.
Namun, Talete pun dimaknai sebagai puncak
atau bubungan rumah paling atas atau pertemuan atap di atas rumah. Orang
menampak Talete di Limondok dari arah mana pun hanya melihat bubungan rumahnya,
ketika rumah-rumah penduduk masih besar berdiri di atas tiang dihuni lima
hingga delapan keluarga dan kawasan seputarannya masih lebat oleh pepohonan.
Talete pun diartikan pinggir bagian atas dari
jaring penangkap kelelawar, dikaitkan dengan kebiasaan penduduk menangkap
kelelawar yang sering mengganggu pemukiman. Ini pun dimaknai karena posisi
negerinya yang masa itu berada di bagian pinggiran Tomohon.
Tokoh legenda Talete adalah Lewlew atau Leilei,
dalam mitos disebut sebagai seorang wanita yang dikenal sebagai wanita penguasa
Sineleyan, yang oleh beberapa kalangan dipercaya dikuburkan di lokasi
berdekatan, masuk Talete Satu sekarang.
Meski demikian ada pendapat kuat apabila Lewlew adalah
seorang pria. Versi ini dari istrinya bernama Mananuner terlahir Paat, yang
menjadi Kepala Balak Tomohon pertama, terkenal dengan
nama Paat Kolano dan memperoleh pangkat Kepala Hukum Majoor. Dua saudara wanita
Lewlew lainnya Sumengkar diperistri Lontoh Kolano, Kepala Hukum Majoor lain
dari Sarongsong serta Suanen diperistri Pacat Supit Sahiri, Kepala Hukum Majoor
Tombariri.
Posumah, ayah Supit Sahiri, dipercaya
menjadi Kepala Talete, di masa perang pengusiran Spanyol dari Minahasa tahun
1644. Menurut sejarawan Minahasa H.M.Taulu, Posumah putra Kepala Pakasaan
Tomohon Worotikan (Lumi) inilah yang telah berhasil mengayau Kepala Spanyol di
Minahasa Petor Don Pedro Alkasas. Namun, Posumah ditutur mati muda, dan
istrinya Winuni dikawini Kepala Tombariri yang kemudian mengantar putranya
Supit di masa kemudian menjadi Kepala Balak Tombariri.
BACA: Silsilah Tombulu.
Kubur Posumah sendiri disebut berada di
lokasi Pinati, meski ada versi di dekat lokasi Pasuwengan pula.
Kepala Talete berikut adalah Mamuaja,
menantu Paat Kolano. Mamuaja dalam silsilah
tua Tomohon mengawini Liwun, putrinya, bersaudara dengan Manengkeimuri. Mamuaja ini menjadi kakek dari Lontoh Tuunan yang terkenal dalam perang Minahasa di Tondano 1808-1809.
Kemudian disebut pula Kepala Talete menjelang pergantian abad ke-18 yang juga
bernama Posumah, menurut sejarawan Tomohon Lodewijk Elisa Wenas sebagai Hukum [2] telah melakukan perlawanan terhadap Kompeni Belanda
sejak masa Residen J.D.Schierstein dan terutama masa Residen George Frederik
Durr.
BACA: Menyoal Residen Manado.
Talete di Limondok menurut kisah telah
ditinggalkan seusai perang Minahasa di Tondano (1808-1809). Banyak pemudanya
telah bergabung dengan Lontoh Tuunan ikut berperang di Minawanua Tondano
melawan Belanda, berakibat penduduk bercerai dan kemudian bermukim di pusat
negeri Tomohon, masih di Nimawanua Kolongan sekarang.
Werwer (kelak dibaptis Kristen tahun 1848 bernama
Lukas Wenas, hidup 1800-1881), turunan Tonsea, dan kemenakan Posumah menjadi
pemimpin Talete di Nimawanua. Di bawah pimpinannya dikirakan tahun 1831 ia
mengembalikan penduduk ke lokasi Talete sekarang.
Namun, kemungkinan kuat, penduduk telah
kembali sebelum tahun 1831. Botanis dan pendiri Kebun Raya Bogor Profesor
Caspar Georg Carl Reinwardt dalam buku ‘’Reize naar het Oostelijk gedeelte van
den Indischen Archipel’’ menyebut pada malam hari tanggal 17 Oktober 1821 ia
sempat berjalan-jalan (dengan berkuda) ke negeri kecil di dekatnya, yang kuat
dugaan adalah Talete. Ia mengungkapkan rasa anehnya, karena hampir tidak pernah
melihat wanita di negeri ini. ‘’Sudah menjadi kebiasaannya untuk pergi begitu
orang Eropa muncul,’’ tulisnya. [3].
Zendeling pertama Tomohon Johan Adam Mattern
ketika menginjakkan kaki pertama di Tomohon bulan Juli 1839 telah membangun
rumah tinggalnya di Talete, berdekatan stad Tomohon sekarang. Rumahnya tersebut kemudian
ditempati penggantinya Nicolaas Philip Wilken sejak April 1843.
Lukas Wenas kemudian diangkat menjadi Hoofd
(Hukum) Talete sejak tahun 1831. Ia masih sebagai Hukum ketika peristiwa gempa
bumi dahsyat tanggal 8 Februari 1845 terjadi. Masa penduduk Talete lari
mengungsi terutama di Nimawanua.
Pendeta Wilken mencatat di seluruh Tomohon, hanya
satu rumah yang tidak rusak. Selebihnya rusak parah (termasuk rumahnya). Dan,
yang benar-benar roboh sebanyak 45 rumah. Sementara korban tewas dicatat 14
orang dan 40 korban luka berat dan ringan.
Masa Wenas juga penduduk kembali ke Talete,
membangun negeri barunya di lokasi sekarang, mendekati pusat kota sekarang,
seperti negeri-negeri lain yang ikut pindah atau baru didirikan di pinggiran
ruas jalan yang telah dilewati gerobak. Rumah-rumah dibangun lebih sederhana,
umumnya, kata Wilken setinggi 3 hingga 6 kaki.
Lukas Wenas menurut keturunannya telah
membuat jalan dari Talete ke Kuranga dengan memotong lembah kecil sehingga
timbunan tanahnya telah membentuk danau kecil (telaga besar) Sineleyan. Ia pun
berhasil menguruk tanah di bagian utara rumah sakit GMIM Bethesda sekarang,
sebab sebelumnya lahan rawa-rawa.
Jabatannya terus menanjak. Tahun 1853 ketika
Majoor Ngantung Palar meninggal, ia naik menjadi Kepala Distrik Kedua dengan
gelar Hukum Kedua, mendampingi kemenakannya Majoor Roland Ngantung Palar yang
menjadi Kepala Distrik mengganti ayahnya. Kemudian, ia sendiri mengganti Roland
Ngantung sebagai Kepala Distrik dengan sekedar gelar Hukum Besar. ***
-----------
o
[1]. Diperkirakan lokasi Limondok, dekat mata air Sineleyan,
bahkan lokasi Pasuwengan di Kakaskasen sekarang.
o [2]. Sebutan lain dari
Kepala (Hoofd) Negeri yang yang masih
dipakai hingga pertengahan abad ke-19, kemudian dipilah lebih rinci untuk
negeri besar sebagai Hukum Tua dan negeri kecil sekedar Hukum.
o
[3]. Ada versi lain, penduduk sebenarnya baru
meninggalkan Limondok ketika terjadi peristiwa gempa bumi 1845. Lukas Wenas
yang telah menjadi Hoofd Talete memimpin penduduk kembali setelah usai gempa
gempa, dengan membangun Talete baru di lokasi sekarang mendekati ruas jalan
yang telah dilebarkan sejak awal tahun 1840-an. Namun ada tuturan lain, kalau
tokoh yang memimpin pemindahan pertama di tahun 1845 adalah Rampengan dengan
membawa 33 penduduk yang bertugas untuk menjaga Tomohon dari gangguan keamanan
akibat gempa bumi.
Sumber gambar:koleksi Sammlungen der Staatsbibliothek zu Berlin dari buku Ds.L.J.van Rhijn.
Sumber tulisan: Buku
‘’Riwayatmu Tomohon’’ 1986, buku ‘’Tomohon Kotaku’’ 2006 dan naskah ''Tomohon
Dulu dan Kini’’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.