Kamis, 18 Juli 2019

Talete dari Limondok



Tomohon, dari Kuranga, tahun 1847.





Talete, dua kelurahan di Kecamatan Tomohon Tengah, pas di stad (pusat) Kota Tomohon, adalah salah satu dari dua negeri awal di pusat kota Tomohon (bekas Distrik Tomohon). Ketuaannya telah dicatatkan para penulis kita, bahkan oleh penulis barat. Negeri lain yang sama tuanya adalah Kamasi.

Dari tradisi, jejak sejarahnya bahkan telah ada sejak jaman purba, bahkan sebelum masa pembagian di Watu Pinewetengan, ketika Kumiwel dan Lololing anak-anak Toar-Lumimuut dari kalangan Makarua Siow datang berdiam di kawasan Talete.

Penulis Belanda terkenal Dr.Johan Friedrich Gerhard Riedel mencatat Penghulu Kumiwel beserta istrinya Pahirangan dan tiga anaknya menetap di satu bukit kecil Kuranga. Sementara Lololing dengan istrinya Rinerotan dan enam anaknya pergi berdiam di satu bukit kecil bernama Puser in Tana [1].

Pemukiman awal di lokasi Talete ini dipastikan di masa berikut lenyap, mungkin diakibatkan oleh wabah penyakit yang mematikan dan dianggap pembawa sial serta bencana. Atau karena peristiwa alam, serta kebiasaan masa silam untuk selalu berpindah tempat.

Baru beberapa waktu setelah pembagian di Watu Pinawetengan, para pemukim Tomohon menyebar dari negeri Saru di lereng Gunung Masarang yang telah dididirikan Tonaas Mokoagow alias Rori setelah persebaran penduduk Tombulu di Maiesu.

                        BACA:Mengenang Distrik Kakaskasen.

Cucu-cucu Mokoagow masing-masing Mangantung (Mangangantung), Mapalendeng-tinamberan, Pondaag, Mamengko, Gosal dan Sambuaga mendirikan negeri-negeri yang membentuk Tomohon pertama. Menurut Riedel, tempat-tempat ini adalah Limondok, Kamasi, Kinupit, Toumaajah, Rangihir, Tounbuntu dan Lingkonkong.

Limondok atau ditulisnya dalam buku ‘’Inilah Pintu Gerbang Pengatahuwan Itu’’ yang terbit tahun 1862 sebagai Limendok yang dikenal sebagai Talete kemudian. Limondok atau sering ditulis penulis lain sebagai Sumondak atau Lumondak, bermakna tempat atau bagian yang muncul atau menonjol, karena letak bukitnya lebih di atas negeri-negeri lain yang memang berada di tempat rata atau di bawahnya.

Pemukiman awal ini dekat dengan mata air Sineleyan yang menjadi sumber utama air dan lokasi Pinati yang di masa silam menjadi tempat pengambilan waruga penduduk. Nama Sineleyan dikisah tercetus dari wanita yang memakai ikat kepala atau pita, para perempuan yang mengambil air untuk kebutuhan rumah tangganya, atau juga dikaitkan dengan legenda Leilei alias Lewlew.

Talete sebagai nama bagi negerinya diduga kuat telah dipakai sejak awal, kendati Riedel menyebutnya Limondok. Mungkin ketika ia mencari data untuk bukunya mendengar Talete ketika masih berada di bukit Limondok itu.

Nama Talete tercatat pertama kali dalam sejarah, dari memori serahterima jabatan Gubernur Maluku Dr.Robertus Padtbrugge tahun 1682. Dengan mengutip laporan Residen Manado ketika itu Abraham Meyert yang juga dicatat oleh penulis terkenal Belanda Francois Valentijn dalam buku Oud en Nieuw Oost-Indien’’ tahun 1714. Talete yang ditulis sebagai Tontelette (mungkin karena lafal dan aksen Talete dari sang residen) dicatat berpenduduk sebanyak 80 awu (dapur, rumah tangga), sekitar 400 jiwa.

Talete disebut terpisah dengan negeri Tomohon (ditulis Tomon) yang hampir menyatu dengan Kamasi (ditulis Cormasje) sama-sama berpenduduk 800 awu (sekitar 4.000 jiwa). Tidak ada lagi negeri-negeri Kinupit, Toumaajah, Rangihir, Tounbuntu dan Lingkonkong. Kuat dugaan penduduknya telah terkonsentrasi di Tomohon, berada di Nimawanua (Kolongan sekarang). Ini tergambarkan dari peta masa Padbrugge.


Jumlah penduduk hanya dari Talete ketika itu sama banyak dengan Balak Tombasian. Bahkan, masih lebih banyak dari penduduk Balak Sarongsong, Tonsea, Tompaso, Bantik dan Rumoong yang hanya berkisar 60-70 awu.

Asal nama Talete dipercayai dari kata Timete atau Taletena. Ini merujuk pada posisinya ketika itu yang harus dilewati menggunakan titian (jembatan) dari bambu atau kayu. Selain karena posisinya yang sulit, tujuan utama adalah demi pertahanan, ketika masih sering terjadi perang antarnegeri. Limondok sendiri dikisah dibentengi buluh-buluh tui, seperti umumnya negeri-negeri lain di Minahasa.

Namun, Talete pun dimaknai sebagai puncak atau bubungan rumah paling atas atau pertemuan atap di atas rumah. Orang menampak Talete di Limondok dari arah mana pun hanya melihat bubungan rumahnya, ketika rumah-rumah penduduk masih besar berdiri di atas tiang dihuni lima hingga delapan keluarga dan kawasan seputarannya masih lebat oleh pepohonan.

Talete pun diartikan pinggir bagian atas dari jaring penangkap kelelawar, dikaitkan dengan kebiasaan penduduk menangkap kelelawar yang sering mengganggu pemukiman. Ini pun dimaknai karena posisi negerinya yang masa itu berada di bagian pinggiran Tomohon.

Tokoh legenda Talete adalah Lewlew atau Leilei, dalam mitos disebut sebagai seorang wanita yang dikenal sebagai wanita penguasa Sineleyan, yang oleh beberapa kalangan dipercaya dikuburkan di lokasi berdekatan, masuk Talete Satu sekarang.

Meski demikian ada pendapat kuat apabila Lewlew adalah seorang pria. Versi ini dari istrinya bernama Mananuner terlahir Paat, yang menjadi Kepala Balak Tomohon pertama, terkenal dengan nama Paat Kolano dan memperoleh pangkat Kepala Hukum Majoor. Dua saudara wanita Lewlew lainnya Sumengkar diperistri Lontoh Kolano, Kepala Hukum Majoor lain dari Sarongsong serta Suanen diperistri Pacat Supit Sahiri, Kepala Hukum Majoor Tombariri.

Posumah, ayah Supit Sahiri, dipercaya menjadi Kepala Talete, di masa perang pengusiran Spanyol dari Minahasa tahun 1644. Menurut sejarawan Minahasa H.M.Taulu, Posumah putra Kepala Pakasaan Tomohon Worotikan (Lumi) inilah yang telah berhasil mengayau Kepala Spanyol di Minahasa Petor Don Pedro Alkasas. Namun, Posumah ditutur mati muda, dan istrinya Winuni dikawini Kepala Tombariri yang kemudian mengantar putranya Supit di masa kemudian menjadi Kepala Balak Tombariri.


Kubur Posumah sendiri disebut berada di lokasi Pinati, meski ada versi di dekat lokasi Pasuwengan pula.

Kepala Talete berikut adalah Mamuaja, menantu Paat Kolano. Mamuaja dalam silsilah tua Tomohon mengawini Liwun, putrinya, bersaudara dengan Manengkeimuri. Mamuaja ini menjadi kakek dari Lontoh Tuunan yang terkenal dalam perang Minahasa di Tondano 1808-1809.

Kemudian disebut pula Kepala Talete  menjelang pergantian abad ke-18 yang juga bernama Posumah, menurut sejarawan Tomohon Lodewijk Elisa Wenas sebagai Hukum [2] telah melakukan perlawanan terhadap Kompeni Belanda sejak masa Residen J.D.Schierstein dan terutama masa Residen George Frederik Durr.


Talete di Limondok menurut kisah telah ditinggalkan seusai perang Minahasa di Tondano (1808-1809). Banyak pemudanya telah bergabung dengan Lontoh Tuunan ikut berperang di Minawanua Tondano melawan Belanda, berakibat penduduk bercerai dan kemudian bermukim di pusat negeri Tomohon, masih di Nimawanua Kolongan sekarang.

Werwer (kelak dibaptis Kristen tahun 1848 bernama Lukas Wenas, hidup 1800-1881), turunan Tonsea, dan kemenakan Posumah menjadi pemimpin Talete di Nimawanua. Di bawah pimpinannya dikirakan tahun 1831 ia mengembalikan penduduk ke lokasi Talete sekarang.

Namun, kemungkinan kuat, penduduk telah kembali sebelum tahun 1831. Botanis dan pendiri Kebun Raya Bogor Profesor Caspar Georg Carl Reinwardt dalam buku ‘’Reize naar het Oostelijk gedeelte van den Indischen Archipel’’ menyebut pada malam hari tanggal 17 Oktober 1821 ia sempat berjalan-jalan (dengan berkuda) ke negeri kecil di dekatnya, yang kuat dugaan adalah Talete. Ia mengungkapkan rasa anehnya, karena hampir tidak pernah melihat wanita di negeri ini. ‘’Sudah menjadi kebiasaannya untuk pergi begitu orang Eropa muncul,’’ tulisnya. [3].

Zendeling pertama Tomohon Johan Adam Mattern ketika menginjakkan kaki pertama di Tomohon bulan Juli 1839 telah membangun rumah tinggalnya di Talete, berdekatan stad Tomohon sekarang. Rumahnya tersebut kemudian ditempati penggantinya Nicolaas Philip Wilken sejak April 1843.

Lukas Wenas kemudian diangkat menjadi Hoofd (Hukum) Talete sejak tahun 1831. Ia masih sebagai Hukum ketika peristiwa gempa bumi dahsyat tanggal 8 Februari 1845 terjadi. Masa penduduk Talete lari mengungsi terutama di Nimawanua.

Pendeta Wilken mencatat di seluruh Tomohon, hanya satu rumah yang tidak rusak. Selebihnya rusak parah (termasuk rumahnya). Dan, yang benar-benar roboh sebanyak 45 rumah. Sementara korban tewas dicatat 14 orang dan 40 korban luka berat dan ringan.

1845, Gempa Menghancurkan di Minahasa.             

Masa Wenas juga penduduk kembali ke Talete, membangun negeri barunya di lokasi sekarang, mendekati pusat kota sekarang, seperti negeri-negeri lain yang ikut pindah atau baru didirikan di pinggiran ruas jalan yang telah dilewati gerobak. Rumah-rumah dibangun lebih sederhana, umumnya, kata Wilken setinggi 3 hingga 6 kaki.

Lukas Wenas menurut keturunannya telah membuat jalan dari Talete ke Kuranga dengan memotong lembah kecil sehingga timbunan tanahnya telah membentuk danau kecil (telaga besar) Sineleyan. Ia pun berhasil menguruk tanah di bagian utara rumah sakit GMIM Bethesda sekarang, sebab sebelumnya lahan rawa-rawa.

Jabatannya terus menanjak. Tahun 1853 ketika Majoor Ngantung Palar meninggal, ia naik menjadi Kepala Distrik Kedua dengan gelar Hukum Kedua, mendampingi kemenakannya Majoor Roland Ngantung Palar yang menjadi Kepala Distrik mengganti ayahnya. Kemudian, ia sendiri mengganti Roland Ngantung sebagai Kepala Distrik dengan sekedar gelar Hukum Besar. ***


-----------

o   [1]. Diperkirakan lokasi Limondok, dekat mata air Sineleyan, bahkan lokasi Pasuwengan di Kakaskasen sekarang.
o   [2]. Sebutan lain dari Kepala (Hoofd) Negeri yang yang masih dipakai hingga pertengahan abad ke-19, kemudian dipilah lebih rinci untuk negeri besar sebagai Hukum Tua dan negeri kecil sekedar Hukum.
o   [3]. Ada versi lain, penduduk sebenarnya baru meninggalkan Limondok ketika terjadi peristiwa gempa bumi 1845. Lukas Wenas yang telah menjadi Hoofd Talete memimpin penduduk kembali setelah usai gempa gempa, dengan membangun Talete baru di lokasi sekarang mendekati ruas jalan yang telah dilebarkan sejak awal tahun 1840-an. Namun ada tuturan lain, kalau tokoh yang memimpin pemindahan pertama di tahun 1845 adalah Rampengan dengan membawa 33 penduduk yang bertugas untuk menjaga Tomohon dari gangguan keamanan akibat gempa bumi.


Sumber gambar:koleksi Sammlungen der Staatsbibliothek zu Berlin dari buku Ds.L.J.van Rhijn.
Sumber tulisan: Buku ‘’Riwayatmu Tomohon’’ 1986, buku ‘’Tomohon Kotaku’’ 2006 dan naskah ''Tomohon Dulu dan Kini’’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.