Minggu, 25 Agustus 2019

Wailan, Negeri Kaya Air






Gereja GMIM Wailan 2006.





Meski menjadi salah satu dari dua negeri paling bungsu di Kota Tomohon, sejarah berdirinya Wailan yang sampai tahun 1908 masih sebagai negeri dari Distrik Kakaskasen, paling bervariasi.

Pendirinya banyak disebut adalah Lefinus (Lepinus) Lala, dan kejadiannya dihikayatkan terjadi di tahun 1880-an. Ada versi pula pendiriannya terjadi tahun 1890 atau bahkan tahun 1895 dan juga 1897 dengan tokoh bernama Johan Sumendap, berperan sebagai kepala jaga jauh dari Kakaskasen. Kemudian pula, tahun 1900 dengan tokoh Ruland Polii yang disebut menjadi Hukum Tua pertama.

Bahkan, di tahun 1960-an berkembang kisah adanya tokoh bernama Mamarangbene yang telah lebih dulu datang ke Wailan, meski baru sekedar menjadikannya lahan perburuan dan bertanam padi dengan lawi atau terung kecil.

Tokoh Johan Sumendap termasuk pribadi kontroversial, sehingga mungkin namanya dianggap tidak layak sebagai Hukum Tua pertama. Namun, berdasar wawancara dan kisah para tua dan Hukum Tua Wailan di tahun 1960-an dan 1980-an, ia dipercaya menjadi pejabat Hukum Tua paling pertama. 1]

Justru, dokumen lama memang menyatakan kalau Johan Sumendap menjadi Hukum Tua pertama di tahun 1900 ketika Wailan resmi dinyatakan sebagai satu negeri baru dalam Distrik Kakaskasen. Salah satunya laporan Pendeta Tomohon Jan Louwerier kepada dewan pengurus NZG di Belanda tahun 1900,1903 dan 1909 yang menegaskan kalau Wailan baru menjadi satu negeri mandiri tahun 1900 dengan Johan Sumendap sebagai Hukum Tuanya. 2].

KAYA LEGENDA
Dalam berbagai legenda Tombulu, lokasi Wailan telah dihikayatkan ada sejak jaman para leluhur Minahasa. Sejarawan Tomohon Ibrahim Wilhelmus Palit mengisahkan pemukiman awal para leluhur berada di seputaran mata air Wailan. Malahan, leluhur pertama Minahasa Karema dan Lumimuut disebutnya yang pertama bermukim di situ. Kejadiannya terjadi setelah kedua wanita tersebut berpindah dari Tuur in tana’ di dataran antara tiga gunung Lokon, Kasehe dan Tatawiran. Keduanya kendati tidak lama, bermukim di sekitar mata air tersebut.

Sudah adanya aktivitas masyarakat di Wailan masa lampau, terbukti dengan adanya sebuah peninggalan tua berupa batu bertulisan dengan gambar motif orang di lokasi mata air Sesek yang berada di sebelah timur Wailan.

Penduduk dari negeri Kakaskasen dianggap yang pertama merambah Wailan, jauh-jauh hari sebelum pendiriannya sebagai satu negeri. Mata air Wailan (dimana nama negeri nanti terambil) di ujung barat, menjadi lokasi sakral tempat mengaley di masa silam bagi para Walian dan Tonaas, karena dianggap tuahnya sebagai tinggalan leluhur awal dengan beringin raksasa (yang telah ditebang di tahun 2000-an).

Hutan Wailan pun sudah menjadi sumber utama bagi penduduk Kakaskasen mengambil kebutuhan kayu untuk pembangunan rumah. Lokasi Pinahwawian, sekitar 1 kilometer di sebelah tenggara Wailan merupakan tempat beristirahat mereka ketika mengerjakan kayu menjadi papan dan balok.

Ditutur sedang istirahat mereka makan dan minum saguer, lalu setelah kenyang, karena ingin buang kotoran, mereka melobangkan tanah dengan balok yang ditarik untuk tempat kotoran. Sampai tahun 1980-an masih ada sisa-sisa berupa bekas lobang berdiameter 40 hingga 60 sentimeter.

Juga lokasi Kimoong, sekitar 400 meter di selatan Wailan, merupakan tempat pengambilan waruga penduduk di masa lalu.

Mamarangbene adalah dikisah menjadi penguasa Wailan pertama yang menjadikannya sebagai wilayah perburuan, konon di awal abad ke-19. Siapa saja yang akan berburu harus mendapatkan izin darinya. Lokasi di ujung barat Wailan, yakni di dekat mata air Wailan, dijadikannya tempat bermain Maengket. Bersama teman-temannya, apabila musim menuai padi mereka berpesta pengucapan sukur.

Hingga tahun 1960-an, sisa-sisa peninggalannya berada di dekat lokasi perburuannya, dengan tanaman tawaang dan Pinahwawian juga.

NEGERI BARU
Sebelum tahun 1900, Wailan telah dimukimi penduduk asal Kakaskasen. Para pekebun dari Kakaskasen terus bertambah dari waktu ke waktu. Jarak dari negeri kurang lebih dua kilometer masa itu dianggap jauh, sehingga para penggarap lahan lebih suka menginap sementara di pondok-pondok yang dibangun di kebun.

Wailan menjadi tempat tinggal (mahento’, mentok) bermalam. Biasanya dari hari Senin hingga Sabtu pagi, mereka tinggal bekerja mengolah kebun sawah dan ladang dengan berpakaian cidako dan wuyang. Tapi, di hari Sabtu mereka pulang (mezu) ke Kakaskasen, agar dapat masuk ke gereja, baik di gereja Protestan mau pun Katolik di Kakaskasen, tapi dengan berpakaian rapi.

Tanah yang subur dan hasil melimpah, ditambahi tiga sumber mata air yang menyatu menjadi anak sungai Ranowangko, yakni mata air Wailan dan Kaerozan di bagian barat, serta mata air Sesek di timur, menyebabkan muncul keinginan menjadikannya sebagai satu negeri. Ketika terjadi musim kemarau berkepanjangan, penduduk di Kakaskasen datang mengambil kebutuhan air di mata air Wailan yang tak kunjung kering hingga sekarang.

Ada dua versi berkembang bagaimana Wailan berdiri.

Tokoh Lefinus Lala meresmikan nama Wailan bagi pemukiman baru ini. Dikisah, tahun 1880 ia memimpin tumaninya dengan mengadakan acara Tinalingaan (Linigauan) di dekat mata air Wailan. Ia sebagai tonaas pertama pemimpin Wailan. Nama Wailan dipilih, mengandung pengertian kaya dan banyak air, karena mata airnya berlimpah menyuburkan tanah yang baik untuk pertanian dan kehidupan. Dalam versi ini Johan Sumendap sekedar Kepala Jaga Jauh dari Kakaskasen tahun 1895, dan ketika Wailan menjadi negeri Ruland Polii menjadi Hukum Tua pertama.

Versi kedua berkait Johan Sumendap ini. Di Kakaskasen, ia telah menjadi tokoh terkenal, apalagi kakaknya Eduard bekas murid Pendeta Jan Louwerier adalah seorang Sersan KNIL yang sangat dihormati. Ia sempat dipercaya menjadi wakil Hukum Tua Kakaskasen, dan kemudian tampil sebagai salah satu tokoh yang menggagas pendirian negeri baru Wailan.

Pendeta Jan Louwerier menyebut perannya sangat besar, sehingga menjadi pemimpin masyarakat Wailan.

Perjuangan untuk menjadikan Wailan sebuah negeri dilakukan. Satu delegasi terdiri 14 orang, satu diantaranya disebut adalah Lefinus Lala, berjuang di tingkat negeri dan distrik, bahkan ke Kontrolir yang membawahi Kakaskasen. Hukum Tua Kakaskasen ketika itu adalah Nicolaas Sandah, sementara Kepala Distrik dipegang Hukum Besar Nicolaas Willem Wakkary kemudian diganti Willem Walangitang sejak Januari 1896.

Ternyata, Hukum Tua Kakaskasen dan Kepala Distrik sangat mendukung.


Tahun 1900 Wailan resmi ditetapkan Kepala Distrik Walangitang sebagai satu negeri dengan Johan Sumendap sebagai Hukum Tua (disebut Louwerier Hoofdnegeri) pertama.

Johan Sumendap tidak bertahan lama dalam jabatannya. Tahun 1901 ia diberhentikan. 3]

Kepala Distrik Kakaskasen kemudian menunjuk Ruland Polii sebagai Hukum Tua pengganti. Louwerier menyebutnya sebagai pria yang manis, dan pernah menjadi orang yang pertama mengulurkan tangan membantu kesulitannya dengan kendaraan ketika ia berada di Wailan.

PROTESTAN DAN KATOLIK
Penduduk Wailan sejak awal terbagi penganut Protestan dan Katolik. Jumlah penduduknya dari tahun ke tahun berubah terus karena penduduk masih sering menganggap Wailan sebagai rumah tinggal sementara, dan balik ke Kakaskasen. Terjadi pula naik turun penganutnya, sering Protestan mayoritas, kemudian berganti Katolik. Terakhir sampai sekarang ini Protestan.

Gereja Katolik tahun 2006.


Ketika Wailan menjadi negeri, tahun 1900 pula Katolik segera membuka sekolah pertama di sini (sekarang SD Katolik). Pendeta Louwerier baru bulan Desember tahun 1900 membuka Sekolah Genootschap (sekarang SD GMIM), ditujukan untuk anak-anak kecil, sementara yang lebih besar masih banyak bersekolah di Kakaskasen.

Louwerier menunjuk guru bantu di Sekolah Genootschap Kakaskasen Daniel Liuw untuk memimpin sekolah serta gereja (voorganger-onderwijzer) atau guru jemaat. Sedangkan sebagai pemimpin jemaat adalah seorang Inlandsch leeraar atau Penolong Injil. Junus Mandagi, Inlandsch leeraar Kakaskasen ditugaskan olehnya merangkap menangani Jemaat Protestan Wailan (sekarang Jemaat GMIM Baitel).

Pendeta Louwerier menggambarkan, jalan ke Wailan dari Kakaskasen, yang tembus ke Kayawu sangat buruk, apalagi di musim hujan, sehingga menurutnya, anak-anak kecil akan kesulitan kalau harus berjalan ke sekolah di Kakaskasen. Gereja yang juga dipakai sekolah sangat kecil, pembangunannya dibantu oleh Jemaat dari Kakaskasen. 

Di awal tahun 1904 ia melaporkan sekolah sekaligus gereja telah diperbarui, dengan jendela kaca patri, dan dicat putih selama masa liburan, sehingga bangunannya terlihat lebih baik dari sekolah lain di Tomohon.

Louwerier mengaku mengunjungi Wailan empat kali setahun. Baru sebagian kecil penduduk mengerti bahasa Melayu, sehingga ketika ia berkotbah, Inlandsch leeraar Junus Mandagi selalu bertindak menjadi penerjemah, menyalin ucapannya dalam bahasa Tombulu.

Dari statistik NZG ultimo Desember 1900, Sekolah Genootschap yang baru dibuka bulan bersamaan mencatat murid sebanyak 26 anak (14 laki-laki dan 12 perempuan), dengan kehadiran 23.

Penduduk Wailan bulan Desember 1900 tersebut sebanyak 206 orang, terdiri Protestan 136, Katolik 63 dan kafir (heidenen) 7. Louwerier mencatat 1 Protestan pindah ke Katolik. Tahun ini Louwerier tidak melakukan pembaptisan.

Tahun 1901, dengan total penduduk 233 jiwa, Protestan Wailan sebanyak 137, Katolik 89 dan kafir 7. Sebanyak 16 orang pindah ke Katolik dan 2 pindah ke Protestan.

Louwerier melakukan pembaptisan terhadap 14 orang (1 dewasa dan 13 anak-anak), serta sidi terhadap 6 orang.

Murid di bawah guru Liuw ultimo Desember 1901 terdiri 16 anak laki (jongens), dan 11 anak perempuan (meisjes), sementara kehadiran hanya 18.

Di bulan Desember 1902, jumlah murid 21 (15 anak laki-laki dan 6 perempuan) dan kehadiran 17.

Tahun 1902 ini penduduk menyusut, tinggal 192 orang. Protestan sebanyak 100 orang ditangani Inlandsch leeraar Mandagi dan guru Liuw. Katolik sendiri 87 jiwa dan masih ada 5 kafir. Protestan pindah Katolik 9 dan Katolik ke Protestan 1.

Pendeta Louwerier dalam evangelisasinya membaptis 7 orang (2 dewasa dan 5 anak) dan kawinkan 1 pasangan.

Tahun 1903 terjadi perubahan komposisi penduduk. Dari total penduduk Wailan 206 jiwa, Protestan turun tinggal 95 jiwa, sementara Katolik melonjak jadi 107, sementara 3 lain masih berkepercayaan lama, dan ada 1 Islam. Louwerier membaptis 7 jiwa (2 dewasa, 5 anak-anak) dan kawinkan 1 pasang.

Tahun 1904 hampir berimbang. Protestan 96 dan Katolik 95. Berubah lagi tahun
1905. Dari total penduduk 205 orang, Protestan turun tinggal 91 jiwa, sementara Katolik menjadi 111 orang, dan masih ada 3 berkepercayaan lama (Islam tidak ada lagi). Yang pindah ke Katolik dicatat statistik NZG 3. Louwerier membaptis 5 anak.

Sekolah Genootschap Wailan ultimo Desember 1905 memiliki 15 laki-laki dan 8 perempuan. Dari total 23 murid, yang hadir sehari-hari hanya 18. Jumlah murid sama di tahun 1906 dengan kehadiran 19.

Penduduk tahun 1906 209 jiwa, tanpa orang kafir lagi, terdiri 101 Protestan dan 108 Katolik serta perpindahan dari Katolik ke Protestan 4. Louwerier membaptis 6 anak dan melakukan 1 sidi.

Tahun 1907, penduduk bertambah menjadi 243 dengan Protestan jadi mayoritas sebanyak 136 dan Katolik 107. Louwerier membaptis 2 anak dan kawinkan 1 pasangan. Sekolah mencatat di ultimo Desember 1907 memiliki 22 murid (13 laki-laki dan 9 perempuan), tapi kehadiran hanya 16.

Tahun 1908 Jemaat Protestan Wailan di bawah Inlandsch leeraar Mandagi sebanyak 153 dan Katolik 112, dengan total penduduk 265. Sekolah masih di bawah Liuw dan penilikan Louwerier mulai maju. Terdapat 16 murid pria dan 11 anak gadis, dengan kehadiran 21 pelajar. Louwerier membaptis 4 anak dan 1 sidi.

Wailan sejak tahun 1908 digabung ke Tomohon (masih bernama Distrik Tomohon-Sarongsong), setelah Distrik Kakaskasen dihapus. 

Pendeta (Hulpprediker) Resort Tomohon tahun 1909 berganti dari Louwerier kepada Pendeta Dr.Samuel Schock. Sementara Kepala Sekolah Genootschap sejak awal tahun 1910 berganti dari Liuw kepada guru B.Wahani yang sebelumnya bertugas di Pakuure. Inlandsch leeraar Junus Mandagi masih sebagai pembantu pendeta.



Statisitik Wailan dari data NZG tahun 1910, mencatat jumlah penduduk meningkat tajam, sebanyak 313 jiwa, terdiri Protestan 178 dan Katolik 135, dengan perpindahan ke Katolik 2.

Pendeta Dr.Schoch membaptis 7 jiwa (1 dewasa dan 6 anak) serta mengawinkan 1 pasang. Sementara sekolah di bawah guru Wahani memiliki 29 murid dengan 17 anak laki dan 12 perempuan, serta kehadiran sehari-hari 22 anak. ***

                    -----
1]. Wawancara Jon Kojongian mantan Kepala SMP Kristen Tomohon yang melakukan KKN di Wailan tahun 1960-an dengan tokoh-tokoh Wailan, termasuk dua Hukum Tua masa itu Julius Joseph Keles dan Hein Oroh, Juga wawancara saya tahun 1980-an dengan mantan Kepala Desa Niko Oroh, pejabat Jacob Theodorus Mamuaja serta Elisa Posumah Pontoh.
2]. Pendeta terkenal ini memang terkesan sangat tidak menyukai pribadi Johan Sumendap serta pendirian negeri baru yang dianggapnya berlatar ambisi ingin menjadi kepala.
3]. Menurut Louwerier dalam Mededeelingen NZG 1909, ia diberhentikan karena sebuah perkara dan ditahan untuk beberapa waktu, sampai bebas karena perjuangan saudara perempuannya Phine dan iparnya Lodewijk serta pengaruh nama kakaknya Eduard, seorang sersan KNIL.


Sumber foto: Jootje Umboh.
Sumber tulisan: Buku ‘’Riwayatmu Tomohon’’ 1986, buku ‘’Tomohon Kotaku’’ 2006, naskah ‘’Tomohon Dulu dan Kini’’. Juga Mededeelingen van wege het Nederlandsche Zendelinggenootschap 1900-1911.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.