Kamis, 13 Juni 2019

Jalan Panjang Gereja GMIM Sion










Presiden Soekarno di pekarangan Sion September 1957.



Gereja GMIM Sion yang berada di Kelurahan Paslaten Satu Kecamatan Tomohon Timur sebenarnya masih berusia muda, karena baru dibangun tahun 1929, dan digunakan mulai tahun 1930 [1].

Namanya pun belum langsung Sion seperti dikenal sekarang ini. Tapi, masih disebut Gereja Protestan Tomohon atau Gereja Besar Tomohon.

Nama Sion sendiri baru dikenal sejak awal tahun 1950-an. Dapat dipastikan merupakan pilihan nama yang dipilih langsung oleh Ketua Sinode GMIM Ds.A.Z.R.Wenas, yang ketika itu merangkap sebagai Ketua Klasis sekaligus Ketua Badan Pekerja Majelis Gereja Jemaat Tomohon.

Meski sekarang hanya berfungsi sebagai gereja bagi Jemaat Kategorial Tomohon, namun peran monumentalnya bagi Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) umumnya dan khususnya jemaat-jemaat di pusat kota Tomohon sangat besar.

Di sinilah GMIM telah diproklamirkan pada tanggal 30 September 1934. Dari gereja ini pula telah lahir jemaat-jemaat di pusat kota Tomohon (Talete, Kamasi, Kolongan, Paslaten, Ma­­tani dan Walian) yang belakangan juga telah memekar.

Tidak itu saja, gereja-gereja di Tataaran, Sarongsong, Lolah, Tateli, Kakaskasen, Lotta, Lahendong, Tondangow, Rambunan, Pinaras, Rurukan, Leilem, Pangolombian, Kembes, Koka, Tincep, Tinoor, Kayawu, Warembungan dan Kinilow berpijak awal pula dari karya para pendetanya.

Maka memang sangat pantas gereja yang dikunjungi Presiden Soekarno di tahun 1957, dan putrinya mantan Presiden Megawati Soekarnoputri di tahun 2016, ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya nasional.

GEREJA AWAL

Gedung gereja awal Tomohon dipastikan telah dibangun oleh pendeta pertama Tomohon Johan Adam Mattern yang diutus oleh de Nederlandsche Zendeling Genootschap (NZG atau Badan Pekabaran Injil atau Noskap dalam bahasa Tombulu). Ia mulai bekerja di Tomohon bulan Juli 1838.

Gereja Protestan pertama ini telah berdiri ketika pada akhir tahun 1839 ia membaptis enam orang penduduk Tomohon. Bulan Desember 1839 menjadi tonggak berdirinya Jemaat Tomohon.

Letak gedung gereja pertama di lokasi Paslaten, berada di bagian depan pekarangan gereja sekarang, tepat di lokasi yang sekarang menjadi ruas jalan raya Tomohon-Manado.

Selama pelayanannya, Johan Adam Mattern yang meninggal di Manado tanggal 2 Desember 1841 hanya dapat membaptis 36 orang dewasa dan 11 anak-anak. Sebagian besar orang dewasa yang dibaptisnya pun berasal dari Tondano dan tempat lain, sehingga ketika penggantinya Nicolaas Philip Wilken datang hanya mendapati 5 atau 6 orang Kristen dewasa.

Sudah adanya gedung gereja ketika itu, diungkap Wilken ketika mulai bekerja di Tomohon 1 Februari 1843. Ia mencatat pada hari-hari pertama pengunjung kebaktian di gereja sebagai pendengar hanya empat hingga delapan orang.

Gereja pertama ini menjadi saksi pembaptisan besar di Tomohon, ketika Kepala Distrik Sarongsong Majoor Waworuntu bersedia dan dibaptis di hari Minggu tanggal 11 April 1847 oleh Inspektur NZG Ds.Leonard Johannes van Rhijn. Van Rhijn melukiskan peristiwa tersebut, bahwa gereja penuh sesak, dan untuk pertamakalinya dalam hidupnya dihadiri Kepala Distrik Tomohon Majoor Mangangantung yang sudah tua dan masih animisme. Waworuntu sendiri telah berusia 66 tahun dan memakai nama baptis Herman Carl Wa­wo-Roentoe.

Majoor Mangangantung kemudian juga telah menjadi Kristen memakai nama Ngantung Palar (meninggal 1853), termasuk anaknya Rondonuwu yang memakai nama Roland Ngantung Palar.

Tapi, tanggal pembaptisan Majoor Ngantung Palar begitu pun anaknya tidak ada datanya. Gereja Sion yang sampai tahun 1950-an menjadi gereja induk Tomohon tidak memiliki lagi buku induk baptisan, sidi dan perkawinan awal dari warga Kristen berasal Talete, Kamasi, Kolongan, Paslaten, Matani dan bahkan Walian.

Padahal lagi, pada awal pertumbuhan Kristen di Tomohon, orang-orang dari Tataaran, Rurukan, Pangolombian, Kakaskasen dan Sarongsong dibaptis, angkat sidi dan diteguhkan serta diberkati nikahnya di Tomohon.

Di gedung gereja ini pula akhir Desember 1848 Wilken melakukan perjamuan kudus pertama di Tomohon, diikuti sekitar 380 orang, bukan hanya dari negeri-negeri di stad Tomohon saja, tapi telah datang dari jemaat Rurukan, Pangolombian dan Kembes. Perjamuan kudus kemudian berlangsung 3 kali dalam setahun, rata-rata dikuti 270 anggota sidi.

Pertumbuhan jemaat Tomohon kemudian pesat sekali, membutuhkan gedung gereja yang lebih memadai. Sejarawan H.M.Taulu mengungkap ketika Kepala Distrik Tomohon Mangangantung dibaptis Kristen ia menghadiahkan tanah seluas 2.228 m2 menjadi milik Jemaat Tomohon, dimana kemudian dibangun gereja yang memadai.

Wilken dalam suratnya kepada NZGtahun 1858 menyebut gereja tersebut awalnya dibangun untuk rumah gubernemen (Gouvernementshuizen). Tapi ketika hampir siap, Residen Albert Jacques Frederick Jansen (1853-1859) merubah tujuannya, untuk dijadikan tempat ibadah. Gedung gereja lama sendiri dibongkar, karena pembangunan ruas jalan baru, selain karena tidak memadai lagi.

Rumah Gubernemen atau pasanggrahan atau loji dibangun untuk tempat peristirahatan pejabat Belanda seperti Residen atau Kontrolir yang datang berkunjung atau kemalaman di Tomohon.

Loji Tomohon yang menjadi gereja awal.

Alasan residen lagi, pemeliharaan loji akan menyusahkan penduduk, sedang para pembesar dapat menginap di rumah Majoor Tomohon yang besar dan luas di dekatnya (kelak jadi kantor pendeta Tomohon dan STOVIL). Gedung gereja baru ini mulai ditahbiskan tanggal 15 Februari 1857.

Loji tersebut resmi menjadi gedung gereja Protestan untuk anggota jemaat berasal Talete, Kamasi, Paslaten, Kolonagan dan Matani, sementara rumah pendeta berada di Talete.

Gedungnya dicatat sebagai salah satu yang terbaik dan terindah di Minahasa. Prof.P.J. Veth dalam bukunya ''Ardrijkskundig en Statitisch Woordenboek van Nederlandsch-Indie'' tahun 1869 menyebutnya sebagai bangunan besar dan indah yang berdiri di atas pilar batu, setinggi 5 kaki di atas tanah (1 kaki=30 sentimeter), dengan tangga untuk memasukinya. Ruangannya memiliki tiga sisi serta dapat menampung 800 hingga 1.000 anggota jemaat. Letaknya berada di sebelah rumah Zendeling (Wilken) dan rumah dari Kepala Distrik Tomohon.

Nicolaas Graafland melukiskan di tahun 1859, gedung gereja yang berada di suatu lapangan terbuka berhadapan dengan jalan dari arah Tanawangko, sangat kokoh dan dibangun rapi. Dari luar dan dari dalam bangunannya tampak sederhana, tapi sangat cocok untuk tempat beribadah dan pertemuan-pertemuan. Ruang da­lamnya diatur sangat rapi. Suasananya memberi rasa hikmat dan kesungguhan. Tem­pat duduk, kursi pendeta dan ruang masuk rapi dan baik.

Bentuk dan interior bangunan bekas loji ini tidak berubah hingga akhir abad ke-19 dengan memperhatikan litografi gerejanya di tahun 1889. Dua balkon di kiri-kanannya, telah dibangun di tahun 1856. Pasti ada renovasi lagi berupa perbaikan-perbaikan kecil, dengan menghilangkan dua tangganya seperti terlihat pada foto dari dekade awal abad ke-20, termasuk penggantian atap dan dinding.

Lapangan kosong di sebelah utara merupakan pekarangan luas dimana kemudian dibangun rumah Pendeta Wilken tahun 1853 (dan kelak kelas-kelas HIS Jongenschool yang belakangan jadi Clubgebouw milik Jemaat Tomohon dan terakhir di bagian depan Kantor Sinode GMIM sejak tahun 1949 hingga 1979). Sementara pekarangan di depannya hilang ketika ruas jalan Tomohon-Manado pertama dibangun pemerintah kolonial Belanda.

Litografi dan penampang gereja tahun 1889.

Wilken meninggal tanggal 22 Februari1878 setelah membentuk 20 jemaat de­­ngan 8.584 anggota baptisan.

Jan Louwerier yang telah membantunya sejak 22 November 1868 menggantikannya. Mengenang pekerjaan dan karya besar Wilken inilah lonceng gereja yang dipesan dari pabrik A.Bikkers&Zoon di Rotterdam Belanda dipasang, masih di pekarangan depan gedung gereja.

GEREJA BARU

Gereja Besar Tomohon yang telah dipakai hampir 80 ta­­hun terbuat da­­ri papan dan beratapkan rumbia, akhirnya dibongkar ta­­hun 1929. Sisa materialnya dimanfaatkan untuk membangun kanisah-kanisah di jemaat-jemaat sekitar.

Berlokasi di bagian belakang bekas gereja la­­ma dibangun gedung gereja baru, berkonstruksi beton ba­­ik tiang mau pun dinding, dengan arsitek Experius Wajong yang mendapat lisensi Belanda sebagai insinyur praktek. Dimundurkannya bangunan tersebut menyebabkan adanya pekarangan luas di bagian depan, sehingga gedungnya menjadi ikon Tomohon yang mentereng.

Gereja baru dengan lonceng telah dipasang di dalamnya di­tahbiskan pemakaiannya tanggal 23 Februari 1930. Benda-benda antik lainnya seperti kandil yang pengadaannya telah diupayakan oleh Wilken dan Louwerier turut dipasang.

Gereja ketika selesai dibangun.

Louwerier yang telah kembali ke Negeri Belanda tahun 1909 menyempatkan diri menyampaikan ucapan selamat dan ucapan puji-pujian kepada Jemaat Tomohon yang dipimpin Ds.A.Z.R.Wenas ketika gedung gereja ditahbiskan.

Interior dalam gereja tahun 1930.

Sejak tahun 1935 pelaksanaan ibadah di Gereja Besar Tomohon ini dilakukan dua kali. Pagi kebaktian berbahasa Melayu (In­donesia) dan sorenya menggunakan bahasa Belanda yang berlangsung hingga tahun 1950.

Jemaat-jemaat di pusat kota Tomohon mulai membangun gereja sendiri, diawali Walian (yang kelak menjadi Jemaat Imanuel) di tahun 1914, menyusul Matani (Baitani) di tahun 1935, kemudian Talete (Bait Lahim), Kamasi (Bait-El), Kolongan (Elim) dan Paslaten (Maranatha) di periode 1950 dan 1960-an. Pelaksanaan ibadah Minggu rata-rata telah menyebar di jemaat pusat kota, terkecuali baptisan dan sidi masih di Gereja Sion. Ini berlaku sampai jemaat-jemaat tersebut dinyatakan berdiri sendiri.

Gereja Sion kemudian sekedar bertipe kategorial, telah kalah megah dan besar dibanding gereja-gereja jemaat mekarannya.

Tahun 1979 ketika Tomohon dipercaya menjadi tuan rumah Si­da­ng Raya ke-9 Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI, sekarang Per­satuan Gereja-gereja In­do­nesia, PGI), dan rencana perluasan rumah sakit GMIM Bethesda, gedung yang dianggap tidak representatif lagi, dipugar untuk dijadikan museum. Peribadatannya dipindahkan ke auditorium Bukit Inspirasi di Kakaskasen.

Meski kemudian dimanfaatkan kembali sebagai gereja di bulan November 1982, namun bangunan tambahan rumah sakit telah menghalanginya. Hal yang ditentang banyak kalangan ketika itu, seperti disuarakan sejarawan H.M.Taulu. Apalagi pekarangannya sejak awal dianggap menjadi paru-paru kota. ***
—-
  • [1]. Banyak pihak menulis salah kalau bangunannya sekarang masuk Kelurahan Talete Satu (contohnya website gerejanya sendiri). Mestinya adalah Paslaten Satu. Pembatas Talete dan Paslaten adalah ruas jalan di sebelah utara bangunan gereja yang telah ditutup di tahun 1979 untuk perluasan rumah sakit.
Sumber foto dan gambar: http://www.sejarah GPI, Bode Talumewo dan koleksi Tropenmuseum.
Sumber tulisan: buku ‘Riwayatmu Tomohon’ 1986, ‘buku ‘Tomohon Kotaku’ 2006, dan naskah ‘Tomohon Kotaku’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.