Jumat, 26 Juli 2019

Jemaat dan Sekolah Rurukan






Gereja GMIM Rurukan 2006.




Jemaat Protestan Rurukan (sekarang GMIM Bukit Sion) didirikan oleh Zendeling Tomohon Pendeta Nicolaas Philip Wilken tahun 1854. Termasuk Sekolah Genootschap dari Nederlansch Zendeling Genootschap (NZG). Sekolahnya sempat ditutup dan baru berdiri ulang tahun 1913.

Meski Jemaat (gemeenten) Rurukan baru berdiri, namun sebelum tahun 1854, telah ada beberapa orang Kristen Rurukan yang dibaptis Wilken di Gereja Protestan Tomohon (sekarang Sion) di Paslaten.

Dari pendataan Dr.Pieter Bleeker, penduduk Rurukan di akhir tahun 1852 berjumlah 399 jiwa. Orang Kristen baru 9 jiwa, dan sisa 390 orang masih heidenen (animisme).

Laporan Pendeta Wilken ultimo 1860, menyebut anggota Jemaat Rurukan awal dibaptisnya di Tomohon, termasuk dengan anggota sidi dan kawin warga. Untuk perayaan sakramen, anggota Jemaat Rurukan dikombinasikannya bersama Jemaat Pangolombian dan Kembes di Gereja Tomohon, dihadiri rata-rata 380 anggota jemaat.

Dari kombinasi ketiga jemaat ini, menurut Wilken, Rurukan yang tertua, terbesar dan terbaik, diikuti oleh Pangolombian. Bangunan gerejanya sudah cukup bagus.

Selang tahun 1843 hingga tahun 1860, Wilken mencatat kepada pimpinan NZG,  ia membaptis sebanyak 209 penduduk Rurukan, terdiri orang dewasa (wolwassenen) 155 dan anak-anak (kinderen) 54 orang.

Dengan 209 orang Kristen awal ini, yang selalu hadir di gereja hanya 86 orang, sementara yang hadir di sekolah 64. Dari total penduduk Rurukan 386 orang, masih ada 185 yang kafir.

Pada periode sama ia telah mengawinkan 30 pasang. Namun sampai  tahun 1860 ia belum melakukan sidi kepada satu pun penduduk, meski gereja selalu dihadiri 4 anggota sidi yang diteguhkan di Tomohon. Sedangkan pasangan kawin yang selalu hadir di gereja 32 orang dengan dua pasang yang dikawinkan di Tomohon.

Tahun 1858 ia membaptis 50 orang dewasa dan mengawinkan 19 pasang. Di tahun 1860, pembaptisan atas 39 penduduk Rurukan,  22 orang dewasa dan 17 anak-anak, serta mengawinkan 5 pasangan.

Sekolah Genootschap Rurukan (sekarang SD GMIM) yang didirikan Wilken bersamaan dengan jemaat tahun 1854, dipuji karena tingkat kehadiran siswa yang tinggi. Tahun 1854 dari pencatatan NZG, sekolahnya memiliki 80 pelajar dengan kehadiran di sekolah 63 anak. Tahun 1855 67 siswa dan kehadiran 63, serta tahun 1856 sebanyak 41siswa hadir sehari-hari dari total murid 59 orang. Kemudian tahun 1859 dengan 67 murid dan kehadiran 42.

Pendeta Dr.Steven Adriaan Buddingh yang mengunjungi Rurukan awal Juni 1854 menjelaskan ke-80 murid yang ditemuinya dipimpin oleh seorang guru yang disebut Penulung atau Hulpmeester (guru bantu). ’’ Tetapi, tidak cukup bagus,’’ komentarnya.

Nama guru pertama Rurukan adalah N.Pangkerego (ditulis Pankerego), seorang guru belajar (kweekeling) dari Tataaran. Ruang sekolah dipujinya sangat bagus.

Pendeta Buddingh ketika itu melakukan inspeksi sekolah-sekolah milik NZG di Sulawesi Utara. Ia mengisahkan lelucon yang terjadi, dimana sang guru menurutnya melakukan kesalahan besar.

Ketika selesai memeriksa gereja dan urusan sekolah, Buddingh meminta guru tersebut untuk melihat jam berapa pada jam matahari yang tergantung longgar dari bambu di tengah jalan negeri yang luas. ‘’Kemudian ia mengambil jam matahari dari bambu dan memegangnya di depan matanya,’’ catat Buddingh dalam buku ‘’Neerlands Oost-Indie’’ yang terbit di Rotterdam Belanda tahun 1860.

Tertawa dari para kepala dan semua penduduk negeri melihat cara aneh ‘berkonsultasi’ dengan jam matahari, membuat guru sangat malu, meski pada awalnya tidak mengerti mengapa orang-orang tertawa begitu riuh.

Lalu apa yang dipelajari para murid Rurukan di masa silam?

Berdasar laporan-laporan NZG buku pelajaran yang dipakai di tahun 1863 yang berlaku pula di seluruh sekolah milik NZG di Minahasa sebagai vak utama adalah bernyanyi (zang) dan sejarah Alkitab (bijbelsche geschiedenis). Kemudian buku yang digunakan: Kitab hedja dan batja, satu buku dari Wester, disusun sesuai kebutuhan orang Minahasa. Kitab batja akan manusija, binatang dan tatanaman. Sejarah dan cerita Alkitab diterjemahkan dari bahasa Jerman oleh Pendeta Nicolaas Wilken, buku perhitungan (rekenboeken) oleh Nicolaas Graafland, Ilmu bumi, serta Parindu (koleksi lagu). Ketika itu, bersekolah gratis, dengan usia murid anak lelaki 6-15 tahun dan anak perempuan 6-12 tahun, baik Kristen mau pun kafir.

Gaji guru minimum f.2.50 per bulan dan maksimum f.4,16. Sementara guru sekolah negeri (Negorijschool) yang dibiayai dari kas distrik memperoleh f.5, dan guru dengan beslit pemerintah kolonial (sekolah Gubernemen) memperoleh gaji f.6-8,33.

Alfred Russel Wallace yang menginap di pasanggrahan dekat sekolah hampir setiap hari mendengar anak-anak mengulangi tabel perkalian dan menyanyi lagu-lagu mazmur. Tahun 1859 anak-anak Rurukan, menurutnya, belajar setiap hari selama sekitar tiga jam, dan dua kali seminggu di malam hari ada katekisasi dan pelajaran agama, serta sekolah minggu di pagi hari.

                        BACA: Legenda Rurukan.

Guru N.Pangkerego diganti oleh L.Lengkong, seorang murid pandai dari Pendeta Wilken. Ultimo Desember 1870 di bawah kepemimpinannya sekolah Genootschap Rurukan yang diasuh dalam penilikan Pendeta Jan Louwerier dari Tomohon memiliki 56 murid dengan 34 anak laki-laki dan 22 anak perempuan. Namun kehadiran pelajar sedikit, hanya 13 orang.

Pendeta Louwerier mulai menggantikan sebagian tugas Wilken, dan diserahi pekerjaan melayani jemaat dan sekolah di Rurukan.

Kondisi tahun 1872 masih memprihatinkan, Dari total murid 71 anak (40 laki-laki dan 31 perempuan) hadir hanya 21. Statistik sekolah per ultimo Desember 1873 di bawah guru Lengkong, dengan 60 murid (35 laki-laki dan 25 perempuan).  Hanya mencatat 22 anak yang hadir.

Menurut Nicolaas Graafland, penduduk Rurukan tahun 1874 sebanyak 505 jiwa. Evangelisasi selang tahun 1875 oleh Louwerier membaptis 40 anak-anak dan mengawinkan 9 pasangan.

Tahun 1875 Katolik juga masuk di Rurukan. Pastor Joannes van Meurs SJ tanggal 27 Desember 1875 melakukan pembaptisan terhadap 14 penduduk, disusul bulan September 1876 terhadap 35 orang.

GEREJA BARU
Pendera Louwerier menulis di tahun 1875, kalau sebuah gereja baru diberkatinya tanggal 30 Agustus. Jemaat Rurukan, menurutnya meningkat pesat. Jumlah yang dibaptis telah meningkat, sehingga hanya beberapa rumah tangga saja yang masih kafir. Ia bergembira karena jumlah yang besar dengan setia muncul di gereja dan sekolah, memberinya gambaran untuk bersukacita, dengan jemaat yang beribadah sangat bersih.

Bangunan gereja sebelumnya, ungkap Louwerier, kecil harus berfungsi ganda sebagai sekolah, dan menjadi sangat berbahaya karena berdiri di lereng. Di satu sisi jauh lebih tinggi di atas tanah bersandar pada panggung. Bangunannya menjadi terlalu kecil, sehingga jemaat menginginkan perbaikan. Kepala (hoofden, maksudnya Hukum Tua), seorang yang dianggapnya sebagai sahabat, berbicara kepadanya kalau telah diputuskan dalam pertemuan akan dilakukan pemulihan dan perluasan gedung gereja. Jemaat mengikuti keputusan tersebut serta membangunnya sendiri.

Louwerier pun memuji salah satu anggota jemaat yang menyerahkan sebagian rumahnya untuk pertemuan umum dan sebagai sekolah, saat gedung gereja yang tua tidak dapat digunakan.

Pembangunan gedung gereja didasarkan pada rancangan Louwerier sehingga berkualitas untuk kegiatan peribadatan. Menurutnya, berdiri di tempat yang hampir sama, tetapi tidak lagi terancam bahaya jatuh di jurang. Lokasi yang menghasilkan pemandangan paling indah dari negeri Rurukan.

Kondisi murid sekolah tetap memprihatinkan. Tahun 1875, jumlah murid sebanyak 56 anak (33 laki-laki dan 23 perempuan), tapi kehadiran sedikit, 20 anak.

Bahkan, data Desember tahun 1879 masih di bawah kepemimpinan guru Lengkong dan penilikan Louwerier, dari jumlah 50 anak (31 laki-laki dan 19 perempuan) yang hadir 10.

Dalam kegiatan evangelisasi, Pendeta Jan Louwerier selang tahun 1878, melakukan pembaptisan terhadap 34 orang, semuanya anak-anak, serta mengawinkan 7 pasang. Tahun 1879 18 baptisan, dan kawin 2 pasang. Tahun 1880 membaptis 33 orang (11 dewasa dan 22 anak-anak), serta sidi 17 dan kawin 4.

Tahun 1883 ia membaptis 38 anak, sidi 20 dan kawinkan 7 pasang. Kemudian selang tahun 1885  membaptis 29 orang (6 dewasa dan 23 anak-anak), sidi 10 orang dan mengawinkan 7 pasang.

PENDETA TONDANO
Pekerjaan Louwerier yang bertumpuk, membawa Jemaat Rurukan (juga Kumelembuai) berada dalam penanganan Hulpprediker (pendeta) dari Resort Tondano Hessel Rooker sejak akhir September tahun 1886.

Evangelisasi di Rurukan  tahun 1886 telah dilakukan Pendeta Hessel Rooker terhadap 26 anak (tanpa orang dewasa), sidi 11 dan kawin 9 pasang.

Minimnya murid di Sekolah Genootschap karena pemerintah kolonial telah mendirikan Gouvernementsschool (sekolah Gubernemen) di Rurukan sejak tahun 1879 yang gurunya digaji pemerintah. Untuk menjadi guru di sekolah pemerintah, guru dari Sekolah Genootschap harus menempuh ujian sekolah pelatihan di Tomohon yang dipimpin J.H.Hiebink Rooker atau di Ambon (kemudian Kweekschool pemerintah di Tondano). Sekolah Genootschap Rurukan ditutup dan diserahkan kepada pemerintah, yang menjadikannya Sekolah Gubernemen. Dua guru terkenal yang memimpin awal sekolah ini adalah S.Gosal dan D.Tuerah.

Para guru Rurukan sejak masa Pangkerego dan Lengkong sering bertindak sebagai Penulung, Guru Jumat (jemaat) dan Katekis. Kemudian jemaat mulai dipimpin oleh para Penulung atau Penolong Injil lulusan STOVIL yang setelah memperoleh gaji dari pemerintah Hindia-Belanda dengan Indisch Kerk berganti sebutan sebagai Inlandsch leeraar.

Inlandsch leeraar Benjamin Wenas ditunjuk menjadi pendeta pembantu kedua di Rurukan. Ia menggantikan Cornelis Wohon yang memimpin jemaat Rurukan pertama sebagai Hulpzendeling (Penolong Injil) hingga meninggal. 

Wenas melayani pula Jemaat Kumelembuai, sementara di Tondano (ketika itu masuk Distrik Tondano Touliang) ia melayani jemaat di Marawas dan Kuloh.

Ultimo 1889, Jemaat Rurukan di bawah Wenas, memiliki 582 anggota. Bersamaan penganut Katolik 72. Dari penduduk Rurukan sebanyak 669 jiwa, masih terdapat 15 orang kafir. Selang tahun 1889 dalam evangelisasinya Pendeta Hessel Rooker membaptis 21 anak-anak,  24 orang disidi dan kawinkan 8 pasang.

Tahun 1890 ia membaptis 34 anak-anak dan kawinkan 4 pasangan. Ultimo Desember 1892 38 penduduk Rurukan dibaptis, semua anak-anak, serta mengawinkan 6 pasang. Tahun 1891 evangelisasinya membaptis 28 anak-anak serta kawin 6 pasang.

Tahun 1892, Jemaat Rurukan di bawah penanganan Inlandsch leeraar Robert Th.Parengkuan yang mengganti Wenas. Parengkuan juga menangani Jemaat Kumelembuai bersama Marawas dan Kulo. Dari total penduduk Rurukan sebanyak 720 orang tahun 1892, Protestan berjumlah 621 orang, sementara Katolik 98 jiwa. Penduduk yang kafir tidak ada lagi. Dari laporan Pendeta Rooker, di tahun ini penduduk yang pindah dari Protestan ke Katolik 2 orang.

Ultimo 1893 di bawah Parengkuan, penduduk Rurukan 653 Protestan, 89 Katolik, 1 Islam, dengan total 743 jiwa.

Ultimo 1894 masih di bawah Parengkuan, Protestan Rurukan memiliki 660 anggota jemaat. Katolik terdiri 92 jiwa dan Islam 1. Total penduduk 753 orang. Evangelisasi di Rurukan tahun ini mencatat Rooker membaptis 40 anak-anak dan 7 pasang dikawinkan.

Inlandsch leeraar Robert Parengkuan (hidup 1867-1910), menantu dari mantan Hukum Kedua Rurukan Petrus Wenas sejak awal tahun 1895 dipindah menjadi guru STOVIL menggantikan Inlandsh.leeraar J.Tampenawas dan melayani jemaat pusat Tomohon bersama J.Mandagi. Ia digantikan Inlandsche leeraar H.Rorimpunu.

Tahun 1895 Jemaat Rurukan di bawah Rorimpunu memiliki 685 anggota. Katolik sebanyak 86 jiwa, Islam 2 dengan jumlah seluruh penduduk Rurukan 773 jiwa. Rorimpunu dicatat ikut melayani jemaat Kumelembuai dan di Kampung Jawa (masuk Distrik Tondano-Toulimambot).  Evangelisasi tahun 1895 oleh Pendeta Rooker dilakukan terhadap 33 anak-anak dan kawin 7 pasang.

Hanya singkat, Rorimpunu pindah  Airmadidi (Tatelu), dan sejak 27 Desember 1896 di Rurukan bertugas Inlandsch leeraar G.A.Karamoy.

Ultimo 1896 Jemaat Protestan Rurukan di bawah Karamoy, sebanyak 679 orang, dengan Katolik 88, serta Islam 2 orang. Total penduduk 769 jiwa. Evangelisasi dari Rooker, sebanyak 25 anak dibaptis, dan 6 pasang dikawinkan. Kemudian tahun 1897, Rooker membaptis 45 anak-anak, melakukan sidi pada 43 orang, dan kawinkan 2 pasang.

Karamoy pindah di Kaasar Tonsea, dan menggantinya tahun 1897 Inlandsh leeraar L.Turambi yang sebelumnya bertugas di Distrik Bantik dan Manado berkedudukan di Singkil.

Ultimo 1898, Jemaat di bawah pimpinan Turambi berjumlah 710 orang. Katolik 124 dan Islam 1. Total penduduk Rurukan 835. Rooker membaptis 32 anak-anak dan mengawinkan 4 pasang.

Ultimo 1900, di bawah Turambi (melayani pula Kumelembuai, Kampung Jawa dan Tegal Rejo di Tondano), memiliki 705 Protestan. Katolik 125, Islam 2. Total 832 penduduk. Pendeta J.H.Rooker membaptis 26 anak, dan kawin 6 pasang.

Tahun 1901, di bawah Turambi Protestan sebanyak 723. Katolik sendiri 122, dan Islam 1. Total penduduk Rurukan 846. Pendeta J.H.Rooker membaptis 33 anak-anak, sidi 39 dan kawinkan 6 pasang.

Tahun 1902, Jemaat Protestan Rurukan sebanyak 727 orang di bawah Inlandsch leeraar Turambi. Katolik 114. Total penduduk Rurukan 842 jiwa. Pendeta J.H.Rooker membaptis 29 anak-anak, dan 4 pasang dikawinkan.

Statistik jemaat Rurukan ultimo Desember 1904 di bawah Inlandsch leeraar Turambi dan Pendeta Tondano Hessel Rooker mencatat penganut Protestan Rurukan sebanyak 751 orang, sementara Katolik 111 orang, dengan total penduduk adalah 863 jiwa.

Pendeta Rooker tahun 1904 melakukan pembaptisan terhadap 33 anak, tanpa orang dewasa, sidi 16 orang dan kawin 5 pasangan.

Tahun 1906, Inlandsch leeraar Turambi dengan 827 Protestan. Katolik 40 dan Islam 1. Total 868.

Turambi pindah di Seretan, menggantinya Inlandsch leeraar P.Parengkuan. Ultimo 1907, di bawah Parengkuan Protestan 741. Ia layani pula Kumelembuai. Pendeta Tondano H.L.Langevoort yang pindah dari Ratahan menggantikan Rooker, membaptis  34 anak-anak, dan kawinkan 8 pasangan.

Tahun 1908, di bawah Parengkuan, jemaat Protestan 747. Katolik 87. Total penduduk Rurukan 834. Pendeta Langevoort melakukan pembaptisan 37 penduduk (1 dewasa 35 anak-anak), sidi 40 orang dan kawin 4 pasang.

Tahun 1909, jemaat dipimpin Parengkuan, dengan anggota sebanyak 769.

Jemaat Rurukan tahun 1910 dilayani Parengkuan sebanyak 780 orang. Evangelisasi Pendeta Langevoort membaptis 25 orang (1 orang dewasa dan 24 anak-anak), serta kawinkan 7 pasangan.

Sekolah Gubernemenen Rurukan kemudian ditangani Kweekeling E.Togas yang awal Januari 1896 diberhentikan. Bertugas berikut adalah guru Gerrit Johannis Palar (ayah Babe Palar) sampai tahun 1907. Palar lalu pindah memimpin Sekolah Gubernemen nomor 2 di Matani (sekarang SDN II), kemudian sebagai School Opziener (pengawas sekolah) dan anggota Minahasaraad. [1]

Sekolah Gubernemen Rurukan kelak hilang. Sekolah Genootschap (sekarang SD GMIM) didirikan kembali bulan Agustus 1913. Katolik pun membangun sebuah sekolah.  ***

-------

[1].Gerrit Johannis Palar, ayah Babe Palar dalam banyak tulisan disebut sebagai pemimpin Sekolah Genootschap, mestinya Sekolah Gubernemen.

·         Sumber foto: Jootje Umboh.
Sumber tulisan: Buku ‘’Riwayatmu Tomohon’’ 1986, buku ‘’Tomohon Kotaku’’ 2006, naskah ‘’Tomohon Dulu dan Kini’’. Juga Mededeelingen van wege het Nederlandsche Zendelinggenootschap serta Algemeen Verslag van den Staat van het Schoolwezen in Nederlandsch-Indie.

Kamis, 18 Juli 2019

Talete dari Limondok



Tomohon, dari Kuranga, tahun 1847.





Talete, dua kelurahan di Kecamatan Tomohon Tengah, pas di stad (pusat) Kota Tomohon, adalah salah satu dari dua negeri awal di pusat kota Tomohon (bekas Distrik Tomohon). Ketuaannya telah dicatatkan para penulis kita, bahkan oleh penulis barat. Negeri lain yang sama tuanya adalah Kamasi.

Dari tradisi, jejak sejarahnya bahkan telah ada sejak jaman purba, bahkan sebelum masa pembagian di Watu Pinewetengan, ketika Kumiwel dan Lololing anak-anak Toar-Lumimuut dari kalangan Makarua Siow datang berdiam di kawasan Talete.

Penulis Belanda terkenal Dr.Johan Friedrich Gerhard Riedel mencatat Penghulu Kumiwel beserta istrinya Pahirangan dan tiga anaknya menetap di satu bukit kecil Kuranga. Sementara Lololing dengan istrinya Rinerotan dan enam anaknya pergi berdiam di satu bukit kecil bernama Puser in Tana [1].

Pemukiman awal di lokasi Talete ini dipastikan di masa berikut lenyap, mungkin diakibatkan oleh wabah penyakit yang mematikan dan dianggap pembawa sial serta bencana. Atau karena peristiwa alam, serta kebiasaan masa silam untuk selalu berpindah tempat.

Baru beberapa waktu setelah pembagian di Watu Pinawetengan, para pemukim Tomohon menyebar dari negeri Saru di lereng Gunung Masarang yang telah dididirikan Tonaas Mokoagow alias Rori setelah persebaran penduduk Tombulu di Maiesu.

                        BACA:Mengenang Distrik Kakaskasen.

Cucu-cucu Mokoagow masing-masing Mangantung (Mangangantung), Mapalendeng-tinamberan, Pondaag, Mamengko, Gosal dan Sambuaga mendirikan negeri-negeri yang membentuk Tomohon pertama. Menurut Riedel, tempat-tempat ini adalah Limondok, Kamasi, Kinupit, Toumaajah, Rangihir, Tounbuntu dan Lingkonkong.

Limondok atau ditulisnya dalam buku ‘’Inilah Pintu Gerbang Pengatahuwan Itu’’ yang terbit tahun 1862 sebagai Limendok yang dikenal sebagai Talete kemudian. Limondok atau sering ditulis penulis lain sebagai Sumondak atau Lumondak, bermakna tempat atau bagian yang muncul atau menonjol, karena letak bukitnya lebih di atas negeri-negeri lain yang memang berada di tempat rata atau di bawahnya.

Pemukiman awal ini dekat dengan mata air Sineleyan yang menjadi sumber utama air dan lokasi Pinati yang di masa silam menjadi tempat pengambilan waruga penduduk. Nama Sineleyan dikisah tercetus dari wanita yang memakai ikat kepala atau pita, para perempuan yang mengambil air untuk kebutuhan rumah tangganya, atau juga dikaitkan dengan legenda Leilei alias Lewlew.

Talete sebagai nama bagi negerinya diduga kuat telah dipakai sejak awal, kendati Riedel menyebutnya Limondok. Mungkin ketika ia mencari data untuk bukunya mendengar Talete ketika masih berada di bukit Limondok itu.

Nama Talete tercatat pertama kali dalam sejarah, dari memori serahterima jabatan Gubernur Maluku Dr.Robertus Padtbrugge tahun 1682. Dengan mengutip laporan Residen Manado ketika itu Abraham Meyert yang juga dicatat oleh penulis terkenal Belanda Francois Valentijn dalam buku Oud en Nieuw Oost-Indien’’ tahun 1714. Talete yang ditulis sebagai Tontelette (mungkin karena lafal dan aksen Talete dari sang residen) dicatat berpenduduk sebanyak 80 awu (dapur, rumah tangga), sekitar 400 jiwa.

Talete disebut terpisah dengan negeri Tomohon (ditulis Tomon) yang hampir menyatu dengan Kamasi (ditulis Cormasje) sama-sama berpenduduk 800 awu (sekitar 4.000 jiwa). Tidak ada lagi negeri-negeri Kinupit, Toumaajah, Rangihir, Tounbuntu dan Lingkonkong. Kuat dugaan penduduknya telah terkonsentrasi di Tomohon, berada di Nimawanua (Kolongan sekarang). Ini tergambarkan dari peta masa Padbrugge.


Jumlah penduduk hanya dari Talete ketika itu sama banyak dengan Balak Tombasian. Bahkan, masih lebih banyak dari penduduk Balak Sarongsong, Tonsea, Tompaso, Bantik dan Rumoong yang hanya berkisar 60-70 awu.

Asal nama Talete dipercayai dari kata Timete atau Taletena. Ini merujuk pada posisinya ketika itu yang harus dilewati menggunakan titian (jembatan) dari bambu atau kayu. Selain karena posisinya yang sulit, tujuan utama adalah demi pertahanan, ketika masih sering terjadi perang antarnegeri. Limondok sendiri dikisah dibentengi buluh-buluh tui, seperti umumnya negeri-negeri lain di Minahasa.

Namun, Talete pun dimaknai sebagai puncak atau bubungan rumah paling atas atau pertemuan atap di atas rumah. Orang menampak Talete di Limondok dari arah mana pun hanya melihat bubungan rumahnya, ketika rumah-rumah penduduk masih besar berdiri di atas tiang dihuni lima hingga delapan keluarga dan kawasan seputarannya masih lebat oleh pepohonan.

Talete pun diartikan pinggir bagian atas dari jaring penangkap kelelawar, dikaitkan dengan kebiasaan penduduk menangkap kelelawar yang sering mengganggu pemukiman. Ini pun dimaknai karena posisi negerinya yang masa itu berada di bagian pinggiran Tomohon.

Tokoh legenda Talete adalah Lewlew atau Leilei, dalam mitos disebut sebagai seorang wanita yang dikenal sebagai wanita penguasa Sineleyan, yang oleh beberapa kalangan dipercaya dikuburkan di lokasi berdekatan, masuk Talete Satu sekarang.

Meski demikian ada pendapat kuat apabila Lewlew adalah seorang pria. Versi ini dari istrinya bernama Mananuner terlahir Paat, yang menjadi Kepala Balak Tomohon pertama, terkenal dengan nama Paat Kolano dan memperoleh pangkat Kepala Hukum Majoor. Dua saudara wanita Lewlew lainnya Sumengkar diperistri Lontoh Kolano, Kepala Hukum Majoor lain dari Sarongsong serta Suanen diperistri Pacat Supit Sahiri, Kepala Hukum Majoor Tombariri.

Posumah, ayah Supit Sahiri, dipercaya menjadi Kepala Talete, di masa perang pengusiran Spanyol dari Minahasa tahun 1644. Menurut sejarawan Minahasa H.M.Taulu, Posumah putra Kepala Pakasaan Tomohon Worotikan (Lumi) inilah yang telah berhasil mengayau Kepala Spanyol di Minahasa Petor Don Pedro Alkasas. Namun, Posumah ditutur mati muda, dan istrinya Winuni dikawini Kepala Tombariri yang kemudian mengantar putranya Supit di masa kemudian menjadi Kepala Balak Tombariri.


Kubur Posumah sendiri disebut berada di lokasi Pinati, meski ada versi di dekat lokasi Pasuwengan pula.

Kepala Talete berikut adalah Mamuaja, menantu Paat Kolano. Mamuaja dalam silsilah tua Tomohon mengawini Liwun, putrinya, bersaudara dengan Manengkeimuri. Mamuaja ini menjadi kakek dari Lontoh Tuunan yang terkenal dalam perang Minahasa di Tondano 1808-1809.

Kemudian disebut pula Kepala Talete  menjelang pergantian abad ke-18 yang juga bernama Posumah, menurut sejarawan Tomohon Lodewijk Elisa Wenas sebagai Hukum [2] telah melakukan perlawanan terhadap Kompeni Belanda sejak masa Residen J.D.Schierstein dan terutama masa Residen George Frederik Durr.


Talete di Limondok menurut kisah telah ditinggalkan seusai perang Minahasa di Tondano (1808-1809). Banyak pemudanya telah bergabung dengan Lontoh Tuunan ikut berperang di Minawanua Tondano melawan Belanda, berakibat penduduk bercerai dan kemudian bermukim di pusat negeri Tomohon, masih di Nimawanua Kolongan sekarang.

Werwer (kelak dibaptis Kristen tahun 1848 bernama Lukas Wenas, hidup 1800-1881), turunan Tonsea, dan kemenakan Posumah menjadi pemimpin Talete di Nimawanua. Di bawah pimpinannya dikirakan tahun 1831 ia mengembalikan penduduk ke lokasi Talete sekarang.

Namun, kemungkinan kuat, penduduk telah kembali sebelum tahun 1831. Botanis dan pendiri Kebun Raya Bogor Profesor Caspar Georg Carl Reinwardt dalam buku ‘’Reize naar het Oostelijk gedeelte van den Indischen Archipel’’ menyebut pada malam hari tanggal 17 Oktober 1821 ia sempat berjalan-jalan (dengan berkuda) ke negeri kecil di dekatnya, yang kuat dugaan adalah Talete. Ia mengungkapkan rasa anehnya, karena hampir tidak pernah melihat wanita di negeri ini. ‘’Sudah menjadi kebiasaannya untuk pergi begitu orang Eropa muncul,’’ tulisnya. [3].

Zendeling pertama Tomohon Johan Adam Mattern ketika menginjakkan kaki pertama di Tomohon bulan Juli 1839 telah membangun rumah tinggalnya di Talete, berdekatan stad Tomohon sekarang. Rumahnya tersebut kemudian ditempati penggantinya Nicolaas Philip Wilken sejak April 1843.

Lukas Wenas kemudian diangkat menjadi Hoofd (Hukum) Talete sejak tahun 1831. Ia masih sebagai Hukum ketika peristiwa gempa bumi dahsyat tanggal 8 Februari 1845 terjadi. Masa penduduk Talete lari mengungsi terutama di Nimawanua.

Pendeta Wilken mencatat di seluruh Tomohon, hanya satu rumah yang tidak rusak. Selebihnya rusak parah (termasuk rumahnya). Dan, yang benar-benar roboh sebanyak 45 rumah. Sementara korban tewas dicatat 14 orang dan 40 korban luka berat dan ringan.

1845, Gempa Menghancurkan di Minahasa.             

Masa Wenas juga penduduk kembali ke Talete, membangun negeri barunya di lokasi sekarang, mendekati pusat kota sekarang, seperti negeri-negeri lain yang ikut pindah atau baru didirikan di pinggiran ruas jalan yang telah dilewati gerobak. Rumah-rumah dibangun lebih sederhana, umumnya, kata Wilken setinggi 3 hingga 6 kaki.

Lukas Wenas menurut keturunannya telah membuat jalan dari Talete ke Kuranga dengan memotong lembah kecil sehingga timbunan tanahnya telah membentuk danau kecil (telaga besar) Sineleyan. Ia pun berhasil menguruk tanah di bagian utara rumah sakit GMIM Bethesda sekarang, sebab sebelumnya lahan rawa-rawa.

Jabatannya terus menanjak. Tahun 1853 ketika Majoor Ngantung Palar meninggal, ia naik menjadi Kepala Distrik Kedua dengan gelar Hukum Kedua, mendampingi kemenakannya Majoor Roland Ngantung Palar yang menjadi Kepala Distrik mengganti ayahnya. Kemudian, ia sendiri mengganti Roland Ngantung sebagai Kepala Distrik dengan sekedar gelar Hukum Besar. ***


-----------

o   [1]. Diperkirakan lokasi Limondok, dekat mata air Sineleyan, bahkan lokasi Pasuwengan di Kakaskasen sekarang.
o   [2]. Sebutan lain dari Kepala (Hoofd) Negeri yang yang masih dipakai hingga pertengahan abad ke-19, kemudian dipilah lebih rinci untuk negeri besar sebagai Hukum Tua dan negeri kecil sekedar Hukum.
o   [3]. Ada versi lain, penduduk sebenarnya baru meninggalkan Limondok ketika terjadi peristiwa gempa bumi 1845. Lukas Wenas yang telah menjadi Hoofd Talete memimpin penduduk kembali setelah usai gempa gempa, dengan membangun Talete baru di lokasi sekarang mendekati ruas jalan yang telah dilebarkan sejak awal tahun 1840-an. Namun ada tuturan lain, kalau tokoh yang memimpin pemindahan pertama di tahun 1845 adalah Rampengan dengan membawa 33 penduduk yang bertugas untuk menjaga Tomohon dari gangguan keamanan akibat gempa bumi.


Sumber gambar:koleksi Sammlungen der Staatsbibliothek zu Berlin dari buku Ds.L.J.van Rhijn.
Sumber tulisan: Buku ‘’Riwayatmu Tomohon’’ 1986, buku ‘’Tomohon Kotaku’’ 2006 dan naskah ''Tomohon Dulu dan Kini’’.

Selasa, 16 Juli 2019

Mengenal Sejarah Rurukan




Rurukan tahun 2006.







Siapa pendiri Rurukan ? Seperti dengan legendanya, ada versi-versi.

Selain kisah tonaas tak dikenal dari Pendeta Jan Bodde di tahun 1883 dan tonaas bernama Makalen (atau menurut Pdt.N.Ph.Wilken, Makalew) tahun 1890, yang disebut pernah mendatangi dan mencetuskan nama sungai serta negerinya, kawasan tersebut sebenarnya sudah dikenal sejak lama.

Di zaman para leluhur, Dotu Rumengan, salah seorang dari kalangan Makatelu Pitu dicatat penulis terkenal Belanda Dr.J.G.F.Riedel, bersama dengan istrinya Katiwiei dan enam anaknya telah datang berdiam di dekat Rurukan. Kemudian juga dengan Porongnimiles, salah seorang dari lima putra Dotu Mandei, dikisah bermukim, dan menurut penulis Jessy Wenas meninggal dan diwarugakan di Rurukan.

Bahkan, pahlawan legendaris Tomohon Tumalun yang hidup dalam masa keemasan perang antarnegeri di Minahasa, disebutkan juga menggunakan Rurukan sebagai temboannya untuk mengintai negeri-negeri lain yang menjadi musuh Tomohon yang ada di bagian timur dan utara Minahasa.

Demikian pula, jejak-jejak perang Minahasa di Tondano (1808-1809) menorehkan lokasi Rurukan. Menjadi salah satu rute jalan rahasia untuk suplai senjata dan obat-obatan dari Balak Tomohon dan Kakaskasen kepada para pejuang di pulau delta Minawanua, kota Tondano masa itu.

Prof.Caspar Georg Carl Reinwardt dalam buku ''Reize naar het Oostelijk gedeelte van Indischen Archipel'' telah menyentil pula kondisi wilayah seputaran Rurukan ketika tanggal 17 Oktober 1821 ia berkunjung dan mendaki Gunung Mahawu (disebutnya Rumengan). Botanis dan pendiri Kebun Raya Bogor ini mencatat Tetemboan yang berada di sebelah selatannya. Tapi, tanpa melihat ada hunian atau pemukiman di dekatnya.

Menurut Reinwardt, kawasan hutan di sekitar Mahawu kehilangan semua kayu besar dan hanya ditutupi tanaman muda atau glagah. Semuanya akibat dari letusan terakhir yang terjadi sekitar 32 tahun silam, dan menurut perkataan orang tua yang masih mengingatnya, sangat hebat.

Berkembang dua versi utama pendirian negeri Rurukan. 

Versi pertama, berkait dengan tokoh Pangkey Posumah (yang juga dikembangkan dengan nama-nama berlainan, seperti Pangkey Rintek, atau bahkan Pangkey Rumimper).


Konon, setelah kejadian dengan budaknya, beberapa waktu kemudian, Pangkey Posumah mengajak sejumlah penduduk Tomohon melintasi Gunung Masarang untuk membuka perkebunan di dekat lokasi bernama Kopi ne Kamasi. Di pinggir sebuah sungai kecil mereka melakukan Rumages, tapi, tidak dikabul. Tanahnya tidak subur, karena ubi bĂȘte merah (wongkai) yang ditanam tidak tumbuh. Tempat tersebut berikut sungainya dinamai Kelong (tidak terkabul atau tidak diizinkan atau Kinelongan).

Tapi, para pemukim kembali mendatanginya sekitar tahun 1830 atau 1840-an. Naturalis Inggris Alfred Russel Wallace dalam bukunya ''Malay Archipelago'' tahun 1869 mencatat gempa bumi dahsyat 1845 telah merobohkan rumah-rumah tinggi yang telah didirikan oleh para pionir Rurukan. Baru setelah kejadian tersebut rumah-rumah dibuat lebih sederhana, sehingga ke-70 rumah yang ada tidak sampai mengalami kerusakan dalam peristiwa gempa bumi berikut tanggal 29 Juni 1859.
          

Dari tuturan tua-tua Rurukan, setelah gempa bumi tanggal 8 Februari 1845, Tonaas Pangkey datang bersama rombongan pengungsi dari Tomohon. Asal Paslaten, Talete, Kolongan, Kamasi dan Matani.   

Tokoh lain dalam rombongannya adalah Tonaas Herman Prang alias Tawuru, Se’pal (disebut juga Sempal) Wowiling, Prokok Moningka, Paat dan keluarga-keluarga Kaunang, Kaligis, Pailah, ditambah beberapa keluarga asal Sarongsong.

Mereka kemudian bersepakat membangun satu negeri. Digelar acara Rumages, dan ketika Pangkey  ma’rages, burung Manguni berbunyi sembilan kali, kebetulan di samping kanan sungai Rurukan. Konon, ini menjadi pertanda permintaan (raragesan) mereka dikabulkan (linelean).

Kepala Distrik Tomohon Majoor Mangangantung (Ngantung Palar) meresmikan pendirian negeri baru dalam distriknya. Menurut tua-tua Rurukan, terjadi dialog antara Mangangantung dengan Pangkey yang masih sepupunya.

’Kura ko intimonaas mbanua weru kenu,’’ Mangangantung bertanya bagaimana proses pendirian negeri baru ini.

‘’Umbanua kenu e mei talinga si kokok manguni makasiow si zimanime witu ruruk ung kakan u sosoan Rurukakan,’’ jelasnya kalau negeri terjadi setelah didengar bunyi burung manguni sembilan kali di samping kanan sungai Rurukan.

Maka, menyahutlah Mangangantung: ‘’O ya, satentu ambanua kenu engaranantamo wanua Rurukan.’’

Demikian, jadilah Rurukan nama negerinya.

Dari tokoh-tokoh awal, Herman Prang dan Se’pal Wowiling dikisahkan menjadi teterusan terkenal yang banyak mengayau musuh, dan melakukan perluasan wilayah Tomohon ke arah timur.

Prokok Moningka membuka perkebunan di sebelah timur, setelah melakukan acara memanggil burung Manguni dengan meniup suling bambu (soring) di lokasi Sosoringin (tempat SD RK sekarang).

Namun, di tempat perkebunan dan hunian baru itu telah terjadi wabah penyakit dan kesulitan air minum. Karena itu mereka meninggalkannya. Tempat tersebut dinamai Kinagogaran (tempat berpisah). 

Prokok Moningka pergi ke utara, mendirikan Rumengkor dan merintis Suluan. Kuburnya sendiri berada di Rumengkor.Sementara Se’pal Wowiling dan Paat kembali ke Rurukan.

Se’pal kemudian menjadi Kepala Jaga. Menurut Jessy Wenas ia bernama Sempal (lebar) karena telapak kakinya lebar hingga sulit mengenakan sepatu. Sebagai Tonaas Mamumuis, ia ditutur yang menyediakan kepala manusia untuk pembangunan dua jembatan pertama di Rurukan (ketika masih beratap). Turunannya keluarga Wowiling hingga tahun 1950-an masih menyimpan tengkorak bekas kayauannya.

Paat dengan nama Makawewek (karena yang pertama memelihara bebek), adalah Walian in uma yang memimpin upacara-upacara adat. Ia kelak menjadi Meweteng.

Versi kedua, adalah Rurukan didirikan Erson Karundeng yang dikisahkan hidup 1738-1848. Karundeng berasal Lemoh Tombariri, datang ke Rurukan tahun 1759. Awalnya di Kelong lalu di Kinagogaran, kemudian di tempat Rurukan sekarang. Kejadiannya direka terjadi tanggal 16 Agustus 1768 setelah diadakan acara Rinegesan (Rumages) dimana seekor babi hutan muncul dan diburu kemudian ditombaki rusuknya di lokasi bernama Kinontaan. Erson menurut versi ini menjadi pemimpin awal sejak 1768 hingga meninggalnya.

Dari namanya, Erson pasti telah beragama Kristen. 

Sementara, pembaptisan pertama di Rurukan serta pendirian Jemaat (sekarang Bukit Sion) baru dilakukan Pendeta Nicolaas Philip Wilken tahun 1854. 

Memang, di tahun 1852 dari total penduduk Rurukan 390 orang, telah terdapat 9 orang Kristen. Tapi, semuanya dibaptis Wilken di Tomohon.

IBUKOTA ONDERDISTRIK

Rurukan berkembang pesat, sehingga di tahun 1848 diresmikan sebagai satu negeri dipimpin seorang Hukum Tua yang dipilih penduduk. Tanggal  30 April 1848 dianggap sebagai tanggal resmi pendiriannya. 

Loho Kaunang berasal keluarga yang datang dari Kolongan terpilih menjadi Hukum Tua Rurukan pertama. Di lokasi dekat rumahnya tahun 1948 dibangun tugu peringatan 100 tahun Rurukan.

Karena letaknya yang paling tinggi di Minahasa, Rurukan sejak awal telah menarik minat banyak orang asing. Tokoh pertama yang mengunjunginya, selain Wilken adalah Pendeta Dr.Steven Adriaan Buddingh di bulan Juni 1854. Kemudian Alfred Russel Wallace yang tinggal 23 Juni-3 Juli 1859.

Salah seorang pengusaha Belanda di Manado Wouter Dirk van Baak, kerabat mantan Residen Yogyakarta Bastiaan van Baak yang juga bekas Asisten Residen Gorontalo memperoleh izin dari pemerintah kolonial pada bulan Februari 1879 untuk menyewa sebidang tanah kosong di Rurukan. Klaim tanah-tanah kosong di Rurukan terjadi setelah penerapan Domeinverklaring yang menegas kalau tanah-tanah tidak digarap menjadi milik negara, mengorbankan banyak lahan pasini penduduk. Hal yang diprotes Hukum Kedua  Rurukan.

Berperan strategis, tahun 1859 Rurukan telah menjadi ibukota Onderdistrik (distrik bawahan, distrik kedua) dipimpin seorang Hukum Kedua (sekarang setingkat Camat).

Posumah, kemudian Petrus Hendrik Wenas, anak tertua Kepala Distrik Tomohon Hukum Besar Lukas Wenas menjabat sebagai Hukum Kedua tahun 1877. Petrus Wenas kelahiran tahun 1839 meninggal dan dikubur di Rurukan tahun 1891.

Hukum Kedua terakhir adalah Daniel Supit tahun 1881 hingga meninggal 9 Desember 1887 dikubur di Passo Kakas.

Tokoh dari kalangan Hukum Tuanya banyak. Antaranya Manopo Wenas (hidup 1865-1935), anak mantan Hukum Kedua Petrus Wenas. Ia tercatat paling lama memerintah, 1888-1930. 

Di rumahnya yang disewa guru Gerrit Lodewijk Palar tanggal 5 Juni 1900 lahirlah Babe Palar yang bernama lengkap Lambertus Nicodemus Palar. Babe Palar kelak terkenal sebagai diplomat ulung dan pahlawan nasional. Mengenang tempat kelahirannya ini tahun 2017 dibuka perpustakaan Babe Palar oleh Gubernur Bank Indonesia ketika itu Agus Martowardojo, masih saudara menantunya.

Selain Babe Palar, Rurukan melahirkan beberapa tokoh terkenal. Inlandsch-leeraar (sebelumnya disebut Penolong Injil) Tiendas, salah satu dari beberapa penolong injil asal Rurukan telah berkarya di Tagulandang. Tanggal 7 Oktober 1924 ia hilang bersama Zendeling Tagulandang W.Grau dalam perjalanan ke Pulau Biaro. 

Putranya Paul Adriaan Tiendas tahun 1944-1946 menjadi Raja Tagulandang.


Tokoh terkenal lain asal Rurukan adalah dr.Gerard Paat MPH,PhD, kelahiran Rurukan 22 Agustus 1936. Kolonel Laut purnawirawan ini adalah seksolog terkemuka Indonesia, pernah menjadi Direktur Kesehatan dan Rehabilitasi Cacat (ketika itu) Dephankam. Kemudian ada Dra.Paulina Ngiangsumarang Tiendas. Istri Drs H.F.Manginsela ini sempat tiga periode jadi anggota DPRD-Gotong Royong Sulut. 

Ada lagi Nini Maramis, tokoh wanita kelahiran Rurukan 27 Agustus 1943, istri dari Ir.Sarwono Kusumaatmadja, mantan Menteri Negara PAN dan Menteri Negara Lingkungan Hidup juga Menteri Kelautan dan Perikanan. Nini adalah putri diplomat Max Maramis, pernah Duta Besar Indonesia di Tunisia dan terakhir Uni Soviet.

Hukum Tua Rurukan terkenal berikut adalah Paul Kaunang tahun 1939-1945. Ia sangat melindungi masyarakatnya dari tindakan tidak terpuji tentara Jepang yang menjadikan Rurukan sebagai salah satu pusat perbekalannya. Ia telah ditangkap dan ditahan di penjara Jepang yang berada di Lewet Tondano. Ketika penjara tersebut dibom pesawat Sekutu awal tahun 1945 sebelum Jepang menyerah, Kaunang tercatat sebagai salah satu korbannya.

Masa pergolakan daerah Permesta, Rurukan dipimpin Hukum Tua Agus Rambing (1960-1965) ketika penduduk banyak mengungsi di Tomohon, Tondano bahkan Manado.

Jan Piet Kalele juga adalah Hukum Tua terkenal. Ia memimpin Rurukan sejak tahun 1965, dan meninggal 14 April 1973 karena selisih paham menyangkut tiang listrik, ketika listrik masuk Rurukan.

Rurukan terus berkembang. Tanggal 21 Februari 1985, masa Kepala Desa Jonnie Wowiling ketika Rurukan berpenduduk hampir 3.000 jiwa dengan 505 kepala keluarga, pemukiman di bagian utara diresmikan sebagai Desa Persiapan bernama Temboan, kemudian desa definitif 23 September 1987. Di tanggal 22 April 2003 nama Temboan berubah menjadi Rurukan Satu sampai sekarang.

Tanggal 4 November 2004 status Rurukan dan Rurukan Satu dari desa menjadi kelurahan.  Lammert Kaparang menjadi Lurah Rurukan pertama dan Joseph Pongoh pejabat di Rurukan Satu. ***



-----

·         Sumber foto: Jootje Umboh.
·         Sumber tulisan: Buku ‘’Riwayatmu Tomohon’’ 1986, buku ‘’Tomohon Kotaku’’ 2006 dan naskah ‘’Tomohon Dulu dan Kini’’.