Rabu, 25 September 2019

Protestan di Tinoor








Gereja GMIM Solafide sekarang.






Pertumbuhan Protestan di Tinoor unik, karena bukan berkembang langsung dari Tomohon, tapi dari Lotta, kendati tokohnya sama Zendeling Nicolaas Philip Wilken dari Tomohon. Tinoor masa silam memang masih lebih dekat ke Lotta, lewat jalan lama yang sekarang dikenal Jalan Tangga-tangga. Lotta masih kedudukan dari Kepala Distrik Kakaskasen, dimana sampai tahun 1908 Tinoor bernaung sebagai salah satu negerinya. Ruas jalan vital Manado-Tomohon lewat Pineleng yang ada sekarang baru dibangun tahun 1911 menggantikan rute lama via Lotta.

Wilken mencatat ia mendirikan Jemaat (Gemeente) Tinoor (sekarang Jemaat GMIM Solafide) di tahun 1860, ketika ia melakukan pembaptisan pertama di Tinoor terhadap 5 penduduk. 

Namun, menurutnya, sudah ada sejumlah orang Kristen di Tinoor yang dibaptisnya di Lotta dan Kakaskasen. Ada bahkan yang sudah disidi dan diberkati perkawinannya. Karena belum ada gereja, mengingat luas wilayah kerjanya, maka untuk pelayanan ibadah dan pelajaran agama ia memusatkan di Lotta. 

‘’Yang dari Tinoor bersama dari Koka dan Warembungan di gereja Lotta. Dari Kinilow dan Kayawu di Kakaskasen,’’ catatnya.

Menurut Wilken dari periode pelayanan 1843 hingga 1860 tersebut ada 5 penduduk Tinoor (4 dewasa dan 1 anak) dibaptis di Lotta. Yang dikawinkannya 3 pasang dan disidi 2.

Orang Tinoor yang dibaptis Wilken ini sudah dicatat Dr.Pieter Bleeker di akhir tahun 1852. Bleeker menyebut dari total penduduk Tinoor ketika itu 205 jiwa, sudah ada 5 orang Kristen.

Untuk pertama kali di Tinoor, tanggal 20 Oktober 1860 Wilken melaksanakan sakramen baptisan terhadap 5 penduduk. Empat orang dewasa (Albertus Purukan, Karel Sulu, Daniel Mundo dan Nicolaas Longdong) serta 1 anak (Ertus Pangkej, kelak Hukum Tua).

Wilken merinci jumlah penduduk Tinoor tahun 1860 sebanyak 228 orang. Di luar dari yang dibaptisnya, atau pendatang dari luar yang dibaptisnya di Kakaskasen, Jemaat Protestan Tinoor pertama sebanyak 28 orang, dengan kehadiran di gereja 11 orang. Sisanya 200 orang masih berkepercayaan leluhur (dicatat NZG kafir atau heidenen).

SEMUEL LIUW
Dari antara orang luar yang dibaptis Wilken dan bekerja di Tinoor adalah Semuel Liuw, bersama istri dan dua anak kembarnya. Liuw adalah guru Sekolah Negeri (Negerijschool atau Negorijschool) Tinoor. Liuw telah dibaptis di negeri asalnya Kakaskasen.

Berbeda di lain negeri, dimana NZG sebagai pendiri, sekolah Tinoor disponsori pendirian dan pembiayaannya oleh negeri sendiri. 1]

Sekolah Negeri Tinoor ini berdiri tahun 1859 dengan pengangkatan Semuel Petrus Liuw sebagai guru. Semuel Liuw adalah lulusan Sekolah Genootschap Kakaskasen, didikan Jusuf Tumbelaka. 2]


Sekolah Negeri Tinoor dimulai dengan 20 murid, meski yang hadir sehari-hari 16. Tahun 1860 menjadi 22 murid.

Liuw berperan penting dalam,pekerjaan di sekolah dan jemaat. Ia diangkat Wilken sebagai Guru Jemaat (onderwijzer-voorganger). Selain Liuw, sejak tahun 1861 Wilken dibantu Hulpzendeling (Penolong Injil) Cornelis Wohon yang sering menggantikannya memberi pelajaran agama atau perkunjungan rumah di Tinoor. Wilken menyebut dalam setahun ia hanya dua atau tiga kali berkunjung dengan kuda. 

Tahun 1861 murid Sekolah Negeri Tinoor meningkat 43 anak (kehadiran 28). Tahun 1861 ini (30 Desember) Wilken melakukan pembaptisan kedua, atas 18 orang dan tahun berikut (10 Desember 1862) 3 penduduk.

Wilken mencatat dalam laporan tahun 1867, di Distrik Kakaskasen yang tengah dipimpin Hukum Besar W.L.Parengkuan, dimana Tinoor menjadi satu negerinya, masih terjadi hambatan. Orang Kristen dipaksa untuk bekerja di hari Minggu, sementara untuk pelaksanaan foso diberikan kesempatan. Ia juga mengkhawatirkan kedekatan Kakaskasen dengan Manado yang merugikan moralitas.

Populasi Tinoor di tahun ini sebanyak 262 jiwa. Orang berkepercayaan lama 206 dan Kristen 56. Ia telah membaptis 36 jiwa. Orang dewasa 28 (13 pria dan 15 wanita) serta 8 anak. Sementara orang yang disidi masih ada 3, begitu pun yang kawin masih ada 3. Sekolah Negeri di bawah guru Liuw, memiliki 42 murid (24 anak laki dan 18 anak perempuan), namun yang datang ke sekolah setiap hari 27. Wilken mengawinkan 1 pasang tahun ini.

Sejak 22 November 1868 penanganan Jemaat Tinoor diserahkan Wilken kepada Zendeling Jan Louwerier. Louwerier dalam pelayanannya tetap dibantu Guru Jemaat Liuw dan Hulpzendeling Cornelis Wohon. Dalam pekerjaan harian di Jemaat, Guru Jemaat telah dibantu 1 ouderling (penatua) dan 2 diaken (syamas) yang dipilih anggota jemaat.

Tahun 1868 Louwerier melakukan pembaptisan pertama dengan 4 anak. Di bulan Desember 1868 Sekolah Negeri Tinoor di bawah Liuw memiliki 50 murid (31 anak laki dan 19 anak perempuan), dengan kehadiran 21 anak. Tahun 1869 50 murid (34 laki dan 16 anak gadis), dan kehadiran 21. Ultimo Desember 1870 muridnya 53 (40 anak laki-laki, 13 anak perempuan) dengan kehadiran 31.

Louwerier tahun 1873 membaptis 10 jiwa (7 dewasa dan 3 anak). Ia juga mengawinkan 1 pasang. Tahun  1873 10 orang (2 dewasa 8 anak), dan 1 kawin. Tahun 1874 33 orang sekaligus (29 dewasa 4 anak).

Louwerier mencatat tentang Jemaat Tinoor tahun 1875. Ia memuji Kumpulan Kaum Wanita yang berlangsung di hari Minggu di bawah bimbingan guru Liuw. Mereka mempelajari sejarah Alkitab, juga belajar membaca dan berhitung. Ia mengaku terkejut dengan jawaban yang tepat dari mereka. Louwerier hanya merasa prihatin dengan perikehidupan sejumlah penduduknya.

Anggota sidi pertama kali diteguhkan Louwerier tahun 1875 terhadap 19 orang. Louwerier juga membaptis 30 anak dan kawinkan 6 pasang. Tahun 1876 ia membaptis 72 orang (14 dewasa dan 58 anak) dan kawin 1 pasang. Tahun 1877 34 orang (9 dewasa dan 25 anak) dan 1 pasang kawin. Tahun 1878 38 (19 dewasa 19 anak) dan 2 kawin. Tahun 1879 27 orang (9 dewasa 18 anak). Tahun 1880 23 jiwa (2 dewasa 21 anak) dan kawinkan 1 pasang. Tahun 1881 baptis 6 anak dan 1 kawin dan tahun 1882 baptis 11 anak.

Kondisi Sekolah Negeri Tinoor mulai memprihatinkan sejak tahun 1875. Guru Liuw tidak menerima bayaran apa pun. Tapi, karena dedikasi ia tetap menjalankan sekolah, sehingga Louwerier harus membantunya. Bulan September 1878 Louwerier mengusul Residen Manado untuk mengambilalih sekolah. Ini disetujui, dan sejak Januari 1879 sekolah berjalan normal dengan pembiayaan dari berbagai partisipasi, antaranya dari dermawan di Negeri Belanda, terutama Jemaat Tinoor sendiri.

Tahun 1878 Werkkring Tomohon di bawah Zendeling Jan Louwerier (Jemaat Tinoor menjadi bagiannya) berubah menjadi Resort di bawah Louwerier yang menjadi Hulpprediker. Sementara Hulpzendeling berubah sebutan Inlandsch leeraar, digaji Indische Kerk, tidak lagi dari NZG. Tinggal persekolahan saja yang ditangani NZG. 3]

Tahun 1882 status sekolah Tinoor resmi menjadi Sekolah Genootschap dibiayai NZG, dengan Liuw tetap sebagai guru. Bulan Desember ini jumlah murid 47 (37 laki dan 10 perempuan) dengan kehadiran 20 anak. Louwerier membaptis 11 anak.

Ultimo Desember 1883 jumlah muridnya 49 (40 anak laki-laki dan 9 perempuan), dengan kehadiran rendah, hanya 19. Louwerier tahun ini membaptis 8 orang (1 dewasa dan 7 anak) serta kawinkan 2 pasangan.

Tahun 1884, Louwerier membaptis 16 orang (1 dewasa 15 anak) dan 4 sidi. Sekolah Genootschap memiliki 38 murid laki-laki dan 8 perempuan. Dari total 46 murid, hadir sehari-hari 21. Tahun 1885 ia membaptis 12 orang (2 dewasa 10 anak), sidi 3 dan kawin 2. Sekolah di bawah guru Liuw hanya dihadiri 19 siswa, dari jumlah murid 47 (34 laki dan 13 perempuan). Masa ini Jemaat Tinoor membangun gereja yang lebih baik dibiayai dari kas gereja.

RESORT TANAWANGKO
Bulan September 1886 terjadi perubahan. Hulpprediker Resort Tomohon Jan Louwerier menyerahkan penanganan Jemaat Tinoor, termasuk Kinilow dan Kayawu kepada Hulpprediker Tanawangko Jan ten Hove. Di tahun ini ten Hove membaptis 9 anak, sidi 3 orang dan kawinkan 3 pasang. Sekolah Genootschap dengan guru Liuw di bawah penilikannya memiliki 50 murid (35 laki dan 15 anak perempuan), dengan kehadiran 33.

Evangelisasi Jan ten Hove selang tahun 1887 membaptis 26 orang (8 dewasa 18 anak) 1 sidi dan 3 kawin. Sekolah menurun, dengan 39 murid (34 laki 5 perempuan) sedang kehadiran hanya 19.

Jan ten Hove tidak lama. Tahun 1888 ia pindah di Resort Maumbi. E.W.G.Graafland, anak Zendeling Nicolaas Graafland, menggantikannya. Tahun ini, Eduard Graafland  membaptis 22 orang (3 dewasa dan 19 anak), sidi 9 dan kawin 1. Sekolah menunjuk kehadiran yang naik, menjadi 32 orang dari total murid 43 (34 laki 8 perempuan).

Tahun 1889 Graafland membaptis 13 orang (3 dewasa 10 anak) dan kawinkan 3 pasang. Sekolah memiliki 43 murid, dengan kehadiran 21.

Sejak 1889 pula Jemaat Tinoor resmi dipimpin oleh seorang Inlandsch leeraar. S.Lantang yang bertugas di Taratara dan Woloan, ditetapkan sebagai Inlandsch leeraar Tinoor. Ia melayani pula Jemaat Kayawu dan Kinilow, disamping Taratara dan Woloan.

Total penduduk Tinoor tahun 1889 ini 382 jiwa. Jemaat Protestan 278 jiwa. Sisanya penganut kepercayaan lama 77 dan Katolik 27.

JORGEN SEKEH
Tahun 1891, guru Semuel Liuw setelah lama, digantikan oleh guru Jorgen Sekeh, lulusan Kweekschool (Sekolah Guru) Tomohon. Di bawah kepemimpinan Sekeh, sekolah memiliki 70 murid (50 anak laki-laki dan 20 anak gadis), dengan kehadiran sehari-hari 37. Tahun ini pula Hulpprediker Tanawangko E.W.G.Graafland membaptis 46 orang (27 dewasa 19 anak), sidi 1 dan kawin 18.

Ultimo Desember 1892 sekolah di bawah guru Sekeh mempunyai 53 murid (42 anak laki dan 11 anak gadis).

Terjadi rotasi posisi Inlandsch leeraar. S.Lantang berkonsentrasi di Woloan dan Taratara (bertambah Ranotongkor). Penggantinya adalah Inlandsch leeraar L.Pongai yang sebelumnya bertugas di Sawangan dan Kamangta. Selain Tinoor, Pongai melayani Jemaat Kayawu dan Kinilow. Di tahun 1892 ini penganut alifuru  menurun, tinggal 10 orang. Total penduduk Tinoor adalah 354 jiwa, dengan Protestan 350 dan Katolik 4 jiwa.

Tahun 1893 sekolah di bawah guru Sekeh dan penilik Eduard Graafland memiliki 54 murid (kehadiran 31). Graafland muda membaptis 16 anak dan kawinkan 1 pasangan. Jemaat Protestan Tinoor 352, Katolik 4, kafir 13, dengan populasi Tinoor 369.

Solafide dari kejauhan.


Kehadiran murid Tinoor masih kurang. Bulan Desember 1894, sekolah hanya dihadiri 26 anak, padahal terdaftar 45. Dari penduduk yang berjumlah 350 orang tahun 1894, Protestan 336, Katolik 3 dan masih ada 11 agama lama. Graafland membaptis 11 anak, sidi 4 orang dan kawinkan 5 pasang.

Statistik ultimo 1895, Jemaat masih di bawah Inlandsch leeraar L.Pongai sebanyak 258 jiwa. Dari total penduduk 371, masih ada 13 alifuru sementara Katolik tidak ada.

Sekolah Genootschap Tinoor mengalami pergantian pimpinan. Guru Jorgen Sekeh berangkat ke Sulawesi Tengah bersama Zendeling Dr.Albertus Christiaan Kruijt, bekerja sebagai guru di Poso (meninggal tahun 1905). Sebagai pengganti adalah Arnold Longdong. Bulan Desember 1895, murid di bawahnya 51 (39 anak laki-laki dan 21 anak gadis), dengan kehadiran 28. Dalam kegiatan evangelisasi, Graafland membaptis 13 anak, 11 sidi dan 4 kawin.

Tahun 1896 Jemaat Tinoor di bawah Inlandsch leeraar.Pongai sebanyak 361 jiwa, dan masih ada 11 alifuru. Kehadiran murid Desember 1896 dicatat hanya 26 dari terdaftar 49 anak. Graafland membaptis 1 anak dan kawinkan 4 pasang.

Penduduk Tinoor tahun 1897 373 orang. Protestan di bawah Pongai 359, dan kafir bertambah 14. Graafland membaptis 20 anak dan kawinkan 2 pasangan. Sekolah dengan 60 murid hanya mencatat kehadiran 26 murid.

Tahun 1898 Pongai pindah menangani Jemaat Kakaskasen (lalu di Tomohon). Jemaat Tinoor dipegang Inlandsch leeraar Z.Sumendap yang merangkap pelayanan di Kayawu dan Kinilow. Dari total penduduk Tinoor 368 jiwa, Jemaat Protestan 354, dan kafir 14.

Tahun 1898 ini Hulpprediker E.W.G.Graafland pindah di Resort Amurang, sehingga Resort Tanawangko kosong. Pandita Tomohon Jan Louwerier dan Pandita Maumbi Jan ten Hove mengisi pelayanan baptisan. Tahun 1898 11 anak Tinoor dibaptis, 3 disidi dan 3 kawin. Sekolah di bawah guru Longdong Desember ini memiliki 52 murid, dengan kehadiran 27.

Tahun 1900 bertugas dari Resort Tanawangko Hulpprediker C.J.I.Sluyk. Dalam kegiatan evangelisasinya, Sluyk membaptis tahun 1900 24 anak dan 1 dikawinkan. Jemaat Tinoor di bawah Sumendap bertambah menjadi 411. Dari total penduduk 424 jiwa masih ada 13 agama lama. Sekolah Genootschap memiliki 55 murid dengan hadir per hari rata-rata 26.

Penduduk Tinoor tahun 1901 438 jiwa, dengan Protestan 425. Sluyk membaptis 18 anak dan kawinkan 2 pasang. Murid di bawah Longdong 52 dan kehadiran 26. Tahun 1902 murid terdaftar 69 dan kehadiran 37. Tahun ini Sluyk membaptis 23 orang (2 dewasa 21 anak) dan kawin 1 pasang. Penduduk Tinoor 450 jiwa, dengan 444 Protestan di bawah Sumendap.

RESORT TARATARA
Sejak tanggal 6 Oktober 1903 Resort Tanawangko hilang berganti Resort Taratara, dengan Jemaat Tinoor yang berjumlah 470 orang menjadi bagiannya. Dari jumlah penduduk tahun ini 479, masih ada 5 kafir, dan Katolik tumbuh kembali dengan 4 jiwa.

Pandita.Sluyk membaptis 27 orang (1 dewasa 26 anak) dan kawinkan 4 pasang. Sekolah di bawah Longdong mencatatkan rekor 71 siswa (54 anak laki dan 17 anak gadis), namun kehadiran 33.

Sluyk bertugas hingga 16 Oktober 1904. Untuk sementara Resort Taratara dilayani Pandita Tomohon, Amurang dan Maumbi, dan sejak 26 Desember ditempatkan Hulpprediker J.G.de Haan. Pembaptisan selang 1904 23 anak dan 3 pasangan kawin.

Statistik 1904, Jemaat Tinoor masih di bawah Sumendap sebanyak 487 orang. Total penduduk 451. Lainnya Katolik 1, kafir 3 dan ada 1 Islam. Sekolah mencatat 66 murid, dan kehadiran 31.

Tahun 1905 Pandita de Haan membaptis 18 anak, sidi 14 dan kawin 10. Sekolah dengan 58 murid dan kehadiran 32. Jemaat Tinoor 477 jiwa, dan dengan total penduduk 481, ada 1 Katolik dan 3 kafir. Tahun 1906 penduduk Tinoor 487 dengan 484 Protestan, kafir 3 dan Katolik tidak ada.

Sekolah Genootschap Tinoor sejak 1906 mulai dipimpin Lodewijk Mathindas yang lulus dari Kweekschool Tomohon. Guru Longdong dipindahkan de Haan di Woloan mengganti guru J.Wehantouw yang dipensiun. Murid sekolah Desember 1906 sebanyak 67 (44 anak lelaki 23 anak gadis), dan kehadiran meningkat 43. Hulpprediker de Haan membaptis 20 anak dan kawinkan 2 pasang.

Tahun 1907 Inlandsch leeraar Sumendap dipindah di Tombariri melayani Poopoh, Teling dan Kumu-Arakan. Penggantinya Inlandsch leeraar L.Rompis sebelumnya bertugas di Pinamorongan dan Wuwuk. Jemaat Protestan Tinoor 478 jiwa dari total 480 penduduk. Orang berkepercayaan lama masih 2. Rompis ikut melayani Kinilow dan Kayawu. Pandita de Haan membaptis tahun ini 22 orang (2 dewasa 20 anak), sidi 11 dan kawin 1. Sekolah tahun 1907 dengan 90 murid dan kehadiran 53.

Tahun 1908 Jemaat Tinoor sebanyak 491, sedang populasi seluruh Tinoor 493. De Haan membaptis 31 orang dan kawinkan 5 pasang. Murid di bawah guru Mathindas 90 anak dan kehadiran 52. Tahun 1908 ini Distrik Kakaskasen dihapus, dan Tinoor digabung ke dalam Distrik Tomohon-Sarongsong (kelak tinggal Distrik Tomohon).

Penduduk Tinoor tahun 1909 498 jiwa, dengan Protestan 487 (masih 1 kafir). Pandita de Haan membaptis 22 anak, sidi 6 dan kawin 7. Sekolah 84 murid dan kehadiran 57.

Tahun 1910 penduduk menjadi 529, dengan Protestan 528, masih di bawah pelayanan Inlandsch leeraar L.Rompis. Sekolah di bawah guru Mathindas memiliki 83 murid (53 anak laki-laki dan 30 anak gadis), serta kehadiran 50. ***


---------
1]. Kendati hanya lulusan Sekolah Genootschap Kakaskasen (tidak dari Sekolah Guru Tanawangko), dan dari mengikuti pelajaran bulanan di pertemuan para guru, Semuel Liuw dipuji Jan Louwerier sebagai salah seorang guru terbaik di Minahasa.
2] Guru Sekolah Negeri digaji dari kas Distrik (districtskas), bangunannya didirikan dan dikelola negeri di bawah Hukum Tua, sementara buku dan alat tulis didanai orangtua murid.
3] Baik Zendeling mau pun Hulpprediker, tetap sama disebut penduduk sebagai Pandita, sementara Inlandsch leeraar tetap dikenal dengan sebutan Penolong Injil.

  
·         Foto koleksi Bryan Nimitz Sondak.
·         Sumber tulisan: Maandberigt van het Nederlansche Zendelinggenootschap, 1870,1876,1880,1886. Mededelingen NZG 1857-1911. Reis door de Minahassa en den Molukschen Archipel, 1856 oleh Dr.P.Bleeker, dan naskah Tomohon Dulu dan Kini.

Jumat, 20 September 2019

Majoor Ngantung Palar








Waruga Ngantung Palar.







Mangangantung nama alifurunya, tapi dalam sejumlah dokumen dicatatkan sebagai Ngantung. Ia adalah salah seorang dari banyak Kepala Distrik Tomohon yang terkenal. Dari pihak ibu ia masih keturunan Lokon Worotikan dan Supit Sahiri Macex. Dari pihak ayah ia keturunan dari Tololiu (tua) dan Paat Kolano.

Ayahnya adalah Palar Hukum Matani, ibunya Wurimbene.1]

Awalnya Ngantung menjabat sebagai Hukum setelah penduduk Matani berpindah dari Nimawanua ke lokasi di Matani Tiga sekarang. Ia naik menjadi Kumarua (Hukum Kedua) di masa pamannya dari pihak ibu Majoor Mamengko (Mamangku) menjadi Kepala Balak (kemudian Distrik) Tomohon. Ibunya Wurimbene (Wudimbene) adalah anak Manoppo bekas Kepala Balak Tomohon dengan Maria Posumamuri, seorang wanita yang telah menjadi Kristen. 2]

Ketika pamannya Majoor Mamengko diberhentikan, Ngantung menjadi Kepala Distrik Tomohon yang baru dan kemudian memperoleh gelar kehormatan Majoor.

Ia diperkirakan lahir di tahun 1780-an atau 1790-an, dan menjadi Kepala Distrik Tomohon sejak awal tahun 1830-an.

Nama Ngantungnya (dengan gelar Hukum Besar) tercatat ketika bertindak atas nama Distrik Tomohon membeli tanah Kalakeran Tomohon di Manado. Tanggal 1 Juli 1835 bersama Kepala Distrik Sarongsong Hukum Besar Waworuntu (kelak Herman Carl Wawo-Roentoe) dan Kepala Distrik Kakas Hukum Besar Inkiriwang (Johanis), mereka membeli di Manado dari tuan tanah Martinoes Catharinoes Lans yang juga menjabat sebagai Sekretaris Keresidenan Manado tanah luas seharga 1.000 gulden. Tanah tersebut menjadi tanah Kalakeran Distrik Tomohon di Manado. Belakangan menjadi Kampung Tomohon di Manado, juga Kampung Sarongsong dan Kampung Kakas. 3]

Tahun 1845 Zendeling Nicolaas Philip Wilken menggambarkan Majoor Ngantung sudah berusia tua, berambut putih, tidak dapat membaca dan menulis. Ia harus minta tolong orang lain untuk membaca apabila ada surat dari Residen.4]

Ngantung baru memperoleh gelar Majoor di tahun 1844. Gelar Majoor diberikan pemerintah Belanda kepada Kepala Distrik yang berjasa dalam penanaman kopi kebijakan tanam paksa kolonial. Sebelumnya menurut Wilken ketika ia mulai bekerja di Tomohon 1 Februari 1843, Ngantung masih bergelar Hukum (Besar) saja. 5]

Ngantung menjadi oposisi besar bagi agama Kristen di Tomohon. Ia menjadi pemimpin besar (Walian Wangko) agama leluhur Minahasa, memimpin langsung upacara-upacara pengorbanan (foso) yang dianggap Wilken sebagai pesta yang memiskinkan penduduk. Ia mencatat di tahun 1843, foso yang berlangsung di negeri Tomohon saja sebanyak 124 foso, dengan biaya yang dihabiskan mencapai 20.000 gulden.

Zendeling pertama Tomohon Johan Adam Mattern berkali-kali melakukan pendekatan kepadanya. Mattern mencatat dalam laporan kepada NZG kegiatannya selang 1 Juli 1839-Juni 1840, kalau Kepala Distrik Tomohon di masa awal kegiatannya pada 1839 sempat datang kepadanya dan menjadi muridnya untuk beberapa waktu. Tapi segera tinggalkan Mattern, kembali dengan aktivitasnya sebagai pemimpin agama leluhur karena beberapa keuntungan dengan posisi tersebut.

Harapannya sempat timbul di tahun 1841, ketika ia menegur Ngantung dalam sebuah acara foso dengan menangis. Ngantung sempat tergerak.

Namun, harapan Mattern tidak pernah terwujud. Ngantung hanya sewaktu-waktu mendukung upayanya dalam bidang pendidikan, dengan memerintahkan para murid harus masuk sekolah. Ia pun meminta dibuka sekolah di beberapa negeri bawahannya.

Ngantung masih tetap sebagai kepala dari para imam leluhur, yang jumlahnya mencapai 30 hingga 50 walian. Belum terhitung para imam dari foso Mawasal (khusus orang mati), Meeres (mengenang malam terakhir berkabung), Menanalinga (pendengar burung), Tumutungep (pada pembukaan sawah) dan Leleen (imam di sawah dari penaburan hingga panen padi). Bahkan, menurut Wilken, Tonaas dan Teterusan di kalangan Tombulu juga adalah imam alifuru. Tonaas sebagai imam pemburu dan Teterusan adalah imam atau kepala pemberani, dengan menafsir mimpi, tangisan, bunyi burung, ular merayap dan sebagainya.

Sebagai Kepala Distrik, Ngantung adalah Walian Agung.

Orang-orang Kristen dihambatnya dengan melarang dan memberi sanksi keras dengan rotannya. Di hari Minggu ia memerintahkan penduduk tetap bekerja di kebun. Penduduk masa itu terkena kerja wajib (heerendienst) untuk pemerintah kolonial, dengan mengerjakan jalan atau bekerja di kebun kopi. Selain itu harus bekerja negeri dengan pinontol dan sawang untuk para kepala, kerja wajib untuk Kepala Distrik mau pun Hukum di bawahnya.

Hal ini juga yang terjadi ketika Wilken bertugas menggantikan Mattern sejak 1 Februari 1843. Ia mencatat permusuhan terhadap Kristen yang dilakukannya. Tidak jarang ia menghukum dengan rotan orang yang masuk Kristen atau ke gereja. Ia sering terdengar memarahi dan mengancam. ‘’Syukurlah, meskipun Majoor menentang, Kristen tumbuh di bawah matanya sendiri. Ya, bahkan di keluarganya sendiri, di antara anak-anaknya.’’

Hubungan keduanya cukup dekat, karena Wilken banyak kali mendatangi rumahnya yang berada di sebelah gedung gereja (masuk Paslaten). Rumah Wilken sendiri berada di sebelah lain dari gereja (di Talete). Rumah Majoor Ngantung ini didekorasi dengan banyak tengkorak kepala manusia yang masih disaksikan naturalis Inggris Alfred Russel Wallace pada Juni 1859.

Wilken melakukan pendekatan dengan cara halus bahkan kadang-kadang menegurnya dengan keras. Ia pun memberikan obat ketika Ngantung sakit, mendatangi dan mendoakannya.

BERUBAH
Menurut Wilken, ada kecenderungan banyak orang ingin masuk Kristen, tapi takut padanya. Mereka akan mengikuti ketika Majoor Ngantung memimpin dan mengucapkan selamat tinggal pada agama leluhur.

Di saat-saat percakapan keduanya, Ngantung yang menjadi lunak berkali menjanjikan untuk menjadi Kristen. Namun, segera melupakannya begitu saja.

Tapi, kemudian terjadi perubahan, ketika Wilken menegurnya di saat ia terbaring sakit akan pentingnya pendidikan dengan menunjuk pada tidak tahunya membaca dan menulis. Terjadi perubahan dengan perintahnya sehingga anak-anak semakin rajin masuk sekolah dan sekolah menjadi teratur. Pendidikan saat itu menjadi fokus utama dari pemerintah kolonial, dengan seringnya inspeksi dilakukan Kontrolir Tondano yang membawahi Tomohon dan para Residen.

Bahkan di tahun 1844 itu, ia mengirim putrinya ke sekolah yang berada di depan rumah Wilken. Sang putri di sore hari mendatangi rumah Wilken, untuk belajar dari istri Wilken, sebagai anak piara, dilatih baca tulis, ketrampilan dan lain sebagainya. 

Inspektur NZG Ds.L.J.van Rhijn menyebut di tahun 1847 ia bertemu tiga orang putri Majoor yang bersekolah di Sekolah Genootschap (di Kamasi) tersebut.

Kemudian perubahan lebih besar terjadi tahun 1846 ketika pada bulan September, ia mengirim Majoor Muda, putra dan pewarisnya untuk mengikuti pendidikan. Hal yang tentu saja sangat menggembirakan Wilken. 6]

Majoor Ngantung memperistri wanita bernama Tolang. Berbeda kepala-kepala lain di masa itu yang memiliki beberapa istri, ia hanya memiliki Tolang satu-satunya.

Ketika Tolang meninggal di tahun 1845, Wilken mencatat upacara pemakamannya sangat besar. Selama beberapa hari dilaksanakan perkabungan dengan tradisi dan adat budaya Tombulu ketika itu. 7]

Tahun-tahun tersebut telah terjadi banyak perubahan dalam diri Majoor Ngantung. Ia lebih bersikap lunak.

Ds.van Rhijn menulis ketika ia tiba di Tomohon, sang Majoor melakukan kunjungan kehormatan kepadanya. Ia membalas berkunjung ke rumahnya. Rumahnya disebut van Rhijn seperti isi rumah di Eropa, sama seperti dengan gaya berpakaiannya.

‘’Namun, pria ini masih kafir, menjadi benteng utama Alifuru,’’ tulisnya. Menurut van Rhijn, prasangka dan kepentingan pribadi sejauh ini yang mencegahnya untuk menjadi seorang Kristen.

Ketika Kepala Distrik Sarongsong Majoor Waworuntu dipastikan hari pembaptisannya, van Rhijn dengan Wilken mendekatinya lagi. Majoor Ngantung berjanji akan menghadiri ibadah di gereja yang berada di dekat rumahnya.

Dan kali ini, Majoor Ngantung menepatinya.

Untuk pertamakalinya ia menginjak gedung gereja dan mengikuti ibadah serta pembaptisan Majoor Waworuntu yang berlangsung pada hari Minggu tanggal 11 April 1847. Temannya dicatatkan dengan nama Herman Carl Wawo-Roentoe. Selain Waworuntu, dibaptis van Rhijn bersamanya seorang pemuda dan empat anak kecil.

Van Rhijn juga Wilken mencatat dalam laporan yang dipublikasi 1848, Majoor tua Tomohon setelah pembaptisan tersebut, telah menyatakan ingin menjadi Kristen.

Tapi, tidak dapat dipastikan kalau pembaptisannya terjadi di tahun 1847 atau sesudahnya, karena Wilken tidak memerincinya.

Tahun 1847 itu, Wilken menyebut melakukan pembaptisan terhadap 60 orang di gedung gereja di bulan September. Tapi tidak disebutnya kalau ada orang menonjol seperti Majoor Ngantung yang dibaptisnya.

Karena sampai sekarang buku induk baptisan Tomohon belum ditemukan, tanggal dan tahun tepat pembaptisannya belum diketahui. Demikian juga belum pasti siapa pembaptisnya. Bisa jadi Wilken sendiri atau pejabat Predikant Manado Fokke Hendriks Linemann yang sering memimpin ibadah di Tomohon.

Begitu pun, belum ditemukan catatan kapan persis Rondonuwu dan saudara-saudara wanitanya dibaptis Kristen.

Namun, dari beberapa berita singkat, diungkap kalau anak-anaknya dibaptis sebelum Majoor Ngantung menjadi Kristen. Seperti terjadi dengan Majoor Sarongsong, dimana banyak anak-anaknya telah lebih dulu dibaptis. Ia hanya dicatat telah menjadi Kristen sebelum meninggal.

Rondonuwu, anak Majoor Ngantung memakai nama Kristen Roland Ngantung.

Majoor Ngantung Palar meninggal tahun 1853. Ia dikuburkan dalam waruga di lokasi yang diketahui menjadi budelnya, sekarang di seberang pertigaan Matani, masuk Kelurahan Matani Tiga.

Waruganya dipugar tahun 1974, karena anjlok. Sementara adiknya Tololiu yang menjabat Hukum (Tua) Matani dikubur di dekat Nimawanua, ikut dipindah dikubur ulang di dekat Majoor Ngantung. Tololiu sendiri meninggal tahun 1875.

Roland Ngantung menggantikan ayahnya tahun 1853 memerintah Distrik Tomohon, dengan gelar Majoor. Ia diganti tahun 1862 oleh pamannya Lukas Wenas. ***


------
1] Graafland mengutip Wilken menulis namanya Talar. Waruga Palar berada di Nimawanua, negeri tua Tomohon. Di akhir tahun 1960-an telah dibuka penutupnya.
2] Disebut pula Wuaimbene.
3] Tanah Kalakeran menjadi tempat pengumpulan hasil bumi Tomohon yang dibawa dengan dipikul, berkuda dan pedati sehingga dilengkapi gudang, dan rumah singgah Kepala Distrik ketika berkunjung kepada Residen. Tanggal 22 Juni 1870 tanah Kalakeran Tomohon, bersama tanah Kalakeran Kakas bertambah luas dengan pembelian 33.210 m2 melalui lelang umum tanah bekas milik Jan Martinoes de Graaf dimana bertindak sebagai pembeli atas nama Distrik Tomohon Hukum Kedua Wenas (Herman), dan dari Kakas Hukum Kedua Soemayku (Petrus). Tanah yang dicatat berada di Wenang seluas 33.210 m2 bekas eigendom verponding No.100 ini kemudian dikonversi menjadi Hak Guna Bangunan No.22.
4] Berikutnya di tiap distrik ditempatkan penulis (schrijver).
5] Mattern dalam laporan tahun 1840 mencatat Ngantung sebagai Majoor. Kepala Distrik bergelar Hukum Besar, dan yang berjasa diberi gelar Majoor. Di masa berikut, gelar Hukum Besar berjenjang. Kelas dua, kelas satu, kemudian Majoor yang diusul Residen dan disahkan dengan keputusan Gubernur Jenderal.
6] Putra Majoor Ngantung adalah Rondonuwu. Anak tertua dari kepala distrik sampai saat itu otomatis sebagai calon pengganti, sehingga disebut Majoor Muda. Ialah Majoor Kepala Distrik Tomohon yang dicatat Graafland dan Wallace dalam buku mereka.
7] Waruga Tolang dipercayai berada di lokasi Matani Tiga, di ruas jalan kantor bekas Kejaksaan Negeri Tomohon.


·         Foto koleksi Bryan Nimitz Sondak.
·         Sumber tulisan: Maandberigt van het Nederlandsche Zendelinggenootschap 1841-1848. Mededeelingen NZG 1863,1864,1868. N.Ph.Wilken oleh Jonkvr.H.S.de la Bassecour Caan. Reis door den Indischen Archipel, 1849 oleh Ds.L.J.van Rhijn. De Minahassa, 1867 oleh N.Graafland, serta naskah Tomohon Dulu dan Kini.