Selasa, 05 November 2019

Pinaras, Legenda Siow Kurur








Lokasi di Kentur 2005.





Dalam banyak hikayat purba Minahasa, Pinaras, kelurahan di Kecamatan Tomohon Selatan, ditradisikan telah dihuni manusia jauh-jauh hari sebelum pembagian di Batu Pinawetengan Tompaso. Siow Kurur keturunan Toar-Lumimuut yang digolongkan sebagai kaum Se Makatelu-pitu adalah dotu yang pertama datang berdiam di sini.

Dr.J.F.G.Riedel menyebut saat persebaran penduduk Minahasa pertama, Siow Kurur dari Tuur in Tanah bersama Tumewan dan Rumimbuuk awalnya pergi di rata sebelah timur dekat Kema. Pada akhirnya Siow Kurur memisahkan diri, berpindah di tempat dekat Pinaras sekarang.

Legenda Siow Kurur sarat dengan kisah-kisah yang terus hidup dan berkembang dalam tradisi tutur di Sarongsong, Tomohon, Tombariri bahkan umumnya suku Tombulu.

Kisah terkenalnya adalah Siow Kurur sebagai manusia paling tinggi yang pernah hidup di Minahasa. Namanya konon sebagai perwujudannya. Siow=sembilan, dan kurur=lutut. Konon, tungkai kakinya sangat panjang. Sembilan kali panjang lutut manusia normal. Sekali langkahnya ditutur sama dengan sembilan langkah manusia biasa ketika itu.

Ada versi lain ia menjadi bisu. Lalu versi muda yang berkembang lagi, ia menjadi burung malam malah sebagai hantu pok-pok.

Tradisi Tombulu tua mengaitkannya dengan versi tercetusnya nama Tombariri, ketika terjadi angin topan yang hebat. Penduduk selamat saat puting-beliung menghantam kawasan pemukiman dengan berpegang erat pada rumput wariri yang tumbuh di tempat itu. Yang tidak sempat bertahan, diterbangkan angin tersebut ke selatan, mencetuskan tempat Mariri di Poigar Bolaang-Mongondow. Sementara nasib Siow Kurur, dari mitologi ini, diterbangkan ke Siau, yang konon tercetus dari namanya, dan ia sendiri menjadi moyang penduduk Siau.

Versi lain lagi, ia mengadu kesaktian dengan Sero Kombangen, manusia paling gemuk Minahasa dan jago makan. Mereka memotong puncak Gunung Tatawiren, berlomba kekuatan, membuangnya ke laut, yang kemudian menjadi Pulau Manado Tua serta pulau-pulau kecil lain di Teluk Manado.

Tinggalan-tinggalannya tersebar di  beberapa tempat, terutama bekas-bekas jejak kaki raksasa. Seperti yang ada di Kinilow Kecamatan Tomohon Utara. Juga di Batu Patar kepolisian Desa Koha Kecamatan Pineleng Minahasa.  


Tapak kaki di Kinilow.



Kemudian lokasi Kentur (bukit), di pintu gerbang masuk Pinaras, dipercaya menjadi lokasi tempat tinggal, bahkan ada menyebut sebagai kuburannya, sekarang berada di pekarangan rumah penduduk ditandai tanaman tawaang. Lokasi Kentur di masa silam bahkan sekarang bagi kalangan tertentu, menjadi tempat melaksanakan tradisi lama Minahasa rumages. Ketika H.V.Worang menjadi Gubernur di tahun 1970-an, ia sering mengunjungi Kentur ini.

Namun, tempat yang menurut sejarawan Minahasa H.M.Taulu menjadi kuburan Siow Kurur adalah sebuah waruga yang berada di Desa Kauneran, Kecamatan Sonder Minahasa.

Bode dan waruga Kauneran.


Taulu yang melakukan penelitian di tahun 1970-an, menyebut waruga Siow Kurur di lokasi perkebunan bernama Rano in Tenga Pisok, sekitar 3,6 kilometer dari Kauneran, penutupnya memiliki panjang keseluruhan 6,06 meter. Padahal, dalam tradisi Minahasa, orang meninggal ketika diwarugakan bukan dibaringkan, tapi didudukkan seperti janin bayi. Karena kepercayaan lama Minahasa bahwa manusia akan dilahirkan kembali. 1]

SUMENDAP MONTOLALU
Konon, Pinaras mulai ditinggali awal tahun 1800-an. Satu keluarga besar telah datang dari Tulau, negeri lama Distrik Sarongsong. Di lokasi semak belukar yang dikelilingi bambu lebat, mereka membangun dan tinggal di satu rumah besar dan tinggi. Pemimpinnya seorang perkasa disebut Tu’a berperan sebagai tonaas dan walian. Makanan mereka dari sagu serta berburu babi dan sapi hutan serta meminum saguer.

Suatu ketika datang pula dari Tulau sekelompok pria pemburu. Mereka berburu dan memasang jerat (menaan litag, menaan im piring) untuk menangkap babi hutan.

Kedua pihak bertaruh banyak atau sedikit hasil tangkapan, dengan perjanjian bila kelompok pemburu terakhir kalah, mereka akan tinggal bersama.

Hasil tangkapan banyak, maka sebagai pihak kalah mereka akhirnya menyatu tinggal di tempat itu. Tu’a sebagai kepala dan Sumendap Montolalu wakil yang mengatur kegiatan dan pembagian kelompok berburu.

Kemudian timbul keinginan membangun pemukiman teratur serta pembukaan lahan pertanian. Mereka menebang hutan bambu dan memangkas semak-belukar di tempat itu, lalu menaman padi, milu dan kebutuhan hidup lainnya.

Dari kegiatan menebang bambu dan memangkas (paras) semak belukar tersebut, tercetus nama Pinarasan bagi pemukiman yang kelak menjadi Pinaras.

Pandita Nicolaas Philip Wilken tahun 1863 memberi versi lain, bahwa Pinaras bermakna rumput telah dipangkas.

Namanya tercetus dari kata maras (memotong rumput), mahaparas (sedang memotong rumput) atau parasen (rumput dipotong).

Menurut Wilken, tidak jauh dari hutan, para pemburu telah memotong rumput kanokano dan kusukusu untuk dibangun tempat beristirahat dari kegiatan mereka yang melelahkan. Kemudian sebuah negeri dibangun di tempat ini yang menerima nama Pinaras.

Versi lain sejarah Pinaras berkait tokoh Sumendap Montolalu sebagai pendiri Pinaras. Disebut sekitar tahun 1830 dengan kelompoknya dari Tulau, mereka berburu di lokasi tersebut. Melihat tempatnya cocok untuk dibangun tempat beristirahat, ia memimpin penebangan bambu-bambu serta lahan rumput, serta membangun terung-terung menginap. Dari kegiatan menebang itu tercetuslah Pinaras tersebut. Lama kelamaan penduduk dari Sarongsong bertambah,yang juga mengembangkan kegiatan pertanian dan pembukaan lahan perkebunan. 2]

Tahun 1832 Pinaras tercatat sebagai negeri baru dalam Distrik Sarongsong, dan Sumendap Montolalu sebagai pemimpin dengan sebutan Perewis. Negerinya meluas seiring kegiatan pembukaan lahan pemukiman dan perkebunan.

Di utara Pinaras berbatas Woloan, di timur negeri distrik Sarongsong dan Lahendong, di selatan Rambunan dan (kemudian) Sawangan. Sedang di sebelah barat Tincep milik Sonder.

Menurut tuturan, pemukiman penduduk Pinaras pertama berada di lokasi Talikuran, yang sekarang menjadi areal perkebunan dan pekuburan. Tidak strategis untuk pengembangan karena berjurang dan dekat dengan air terjun Tumimperas, maka tidak berselang lama dipindahkan sejauh lebih 400 meter, lokasi Pinaras sekarang. 3]

Sebelum agama Kristen masuk Pinaras, berperan dalam kehidupan masyarakat awal Pinaras para Walian bernama Tumilaar, Wolah dan Lasut yang juga dianggap sebagai tokoh-tokoh pendirinya. Sementara Suatan menjadi pembantu utama Sumendap Montolalu.

JEMAAT DAN SEKOLAH
Kegiatan penginjilan di Pinaras telah diawali Zendeling pertama Tomohon Johan Adam Mattern tahun 1839. Namun, usahanya tidak membuahkan hasil. Kepala Distrik Sarongsong Majoor Waworuntu yang menjadi pemimpin besar agama tradisional menolaknya. Tapi, Waworuntu tertarik dengan pendidikan. Mengikuti cara Kepala Distrik Tomohon pada Januari 1840 untuk dibuka sekolah di Pangolombian dan Tataaran, Waworuntu ikut meminta pada Mattern dibuka sekolah di Pinaras dan Lahendong. Hal yang segera dipenuhi Mattern, karena menginginkan melalui pendidikan agama Kristen gampang disebarkan.

Sekolah Genootschap Pinaras berdiri bulan Juli 1840. Sayang dalam laporannya yang diberitakan Nederlandsche Zendeling Genootschap (NZG) tahun 1841, tidak disebutkan nama guru yang telah diangkatnya di Pinaras. Mattern hanya mencatat metode pembelajaran yang dilatihnya untuk diterapkan sang guru.

Sekolah Pinaras tetap berjalan kendati tersendat setelah kematian Mattern 7 Desember 1842. Tahun 1852 muridnya dicatat sebanyak 42 siswa dengan kehadiran 26. Tahun 1853 42 dan kehadiran 18. Guru Sekolah Genootschap Pinaras diketahui namanya ketika ini, yakni J.Rompis. Tidak diketahui pasti kalau dialah guru angkatan Mattern di tahun 1840.

Guru Rompis ini tahun 1854 telah ditemui oleh Inspektur Indische Kerk yang melakukan inspeksi sekolah di Minahasa Pdt.Dr.S.A.Budding. Ia mencatat murid di bawah guru Rompis 42 anak. Menurutnya, ruang sekolah yang juga merupakan gereja terlihat buruk, tetapi akan segera diperbarui. 4]                 

Jemaat Protestan Pinaras sendiri (sekarang Jemaat GMIM Elim) dicatat Wilken didirikannya tahun 1854. Sayang tidak disebut berapa banyak penduduk yang telah dibaptisnya ketika itu.

Tapi, dari statistik yang dibuat Dr.Pieter Bleeker, diketahui total anggota Jemaat Pinaras pertama, di bulan Desember 1854 sebanyak 43 orang. Penduduk Pinaras ketika itu berjumlah 209 jiwa, dan sisanya 155 masih kafir.

Tidak diketahui persis kalau ke-43 orang Kristen pertama Pinaras ini semuanya dibaptis tahun 1854 itu. Sebab, Wilken mencatat sebelum pengkristenan di Pinaras, ia telah membaptis penduduk Pinaras di Sarongsong, bahkan ada yang sudah disidi dan dikawinkannya. Sebelum ada gereja, orang Kristen awal Pinaras mengikuti ibadah di gereja Sarongsong. 5]

Gedung gereja Pinaras telah ada tahun 1854, dimanfaatkan ganda untuk sekolah pula. Tahun 1868, Wilken memuji Jemaat Pinaras yang paling rajin dari semua jemaat yang ada di Distrik Sarongsong, dengan penganut animisme paling sedikit.

Guru Mesak Gosal memimpin Sekolah Genootschap Pinaras baru mulai 6 Januari 1870. Sebelumnya guru Sekolah Gubernemen di Paniki Di bawah. Ia memimpin sekolah hingga tahun 1882, dan berperan ganda sebagai Guru Jemaat Pinaras. 6]

Baru tahun 1889 membantu Pandita Schwarz, Jemaat Pinaras dipimpin seorang Inlandsch leeraar (Penolong Injil), yakni N.Lantang, yang sekaligus memimpin Jemaat Rambunan dan Sawangan. 7]

Kalau penduduk Pinaras tahun 1854 baru 209 orang, tahun 1860 menjadi 247 jiwa (88 Kristen dan 148 kafir). Tahun 1892 menjadi 451 jiwa (Protestan 450, dan 1 kafir). Tahun 1900 490 jiwa (489 Protestan 1 kafir). Tahun 1908 total penduduk 648 semuanya Kristen. Tahun 1910 semua penduduk 672 orang Protestan pula.

Jeheskiel Tulung dipilih penduduk menjadi Hukum Tua tahun 1879. Kemudian Charlis Kaliey 1892, Daniel Moningka 1902, Carel Lengkong 1913, pensiunan Sersan KNIL Jahya Pandeirot Mampuk 1941, dan Oskar Lontoh Tulung 1945 hingga 1966.

Hukum Tua Carel Lengkong, bekas juru tulis dan pengukur tanah adalah Hukum Tua Bintang. Ia menerima penghargaan pahala sipil dari pemerintah kolonial Belanda. Bronzen ster voor trouw en verdienste, medali perunggu untuk kesetiaan dan pengabdian yang panjang. ***

--------
1] Ada kisah bahwa nenek moyang pertama Minahasa Toar dan Lumimuut pernah menginjakkan kakinya di Pinaras. Legendanya mengisahkan bahwa setelah keduanya diperintahkan Karema mengelilingi Minahasa untuk mencari jodoh masing-masing, mereka telah bertemu di Pinaras, di tempat yang disebut Akai Tanah. Di sini keduanya duduk di atas batu segitiga yang panjang sambil memperlihatkan tongkat bawaan yang tidak sama panjang. Karena tuis wene Lumimuut bertambah, sedang asah umbanua Toar tetap seperti sediakala, sehingga keduanya berjodoh dan menurunkan penghuni Minahasa.
2] Sumendap Montolalu kemudian mendirikan Rambunan sebagai negeri Distrik Sarongsong berhadapan Distrik Sonder. Versi di Rambunan, ia mendirikan Rambunan tahun 1820 bersama Ngempas Mewo dan Tenta Kamasi. Sampai sekarang ia dikenal di Rambunan sebagai bekas pemilik tanah luas di bagian barat dan tengah dari desa yang masuk Kecamatan Sonder. Rambunan (serta Sawangan yang didirikan pemukim Tombulu dari Sarongsong) merupakan negeri Distrik Sarongsong sampai tahun 1880. Kemudian sebagai negeri Onderdistrik (Distrik Kedua, sekarang setingkat kecamatan) Sarongsong, bagian dari Distrik Gabungan Tomohon-Sarongsong hingga tahun 1919, ketika digabungkan ke Distrik Sonder.
3] Versinya terjadi tahun 1846 setelah peristiwa gempa bumi 1845. Tapi tuturan lain baru terjadi di masa Hukum Tua Jeheskiel Tulung.
4] Zendeling Tomohon Nicolaas Philip Wilken dalam laporan 31 Desember 1858 menyebut memberhentikan guru Genootschap (sekarang SD GMIM) Pinaras. Wilken mencatat gedung sekolahnya dalam kondisi buruk. Ia belum menunjuk guru pengganti, karena tidak ada rumah untuk guru.
5] Selama masa pelayanan Wilken, untuk perayaan sakramen, meski Pinaras telah memiliki gereja, Wilken melaksanakan massal di Gereja Sarongsong (sekarang Syalom Tumatangtang), diikuti hampir semua jemaat yang ada di Distrik Sarongsong. Jemaat Pinaras dalam Resort Tomohon di bawah Hulpprediker Jan Louwerier, sejak awal tahun 1886 mulai masuk Resort Sonder di bawah Hulpprediker J.A.T.Schwarz.
6] Penggantinya sebagai guru kepala Sekolah Genootschap
berturut-turut adalah Daniel Moningka 1883-1891, E.Kelung 1892-1898, H.Wenur 1899-1903, M.Parengkuan 1904-1909 dan Eli Ogi 1910. Beberapa diantaranya menjadi Ketua Jemaat Pinaras.
7] Pengganti Lantang sebagai Inlandsch leeraar Pinaras adalah Sadrach.Warouw 1892-1900, H.O.Pandelaki 1901, Jan Rapar 1902-1904, dan Philips Lasut mulai tahun 1905. Sedangkan para pandita (Zendeling lalu Hulpprediker) yang melakukan pembaptisan, sidi dan mengawinkan penduduk Pinaras, dari Werkkring lalu Resort Tomohon adalah Nicolaas Philip Wilken hingga meninggal 22 Februari 1878, serta Jan Louwerier (1878-1885). Kemudian pandita dari Resort Sonder, dimulai Johan Albert Traugott Schwarz 1886-1903, Dr.Samuel Schoch 1904-1907, M.Birkhoff 1909-1910, J.Rijks 1911, H.L.Langevoort 1915, A.van der Linden 1916, Gustav F.Schroder 1917, A.Rimper 1925 dan Ds.Bertus Moendoeng 1930.


·         Sumber foto: Bodewijn Talumewo, Ardison Kalumata dan Defdy Didi Sigar.
·         Sumber tulisan: Inilah Pintu Gerbang Pengatahuwan Itu, 1862, J.G.F.Riedel. Reis door de Minahassa en den Molukschen Archipel, 1856 Dr.P.Bleeker. Maandberigt NZG 1841. Mededeelingen NZG 1857,1859,1863. Buku ‘Riwayatmu Tomohon’ 1986, buku ‘Tomohon Kotaku’’ 2006 dan naskah ‘Tomohon Dulu dan Kini’.