Waruga Ngantung Palar. |
Mangangantung nama alifurunya, tapi dalam
sejumlah dokumen dicatatkan sebagai Ngantung. Ia adalah salah seorang dari
banyak Kepala Distrik Tomohon yang terkenal. Dari pihak ibu ia masih keturunan
Lokon Worotikan dan Supit Sahiri Macex. Dari pihak ayah ia keturunan dari Tololiu
(tua) dan Paat Kolano.
Ayahnya adalah Palar Hukum Matani, ibunya
Wurimbene.1]
Awalnya Ngantung menjabat sebagai Hukum setelah penduduk Matani berpindah dari Nimawanua ke lokasi di Matani Tiga
sekarang. Ia naik menjadi Kumarua (Hukum Kedua) di masa pamannya dari pihak ibu
Majoor Mamengko (Mamangku) menjadi Kepala Balak (kemudian Distrik)
Tomohon. Ibunya Wurimbene (Wudimbene) adalah anak Manoppo bekas Kepala Balak Tomohon dengan Maria Posumamuri, seorang wanita yang telah menjadi Kristen. 2]
Ketika pamannya Majoor Mamengko
diberhentikan, Ngantung menjadi Kepala Distrik Tomohon yang baru dan kemudian
memperoleh gelar kehormatan Majoor.
Ia diperkirakan lahir di tahun 1780-an atau
1790-an, dan menjadi Kepala Distrik Tomohon sejak awal tahun 1830-an.
Nama Ngantungnya (dengan gelar Hukum Besar) tercatat
ketika bertindak atas nama Distrik Tomohon membeli tanah Kalakeran Tomohon di
Manado. Tanggal 1 Juli 1835 bersama Kepala Distrik Sarongsong Hukum Besar Waworuntu
(kelak Herman Carl Wawo-Roentoe) dan Kepala Distrik Kakas Hukum Besar Inkiriwang
(Johanis), mereka membeli di Manado dari tuan tanah Martinoes Catharinoes Lans
yang juga menjabat sebagai Sekretaris Keresidenan Manado tanah luas seharga
1.000 gulden. Tanah tersebut menjadi tanah Kalakeran Distrik Tomohon di Manado.
Belakangan menjadi Kampung Tomohon di Manado, juga Kampung Sarongsong dan
Kampung Kakas. 3]
Tahun 1845 Zendeling Nicolaas Philip Wilken
menggambarkan Majoor Ngantung sudah berusia tua, berambut putih, tidak dapat
membaca dan menulis. Ia harus minta tolong orang lain untuk membaca apabila ada
surat dari Residen.4]
Ngantung baru memperoleh gelar Majoor di
tahun 1844. Gelar Majoor diberikan pemerintah Belanda kepada Kepala Distrik
yang berjasa dalam penanaman kopi kebijakan tanam paksa kolonial. Sebelumnya
menurut Wilken ketika ia mulai bekerja di Tomohon 1 Februari 1843, Ngantung
masih bergelar Hukum (Besar) saja. 5]
Ngantung menjadi oposisi besar bagi agama
Kristen di Tomohon. Ia menjadi pemimpin besar (Walian Wangko) agama leluhur Minahasa, memimpin langsung
upacara-upacara pengorbanan (foso)
yang dianggap Wilken sebagai pesta yang memiskinkan penduduk. Ia mencatat di
tahun 1843, foso yang berlangsung di negeri Tomohon saja sebanyak 124 foso,
dengan biaya yang dihabiskan mencapai 20.000 gulden.
Zendeling pertama Tomohon Johan Adam Mattern
berkali-kali melakukan pendekatan kepadanya. Mattern mencatat dalam laporan
kepada NZG kegiatannya selang 1 Juli 1839-Juni 1840, kalau Kepala Distrik
Tomohon di masa awal kegiatannya pada 1839 sempat datang kepadanya dan menjadi
muridnya untuk beberapa waktu. Tapi segera tinggalkan Mattern, kembali dengan
aktivitasnya sebagai pemimpin agama leluhur karena beberapa keuntungan dengan posisi
tersebut.
Harapannya sempat timbul di tahun 1841,
ketika ia menegur Ngantung dalam sebuah acara foso dengan menangis. Ngantung
sempat tergerak.
Namun, harapan Mattern tidak pernah terwujud.
Ngantung hanya sewaktu-waktu mendukung upayanya dalam bidang pendidikan, dengan
memerintahkan para murid harus masuk sekolah. Ia pun meminta dibuka sekolah di beberapa negeri bawahannya.
Ngantung masih tetap sebagai kepala dari para imam
leluhur, yang jumlahnya mencapai 30 hingga 50 walian. Belum
terhitung para imam dari foso Mawasal
(khusus orang mati), Meeres (mengenang
malam terakhir berkabung), Menanalinga
(pendengar burung), Tumutungep (pada
pembukaan sawah) dan Leleen (imam di
sawah dari penaburan hingga panen padi). Bahkan, menurut Wilken, Tonaas dan Teterusan di kalangan Tombulu juga adalah imam alifuru. Tonaas
sebagai imam pemburu dan Teterusan adalah imam atau kepala pemberani, dengan
menafsir mimpi, tangisan, bunyi burung, ular merayap dan sebagainya.
Sebagai Kepala Distrik, Ngantung adalah
Walian Agung.
Orang-orang Kristen dihambatnya dengan
melarang dan memberi sanksi keras dengan rotannya. Di hari Minggu ia memerintahkan
penduduk tetap bekerja di kebun. Penduduk
masa itu terkena kerja wajib (heerendienst)
untuk pemerintah kolonial, dengan mengerjakan jalan atau bekerja di kebun kopi.
Selain itu harus bekerja negeri dengan pinontol
dan sawang untuk para kepala, kerja
wajib untuk Kepala Distrik mau pun Hukum di bawahnya.
Hal ini juga yang terjadi ketika Wilken
bertugas menggantikan Mattern sejak 1 Februari 1843. Ia mencatat permusuhan
terhadap Kristen yang dilakukannya. Tidak jarang ia menghukum dengan rotan
orang yang masuk Kristen atau ke gereja. Ia sering terdengar memarahi dan
mengancam. ‘’Syukurlah, meskipun Majoor menentang, Kristen tumbuh di bawah
matanya sendiri. Ya, bahkan di keluarganya sendiri, di antara anak-anaknya.’’
Hubungan keduanya cukup dekat, karena Wilken
banyak kali mendatangi rumahnya yang berada di sebelah gedung gereja (masuk
Paslaten). Rumah Wilken sendiri berada di sebelah lain dari gereja (di Talete).
Rumah Majoor Ngantung ini didekorasi dengan banyak tengkorak kepala manusia
yang masih disaksikan naturalis Inggris Alfred Russel Wallace pada Juni 1859.
Wilken melakukan pendekatan dengan cara halus
bahkan kadang-kadang menegurnya dengan keras. Ia pun memberikan obat ketika
Ngantung sakit, mendatangi dan mendoakannya.
BERUBAH
Menurut Wilken, ada kecenderungan banyak
orang ingin masuk Kristen, tapi takut padanya. Mereka akan mengikuti ketika Majoor Ngantung
memimpin dan mengucapkan selamat tinggal pada agama leluhur.
Di saat-saat percakapan keduanya, Ngantung yang
menjadi lunak berkali menjanjikan untuk menjadi Kristen. Namun, segera
melupakannya begitu saja.
Tapi, kemudian terjadi perubahan, ketika
Wilken menegurnya di saat ia terbaring sakit akan pentingnya pendidikan dengan
menunjuk pada tidak tahunya membaca dan menulis. Terjadi perubahan dengan
perintahnya sehingga anak-anak semakin rajin masuk sekolah dan sekolah menjadi
teratur. Pendidikan saat itu menjadi fokus utama dari pemerintah kolonial,
dengan seringnya inspeksi dilakukan Kontrolir Tondano yang membawahi Tomohon
dan para Residen.
Bahkan di tahun 1844 itu, ia mengirim
putrinya ke sekolah yang berada di depan rumah Wilken. Sang putri di sore hari
mendatangi rumah Wilken, untuk belajar dari istri Wilken, sebagai anak piara,
dilatih baca tulis, ketrampilan dan lain sebagainya.
Inspektur NZG Ds.L.J.van Rhijn menyebut di tahun 1847 ia bertemu tiga orang putri Majoor yang bersekolah di Sekolah Genootschap (di Kamasi) tersebut.
Inspektur NZG Ds.L.J.van Rhijn menyebut di tahun 1847 ia bertemu tiga orang putri Majoor yang bersekolah di Sekolah Genootschap (di Kamasi) tersebut.
Kemudian perubahan lebih besar terjadi tahun
1846 ketika pada bulan September, ia mengirim Majoor Muda, putra
dan pewarisnya untuk mengikuti pendidikan. Hal yang tentu saja sangat
menggembirakan Wilken. 6]
Majoor Ngantung memperistri wanita bernama
Tolang. Berbeda kepala-kepala lain di masa itu yang memiliki beberapa istri, ia
hanya memiliki Tolang satu-satunya.
Ketika Tolang meninggal di tahun 1845, Wilken
mencatat upacara pemakamannya sangat besar. Selama beberapa hari dilaksanakan
perkabungan dengan tradisi dan adat budaya Tombulu ketika itu. 7]
Tahun-tahun tersebut telah terjadi banyak
perubahan dalam diri Majoor Ngantung. Ia lebih bersikap lunak.
Ds.van Rhijn menulis ketika ia tiba di
Tomohon, sang Majoor melakukan kunjungan kehormatan kepadanya. Ia membalas
berkunjung ke rumahnya. Rumahnya disebut van Rhijn seperti isi rumah di Eropa,
sama seperti dengan gaya berpakaiannya.
‘’Namun, pria ini masih kafir, menjadi benteng
utama Alifuru,’’ tulisnya. Menurut van Rhijn, prasangka dan kepentingan pribadi
sejauh ini yang mencegahnya untuk menjadi seorang Kristen.
Ketika Kepala Distrik Sarongsong Majoor
Waworuntu dipastikan hari pembaptisannya, van Rhijn dengan Wilken mendekatinya
lagi. Majoor Ngantung berjanji akan menghadiri ibadah di gereja yang berada di
dekat rumahnya.
Dan kali ini, Majoor Ngantung menepatinya.
Untuk pertamakalinya ia menginjak gedung
gereja dan mengikuti ibadah serta pembaptisan Majoor Waworuntu yang berlangsung
pada hari Minggu tanggal 11 April 1847. Temannya dicatatkan dengan nama Herman
Carl Wawo-Roentoe. Selain Waworuntu, dibaptis van Rhijn bersamanya seorang
pemuda dan empat anak kecil.
Van Rhijn juga Wilken mencatat dalam laporan
yang dipublikasi 1848, Majoor tua Tomohon setelah pembaptisan tersebut, telah
menyatakan ingin menjadi Kristen.
Tapi, tidak dapat dipastikan kalau
pembaptisannya terjadi di tahun 1847 atau sesudahnya, karena Wilken tidak memerincinya.
Tahun 1847 itu, Wilken menyebut melakukan
pembaptisan terhadap 60 orang di gedung gereja di bulan September. Tapi tidak disebutnya kalau ada
orang menonjol seperti Majoor Ngantung yang dibaptisnya.
Karena sampai sekarang buku induk baptisan
Tomohon belum ditemukan, tanggal dan tahun tepat pembaptisannya belum diketahui. Demikian juga belum pasti siapa
pembaptisnya. Bisa jadi Wilken sendiri atau pejabat Predikant Manado Fokke
Hendriks Linemann yang sering memimpin ibadah di Tomohon.
Begitu pun, belum ditemukan catatan kapan persis
Rondonuwu dan saudara-saudara wanitanya dibaptis Kristen.
Namun, dari beberapa berita singkat, diungkap
kalau anak-anaknya dibaptis sebelum Majoor Ngantung menjadi Kristen. Seperti
terjadi dengan Majoor Sarongsong, dimana banyak anak-anaknya telah lebih dulu
dibaptis. Ia hanya dicatat telah menjadi Kristen sebelum meninggal.
Rondonuwu, anak Majoor Ngantung memakai nama
Kristen Roland Ngantung.
Majoor Ngantung Palar meninggal tahun 1853.
Ia dikuburkan dalam waruga di lokasi yang diketahui menjadi budelnya, sekarang di
seberang pertigaan Matani, masuk Kelurahan Matani Tiga.
Waruganya dipugar tahun 1974, karena anjlok.
Sementara adiknya Tololiu yang menjabat Hukum (Tua) Matani dikubur di
dekat Nimawanua, ikut dipindah dikubur ulang di dekat Majoor Ngantung. Tololiu sendiri
meninggal tahun 1875.
Roland Ngantung menggantikan ayahnya tahun
1853 memerintah Distrik Tomohon, dengan gelar Majoor. Ia diganti tahun 1862
oleh pamannya Lukas Wenas. ***
------
1] Graafland mengutip Wilken menulis namanya Talar. Waruga
Palar berada di Nimawanua, negeri tua Tomohon. Di akhir tahun 1960-an telah
dibuka penutupnya.
2] Disebut pula Wuaimbene.
3] Tanah Kalakeran menjadi tempat pengumpulan hasil bumi
Tomohon yang dibawa dengan dipikul, berkuda dan pedati sehingga dilengkapi
gudang, dan rumah singgah Kepala Distrik ketika berkunjung kepada Residen.
Tanggal 22 Juni 1870 tanah Kalakeran Tomohon, bersama tanah Kalakeran Kakas
bertambah luas dengan pembelian 33.210 m2 melalui lelang umum tanah bekas milik
Jan Martinoes de Graaf dimana bertindak sebagai pembeli atas nama Distrik
Tomohon Hukum Kedua Wenas (Herman), dan dari Kakas Hukum Kedua Soemayku
(Petrus). Tanah yang dicatat berada di Wenang seluas 33.210 m2 bekas eigendom verponding No.100 ini kemudian dikonversi
menjadi Hak Guna Bangunan No.22.
4] Berikutnya di tiap distrik ditempatkan penulis (schrijver).
5] Mattern dalam laporan tahun 1840 mencatat Ngantung sebagai
Majoor. Kepala Distrik bergelar Hukum Besar, dan yang berjasa diberi gelar
Majoor. Di masa berikut, gelar Hukum Besar berjenjang. Kelas dua, kelas satu,
kemudian Majoor yang diusul Residen dan disahkan dengan keputusan Gubernur Jenderal.
6] Putra Majoor Ngantung adalah Rondonuwu. Anak tertua dari
kepala distrik sampai saat itu otomatis sebagai calon pengganti, sehingga
disebut Majoor Muda. Ialah Majoor Kepala Distrik Tomohon yang dicatat Graafland dan Wallace dalam buku mereka.
7] Waruga Tolang dipercayai berada di lokasi Matani Tiga,
di ruas jalan kantor bekas Kejaksaan Negeri Tomohon.
· Foto koleksi Bryan Nimitz Sondak.
·
Sumber
tulisan: Maandberigt van het
Nederlandsche Zendelinggenootschap 1841-1848. Mededeelingen NZG 1863,1864,1868. N.Ph.Wilken oleh Jonkvr.H.S.de la Bassecour Caan. Reis door den Indischen Archipel, 1849
oleh Ds.L.J.van Rhijn. De Minahassa,
1867 oleh N.Graafland, serta naskah Tomohon Dulu dan Kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.