Jumat, 20 September 2019

Majoor Ngantung Palar








Waruga Ngantung Palar.







Mangangantung nama alifurunya, tapi dalam sejumlah dokumen dicatatkan sebagai Ngantung. Ia adalah salah seorang dari banyak Kepala Distrik Tomohon yang terkenal. Dari pihak ibu ia masih keturunan Lokon Worotikan dan Supit Sahiri Macex. Dari pihak ayah ia keturunan dari Tololiu (tua) dan Paat Kolano.

Ayahnya adalah Palar Hukum Matani, ibunya Wurimbene.1]

Awalnya Ngantung menjabat sebagai Hukum setelah penduduk Matani berpindah dari Nimawanua ke lokasi di Matani Tiga sekarang. Ia naik menjadi Kumarua (Hukum Kedua) di masa pamannya dari pihak ibu Majoor Mamengko (Mamangku) menjadi Kepala Balak (kemudian Distrik) Tomohon. Ibunya Wurimbene (Wudimbene) adalah anak Manoppo bekas Kepala Balak Tomohon dengan Maria Posumamuri, seorang wanita yang telah menjadi Kristen. 2]

Ketika pamannya Majoor Mamengko diberhentikan, Ngantung menjadi Kepala Distrik Tomohon yang baru dan kemudian memperoleh gelar kehormatan Majoor.

Ia diperkirakan lahir di tahun 1780-an atau 1790-an, dan menjadi Kepala Distrik Tomohon sejak awal tahun 1830-an.

Nama Ngantungnya (dengan gelar Hukum Besar) tercatat ketika bertindak atas nama Distrik Tomohon membeli tanah Kalakeran Tomohon di Manado. Tanggal 1 Juli 1835 bersama Kepala Distrik Sarongsong Hukum Besar Waworuntu (kelak Herman Carl Wawo-Roentoe) dan Kepala Distrik Kakas Hukum Besar Inkiriwang (Johanis), mereka membeli di Manado dari tuan tanah Martinoes Catharinoes Lans yang juga menjabat sebagai Sekretaris Keresidenan Manado tanah luas seharga 1.000 gulden. Tanah tersebut menjadi tanah Kalakeran Distrik Tomohon di Manado. Belakangan menjadi Kampung Tomohon di Manado, juga Kampung Sarongsong dan Kampung Kakas. 3]

Tahun 1845 Zendeling Nicolaas Philip Wilken menggambarkan Majoor Ngantung sudah berusia tua, berambut putih, tidak dapat membaca dan menulis. Ia harus minta tolong orang lain untuk membaca apabila ada surat dari Residen.4]

Ngantung baru memperoleh gelar Majoor di tahun 1844. Gelar Majoor diberikan pemerintah Belanda kepada Kepala Distrik yang berjasa dalam penanaman kopi kebijakan tanam paksa kolonial. Sebelumnya menurut Wilken ketika ia mulai bekerja di Tomohon 1 Februari 1843, Ngantung masih bergelar Hukum (Besar) saja. 5]

Ngantung menjadi oposisi besar bagi agama Kristen di Tomohon. Ia menjadi pemimpin besar (Walian Wangko) agama leluhur Minahasa, memimpin langsung upacara-upacara pengorbanan (foso) yang dianggap Wilken sebagai pesta yang memiskinkan penduduk. Ia mencatat di tahun 1843, foso yang berlangsung di negeri Tomohon saja sebanyak 124 foso, dengan biaya yang dihabiskan mencapai 20.000 gulden.

Zendeling pertama Tomohon Johan Adam Mattern berkali-kali melakukan pendekatan kepadanya. Mattern mencatat dalam laporan kepada NZG kegiatannya selang 1 Juli 1839-Juni 1840, kalau Kepala Distrik Tomohon di masa awal kegiatannya pada 1839 sempat datang kepadanya dan menjadi muridnya untuk beberapa waktu. Tapi segera tinggalkan Mattern, kembali dengan aktivitasnya sebagai pemimpin agama leluhur karena beberapa keuntungan dengan posisi tersebut.

Harapannya sempat timbul di tahun 1841, ketika ia menegur Ngantung dalam sebuah acara foso dengan menangis. Ngantung sempat tergerak.

Namun, harapan Mattern tidak pernah terwujud. Ngantung hanya sewaktu-waktu mendukung upayanya dalam bidang pendidikan, dengan memerintahkan para murid harus masuk sekolah. Ia pun meminta dibuka sekolah di beberapa negeri bawahannya.

Ngantung masih tetap sebagai kepala dari para imam leluhur, yang jumlahnya mencapai 30 hingga 50 walian. Belum terhitung para imam dari foso Mawasal (khusus orang mati), Meeres (mengenang malam terakhir berkabung), Menanalinga (pendengar burung), Tumutungep (pada pembukaan sawah) dan Leleen (imam di sawah dari penaburan hingga panen padi). Bahkan, menurut Wilken, Tonaas dan Teterusan di kalangan Tombulu juga adalah imam alifuru. Tonaas sebagai imam pemburu dan Teterusan adalah imam atau kepala pemberani, dengan menafsir mimpi, tangisan, bunyi burung, ular merayap dan sebagainya.

Sebagai Kepala Distrik, Ngantung adalah Walian Agung.

Orang-orang Kristen dihambatnya dengan melarang dan memberi sanksi keras dengan rotannya. Di hari Minggu ia memerintahkan penduduk tetap bekerja di kebun. Penduduk masa itu terkena kerja wajib (heerendienst) untuk pemerintah kolonial, dengan mengerjakan jalan atau bekerja di kebun kopi. Selain itu harus bekerja negeri dengan pinontol dan sawang untuk para kepala, kerja wajib untuk Kepala Distrik mau pun Hukum di bawahnya.

Hal ini juga yang terjadi ketika Wilken bertugas menggantikan Mattern sejak 1 Februari 1843. Ia mencatat permusuhan terhadap Kristen yang dilakukannya. Tidak jarang ia menghukum dengan rotan orang yang masuk Kristen atau ke gereja. Ia sering terdengar memarahi dan mengancam. ‘’Syukurlah, meskipun Majoor menentang, Kristen tumbuh di bawah matanya sendiri. Ya, bahkan di keluarganya sendiri, di antara anak-anaknya.’’

Hubungan keduanya cukup dekat, karena Wilken banyak kali mendatangi rumahnya yang berada di sebelah gedung gereja (masuk Paslaten). Rumah Wilken sendiri berada di sebelah lain dari gereja (di Talete). Rumah Majoor Ngantung ini didekorasi dengan banyak tengkorak kepala manusia yang masih disaksikan naturalis Inggris Alfred Russel Wallace pada Juni 1859.

Wilken melakukan pendekatan dengan cara halus bahkan kadang-kadang menegurnya dengan keras. Ia pun memberikan obat ketika Ngantung sakit, mendatangi dan mendoakannya.

BERUBAH
Menurut Wilken, ada kecenderungan banyak orang ingin masuk Kristen, tapi takut padanya. Mereka akan mengikuti ketika Majoor Ngantung memimpin dan mengucapkan selamat tinggal pada agama leluhur.

Di saat-saat percakapan keduanya, Ngantung yang menjadi lunak berkali menjanjikan untuk menjadi Kristen. Namun, segera melupakannya begitu saja.

Tapi, kemudian terjadi perubahan, ketika Wilken menegurnya di saat ia terbaring sakit akan pentingnya pendidikan dengan menunjuk pada tidak tahunya membaca dan menulis. Terjadi perubahan dengan perintahnya sehingga anak-anak semakin rajin masuk sekolah dan sekolah menjadi teratur. Pendidikan saat itu menjadi fokus utama dari pemerintah kolonial, dengan seringnya inspeksi dilakukan Kontrolir Tondano yang membawahi Tomohon dan para Residen.

Bahkan di tahun 1844 itu, ia mengirim putrinya ke sekolah yang berada di depan rumah Wilken. Sang putri di sore hari mendatangi rumah Wilken, untuk belajar dari istri Wilken, sebagai anak piara, dilatih baca tulis, ketrampilan dan lain sebagainya. 

Inspektur NZG Ds.L.J.van Rhijn menyebut di tahun 1847 ia bertemu tiga orang putri Majoor yang bersekolah di Sekolah Genootschap (di Kamasi) tersebut.

Kemudian perubahan lebih besar terjadi tahun 1846 ketika pada bulan September, ia mengirim Majoor Muda, putra dan pewarisnya untuk mengikuti pendidikan. Hal yang tentu saja sangat menggembirakan Wilken. 6]

Majoor Ngantung memperistri wanita bernama Tolang. Berbeda kepala-kepala lain di masa itu yang memiliki beberapa istri, ia hanya memiliki Tolang satu-satunya.

Ketika Tolang meninggal di tahun 1845, Wilken mencatat upacara pemakamannya sangat besar. Selama beberapa hari dilaksanakan perkabungan dengan tradisi dan adat budaya Tombulu ketika itu. 7]

Tahun-tahun tersebut telah terjadi banyak perubahan dalam diri Majoor Ngantung. Ia lebih bersikap lunak.

Ds.van Rhijn menulis ketika ia tiba di Tomohon, sang Majoor melakukan kunjungan kehormatan kepadanya. Ia membalas berkunjung ke rumahnya. Rumahnya disebut van Rhijn seperti isi rumah di Eropa, sama seperti dengan gaya berpakaiannya.

‘’Namun, pria ini masih kafir, menjadi benteng utama Alifuru,’’ tulisnya. Menurut van Rhijn, prasangka dan kepentingan pribadi sejauh ini yang mencegahnya untuk menjadi seorang Kristen.

Ketika Kepala Distrik Sarongsong Majoor Waworuntu dipastikan hari pembaptisannya, van Rhijn dengan Wilken mendekatinya lagi. Majoor Ngantung berjanji akan menghadiri ibadah di gereja yang berada di dekat rumahnya.

Dan kali ini, Majoor Ngantung menepatinya.

Untuk pertamakalinya ia menginjak gedung gereja dan mengikuti ibadah serta pembaptisan Majoor Waworuntu yang berlangsung pada hari Minggu tanggal 11 April 1847. Temannya dicatatkan dengan nama Herman Carl Wawo-Roentoe. Selain Waworuntu, dibaptis van Rhijn bersamanya seorang pemuda dan empat anak kecil.

Van Rhijn juga Wilken mencatat dalam laporan yang dipublikasi 1848, Majoor tua Tomohon setelah pembaptisan tersebut, telah menyatakan ingin menjadi Kristen.

Tapi, tidak dapat dipastikan kalau pembaptisannya terjadi di tahun 1847 atau sesudahnya, karena Wilken tidak memerincinya.

Tahun 1847 itu, Wilken menyebut melakukan pembaptisan terhadap 60 orang di gedung gereja di bulan September. Tapi tidak disebutnya kalau ada orang menonjol seperti Majoor Ngantung yang dibaptisnya.

Karena sampai sekarang buku induk baptisan Tomohon belum ditemukan, tanggal dan tahun tepat pembaptisannya belum diketahui. Demikian juga belum pasti siapa pembaptisnya. Bisa jadi Wilken sendiri atau pejabat Predikant Manado Fokke Hendriks Linemann yang sering memimpin ibadah di Tomohon.

Begitu pun, belum ditemukan catatan kapan persis Rondonuwu dan saudara-saudara wanitanya dibaptis Kristen.

Namun, dari beberapa berita singkat, diungkap kalau anak-anaknya dibaptis sebelum Majoor Ngantung menjadi Kristen. Seperti terjadi dengan Majoor Sarongsong, dimana banyak anak-anaknya telah lebih dulu dibaptis. Ia hanya dicatat telah menjadi Kristen sebelum meninggal.

Rondonuwu, anak Majoor Ngantung memakai nama Kristen Roland Ngantung.

Majoor Ngantung Palar meninggal tahun 1853. Ia dikuburkan dalam waruga di lokasi yang diketahui menjadi budelnya, sekarang di seberang pertigaan Matani, masuk Kelurahan Matani Tiga.

Waruganya dipugar tahun 1974, karena anjlok. Sementara adiknya Tololiu yang menjabat Hukum (Tua) Matani dikubur di dekat Nimawanua, ikut dipindah dikubur ulang di dekat Majoor Ngantung. Tololiu sendiri meninggal tahun 1875.

Roland Ngantung menggantikan ayahnya tahun 1853 memerintah Distrik Tomohon, dengan gelar Majoor. Ia diganti tahun 1862 oleh pamannya Lukas Wenas. ***


------
1] Graafland mengutip Wilken menulis namanya Talar. Waruga Palar berada di Nimawanua, negeri tua Tomohon. Di akhir tahun 1960-an telah dibuka penutupnya.
2] Disebut pula Wuaimbene.
3] Tanah Kalakeran menjadi tempat pengumpulan hasil bumi Tomohon yang dibawa dengan dipikul, berkuda dan pedati sehingga dilengkapi gudang, dan rumah singgah Kepala Distrik ketika berkunjung kepada Residen. Tanggal 22 Juni 1870 tanah Kalakeran Tomohon, bersama tanah Kalakeran Kakas bertambah luas dengan pembelian 33.210 m2 melalui lelang umum tanah bekas milik Jan Martinoes de Graaf dimana bertindak sebagai pembeli atas nama Distrik Tomohon Hukum Kedua Wenas (Herman), dan dari Kakas Hukum Kedua Soemayku (Petrus). Tanah yang dicatat berada di Wenang seluas 33.210 m2 bekas eigendom verponding No.100 ini kemudian dikonversi menjadi Hak Guna Bangunan No.22.
4] Berikutnya di tiap distrik ditempatkan penulis (schrijver).
5] Mattern dalam laporan tahun 1840 mencatat Ngantung sebagai Majoor. Kepala Distrik bergelar Hukum Besar, dan yang berjasa diberi gelar Majoor. Di masa berikut, gelar Hukum Besar berjenjang. Kelas dua, kelas satu, kemudian Majoor yang diusul Residen dan disahkan dengan keputusan Gubernur Jenderal.
6] Putra Majoor Ngantung adalah Rondonuwu. Anak tertua dari kepala distrik sampai saat itu otomatis sebagai calon pengganti, sehingga disebut Majoor Muda. Ialah Majoor Kepala Distrik Tomohon yang dicatat Graafland dan Wallace dalam buku mereka.
7] Waruga Tolang dipercayai berada di lokasi Matani Tiga, di ruas jalan kantor bekas Kejaksaan Negeri Tomohon.


·         Foto koleksi Bryan Nimitz Sondak.
·         Sumber tulisan: Maandberigt van het Nederlandsche Zendelinggenootschap 1841-1848. Mededeelingen NZG 1863,1864,1868. N.Ph.Wilken oleh Jonkvr.H.S.de la Bassecour Caan. Reis door den Indischen Archipel, 1849 oleh Ds.L.J.van Rhijn. De Minahassa, 1867 oleh N.Graafland, serta naskah Tomohon Dulu dan Kini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.