Rabu, 18 September 2019

Jusuf Tumbelaka, Guru Tua Kakaskasen








Model gereja tua tempo dulu.





Sekarang, nama Jusuf Tumbelaka tidak banyak dikenal. Di Kakaskasen, apalagi di Tomohon, orang melupakannya.

Namun, di masa hidupnya, di abad ke-19 lalu, ia terkenal sebagai teladan. Terutama karena baktinya untuk Kakaskasen. Ia mengantar hampir semua anak-anak mengenal ilmu dan pengetahuan. Ia membukakan jalan bagi banyak orang untuk menjadi Kristen, ketika paganisme masih berakar kuat. Ia juga meletakkan fondasi untuk jemaat yang sekarang bernama Pniel yang telah mekar.

Jusuf Tumbelaka adalah tokoh dan perintis Kristen Protestan di Kakaskasen.

Ia lahir di Tondano, menjadi yang pertama dan terbaik dari murid-murid Zendeling Tomohon Nicolaas Philip Wilken. Wilken paling awal mengangkatnya menjadi guru Sekolah Genootschap di Taratara, ketika itu Distrik Tombariri. Ia tinggal di Taratara selama tiga tahun.

Masa itu pula, Jemaat Kakaskasen yang telah diawali Wilken tahun 1845, menurut pandita besar Tomohon ini, memerlukan banyak perawatan. Guru yang bertugas sebelumnya harus diberhentikan berulang kali atau yang lain minta berhenti karena putus asa. Akhirnya Wilken merasa yakin kalau Jusuf Tumbelaka yang paling tepat untuk menjadikan Kakaskasen menjadi baik.1]

Itu bukan tugas yang mudah yang dibebankan kepadanya. Kondisi negeri Kakaskasen dan distrik pada umumnya (Kakaskasen masih menjadi salah satu negeri dalam distrik senama yang kepalanya berkedudukan di Lotta) memprihatinkan.

‘’Lapangan kerja yang sulit, ketidakpedulian, ejekan, dan oposisi berulang kali dalam segala bentuk. Karena itu saya dapat membayangkan Tumbelaka mungkin menghela nafas ketika dia ditunjuk dalam pekerjaan ini. Tapi, dia percaya Tuhannya. Dia juga memiliki keunggulan yang besar,’’ tulis Pandita Jan Louwerier, pengganti Wilken yang menulis khusus riwayatnya tahun 1874. 2]

Sekolah Genootschap Kakaskasen (sekarang SD GMIM I) sebenarnya telah didirikan sejak tahun 1838 oleh Zendeling pertama Tomohon Johan Adam Mattern. 

Sulitnya bekerja di Kakaskasen dibuktikan guru pertama Kakaskasen Samuel Elias, yang memimpin sedari 19 April 1838 hingga 31 Desember 1840. Samuel Elias tidak bertahan dan minta pindah. Gagal di Kakaskasen, justru Samuel Elias berhasil ketika bertugas di Tataaran dengan menjadikan hampir seluruh penduduknya Kristen (1.499 orang dibaptis).

Dalam jurnal tahun 1845 dan 1846, Wilken menggambarkan kekecewaannya dengan kondisi sekolah di Kakaskasen. Ia hanya menemukan 43 anak, padahal yang terdaftar 160. Orang tua hanya menghargai sedikit pendidikan. ‘’Kebanyakan anak-anak menganggur, atau lebih tepatnya berkubang dengan malas dan bermain di pasir. Kalau seorang Hukum (Tua) berkeinginan, maka sekolah segera penuh dengan siswa. Tapi, anak-anak tidak boleh dipaksa untuk melakukan ini. Ini harus dilakukan secara sukarela,’’ tulis Wilken kepada pimpinan NZG yang dipublikasi 1847.

Maka, Jusuf Tumbelaka menjadi harapannya untuk membawa terang bagi Kakaskasen.

Namun, sebelum memulai pekerjaan di Kakaskasen, Jusuf Tumbelaka melangsungkan pernikahan tanggal 8 Oktober 1848 dengan seorang gadis dari Tomohon bernama Wilhelmina Lensun. Gadis ini adalah anak piara dalam rumah tangga Wilken. Mendapat pendidikan dan ketrampilan khusus dari Marie Elisabeth Hoedt, istri Wilken. Ketika itu model pendidikan (muridstelsel) awal di tangan para Zendeling NZG adalah murid pria (disebut murid piara) ditangani Zendeling, dan murid wanita (anak piara) di bawah istri Zendeling.

Wilhelmina digambarkan Louwerier sebagai wanita yang istimewa dan terhormat. Pendiam, rendah hati, saleh, terpelajar, dan selalu mendampingi suaminya dengan setia. ‘’Ia bekerja dengan kata dan contoh di kringnya. Melaluinya merupakan berkah bagi banyak orang,’’ catat Louwerier. 3]

Jusuf Tumbelaka mulai bertugas di Kakaskasen tanggal 8 Maret 1849. Dengan sabar, tidak berputusasa, dan selalu bersemangat, ia memimpin sekolah dan jemaat. Tanpa jemu mendekati penduduk, mengajak untuk masuk Kristen. Guru di masa itu sekaligus berfungsi sebagai Guru Jemaat (voorganger).

Pekerjaannya berbuah.

Awalnya perlahan, bahkan sangat lambat. Lalu meningkat dan bertambah. Hal yang menggembirakan bagi Wilken. Jusuf Tumbelaka bekerja tidak kalah semangat dengan gurunya.

Ia ditemukan selalu banyak pekerjaan. Mengajar dan memimpin jemaat. Ia bekerja di kebun dan berbasah di sawah. Ia belajar dan menasehati, mendirikan dan membangun sesuatu, karena ia adalah tukang yang sangat trampil. ‘’Dan, dia melakukan ini dengan setia dan rajin,’’ kata Louwerier.

Selama masa pengabdiannya sebagai pemimpin jemaat, banyak penduduk Kakaskasen dibawanya untuk dibaptis, disidi dan dinikahkan oleh Wilken dan kemudian penggantinya Louwerier.

Upaya tidak kenal lelahnya terlihat dari pertambahan orang Kristen. Di akhir tahun 1852 dari penduduk Kakaskasen sebanyak 1.107 jiwa, orang Kristen 123 jiwa, dengan 984 lainnya masih menganut agama lama (heidenen). Tahun 1860 dari jumlah penduduk 1.015, Kristen telah menjadi 326 orang. Jumlahnya dari tahun ke tahun terus bertambah.

Dalam buku baptisan, menurut Louwerier, selama masa aktivitasnya total penduduk dibaptis adalah sebanyak 776 orang. Terdiri 185 pria, 201 wanita, dan 390 anak-anak. Orang yang menerima sidi 118 orang, 44 pria dan 74 wanita. Sementara diantar ke perkawinan 125 pasangan.

Tidak heran Louwerier menyebut asal usul Jemaat di Kakaskasen mesti berterima kasih kepadanya.

Belum ratusan siswanya. Anak-anak Kakaskasen yang dipimpin Jusuf Tumbelaka di sekolah, rata-rata di atas 100 siswa. Siswanya datang pula dari Kinilow dan Kayawu. Tahun 1852 muridnya sebanyak 128. Tahun 1853 105. Tahun 1855 134. Tahun 1856 dan 1857 sama 134.  Tahun 1860 195 anak. Tahun 1861 152. Tahun 1868 turun 79. Tahun 1871 87. Tahun 1872 82. Tahun 1873 94. Lalu tahun 1874 di masa pensiunnya, muridnya terdaftar 140 anak yang kepemimpinannya dilanjutkan penggantinya guru Herling Turambi.

Louwerier yang mengambilalih pekerjaan Wilken di Jemaat Kakaskasen sejak tanggal 22 November 1868, memberi kesaksian terbaik tentang guru Tumbelaka. Jusuf Tumbelaka masih bekerja lebih 5 tahun bersamanya.

‘’Hidup dalam pendidikan agama, dia tahu benar untuk memanfaatkannya. Pendengar yang baik di gereja dan pendidikan, dan dia selalu menerapkan segalanya untuk dirinya sendiri. Kaya dengan contoh untuk memperjelas segalanya. Pembelajarannya selalu sangat praktis dan mudah dipahami. Setia dengan kerjanya. Terinspirasi, dijiwai dengan cinta untuk jemaat. Orang bisa percaya padanya, mengetahuinya dia tidak akan gagal untuk kebaikan jemaat,’’ puji Louwerier.

Louwerier memberi contoh keteladanan dari Jusuf Tumbelaka. Tahun 1871 ketika gereja tua yang juga dimanfaatkan untuk sekolah Genootschap yang dipimpinnya, hampir tidak dapat digunakan, karena terjangan angin topan. Jemaat berjanji akan membangun gedung darurat dari bambu. Tetapi janji yang dibuat oleh banyak orang itu tidak terpenuhi. Hanya sedikit orang yang bekerja.

Dan, Jusuf Tumbelaka datang. Meski pun menderita podagra (penyakit asam urat), dan hampir tidak mampu mempertahankan diri selama setengah jam. ‘’Dengan bersandar pada tongkat, meski tersandung-sandung, ia membantu. Sekarang di sini, lalu di sana. Ia mendorong banyak orang. Dan, ia tidak berhenti sampai bangunan tambahan ini selesai,’’ katanya.

Sang guru, mulai merasakan kekuatannya tidak lagi memadai untuk Jemaat Kakaskasen. Penyakitnya kadang-kadang memaksanya harus beristirahat selama berminggu-minggu, dan karena itu banyak kegiatan yang terpaksa terhenti. Ia tidak senang melihatnya. Itu sebabnya ia minta kepada Louwerier untuk berhenti dari jabatannya.

Hari Minggu tanggal 8 Februari 1874 di gedung gereja, Louwerier menyerahkan Jemaat dan sekolah Kakaskasen kepada penggantinya Herling Turambi, seorang bekas muridnya, yang sebelumnya bekerja di Kweekschool (Sekolah Guru) Tanawangko. Kepada guru baru ini, Louwerier berkotbah: ‘’Lihat pria tua ini, ikuti teladannya, berjuang seperti dia, percaya seperti dia, dan cintai seperti dia.’’

Banyak muridnya berhasil. Tiga Hukum Tua ketika itu menerima didikan darinya. Hukum Tua Kakaskasen (Dorus Liuw), Hukum Tua Kayawu (Jesayas Rompis) dan Hukum Tua Kinilow (Robert Mathindas). Juga tiga guru terkenal di masa tersebut, Guru Sekolah Genootschap Tomohon (Efraim Lasut), Guru Sekolah Genootschap Kayawu (Nicolaas Sandah) dan guru Sekolah Negeri di Tinoor (Samuel Liuw) adalah muridnya pula.  

Makam guru tua ini bersama istrinya, sekarang berada di pekuburan tua Kelurahan Kakaskasen Dua. ***

-----
1] NZG mencatat Jemaat Kakakasen dibentuk N.Ph.Wilken tahun 1849. Wilken sendiri melakukan pembaptisan pertama tanggal 21 Januari 1845 terhadap 70 penduduk. Pembaptisan kedua di Kakaskasen oleh Wilken berlangsung 1849 (28 Januari), yang dicatat Wilken dan NZG sebagai tahun pendirian Jemaat Kakaskasen.
2] Jusuf Tumbelaka selalu ditulis Louwerier sebagai Jusof Tumbelaka.
3] Werkkring (Lingkaran Kerja, kemudian Resort Tomohon) dibagi Pendeta Wilken dalam 3 Kring  Tomohon, Kakaskasen dan Sarongsong.


·         Foto: dari buku N.Ph.Wilken oleh Jonkvr.H.S.de la Bassecour Caan.
·         Sumber tulisan: Mededeelingen van wege het Nederlandsche Zendelinggenootschap 1861 dan 1874. Maandberigt van het Nederlandsche Zendelinggenootschap, 1847,1908,1909; serta naskah ‘’Tomohon Dulu dan Kini’’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.