Batu Tumotowa Tinoor. |
Biasanya peristiwa dan asal tercetusnya sebuah negeri di Tomohon
memunculkan versi. Tinoor, sekarang dua kelurahan di Kecamatan Tomohon
Utara juga demikian. Versi para tetuanya, Tinoor berasal dari kata toor bermakna berdiri, atau aitoor atau tumoor berarti didirikan atau dibangun.
Konon, pada akhir abad ke-18, ditaksirkan
tahun 1775, bahkan ada versi tahun 1800, Kepala Balak Kakaskasen yang
berkedudukan di Lotta (penduduk acap menyebut Raja Lotta) adalah Majoor Sahiri
‘Masairi’ Parengkuan. Sering kali Majoor Sahiri melihat dua orang penduduk suku
Tontemboan dari Tolok (ketika itu negeri di Distrik Tompaso, sekarang kecamatan
senama di Minahasa) bernama Lumintjewas dan Rantung. Keduanya biasa pergi ke pantai
Manado untuk membuat garam (mendonasin)
dengan cara dibakar. Garam selalu menjadi kebutuhan vital masa itu.
Situasi keamanan yang masih rawan, antaranya
masih banyak terjadi pengayauan, penculikan dan pembegalan tidak mengurangi
tekad mereka untuk pergi ke Manado. Keduanya dikenal sakti sebagai
pahlawan-pahlawan pemberani, masih berkerabat dekat, karena Rantung mengawini
saudara wanita Lumintjewas.
Tempo dulu ruas jalan dari Tomohon dan
Lotta--masih lewat Kinilow--belum selebar sekarang, hanya dapat dilewati kuda,
dan selebar satu-dua orang berjalan berdampingan, meski budaya masa itu orang
akan selalu beriringan.
Di Lotta, ibukota balak ketika itu, ruas jalan dikisah mesti melewati kolong rumah besar dari Majoor Masairi. Dan di rumah inilah, ia selalu memperhatikan, dan mendengar keberanian dari mereka berdua. Majoor Masairi sendiri suka mengumpulkan orang-orang kuat untuk melawan Bantik, musuh tradisionalnya. Gaya rumah pemimpin yang seperti menyumbat ruas jalan demikian di tahun 1821 masih ditemui Prof.Dr.Caspar Georg Karl Reinwardt ketika berkunjung di Tondano.
Di Lotta, ibukota balak ketika itu, ruas jalan dikisah mesti melewati kolong rumah besar dari Majoor Masairi. Dan di rumah inilah, ia selalu memperhatikan, dan mendengar keberanian dari mereka berdua. Majoor Masairi sendiri suka mengumpulkan orang-orang kuat untuk melawan Bantik, musuh tradisionalnya. Gaya rumah pemimpin yang seperti menyumbat ruas jalan demikian di tahun 1821 masih ditemui Prof.Dr.Caspar Georg Karl Reinwardt ketika berkunjung di Tondano.
Majoor Masairi segera mengangkat Lumintjewas (ada
menyebutnya juga Sumual) dan Rantung menjadi pengawal pribadinya. Keduanya
telah menunjukkan keperwiraannya dalam perang yang terjadi dengan Bantik. Lotta
ketika itu hampir dapat diduduki, namun keberanian keduanya berhasil menangkis
bahkan membalikkan keadaan.
Kisah tetua keturunan Dotu Purukan, tindakan
keduanya untuk menahan serbuan musuh adalah dengan melakukan Pekuk, yakni memberi tanda batas dengan
menancapkan tawaang rindang di sipat-sipat penjuru negeri Lotta. Akibatnya
musuh, bahkan binatang sekali pun tidak dapat melewatinya, sehingga Lotta
menjadi aman tenteram.
Perang besar terakhir antara
Bantik dan Kakaskasen terjadi tahun 1764 berkait masalah Malalayang. Ketika itu
Tateli negeri besar Kakaskasen di pantai hancur, dan Lotta ibukotanya dibakar.
Kemudian pula perang di tahun 1789, dimana dua pertiga penduduk Tateli menjadi
korban. Namun, perselisihan-perselisihan masih berlangsung hingga Majoor
Mainalo, putra Masairi berkuasa di Balak Kakaskasen.
Sukses membantunya, Masairi semakin mengasihi keduanya. Ia
yang hanya memiliki seorang putra, yakni Mainalo, mengangkat mereka berdua
menjadi anak angkat (meski ada versi hanya Lumintjewas diangkat anak). Ia pun
menggantikan nama Lumintjewas dengan nama baru Purukan, yang dalam bahasa
Tontemboan berarti di atas, sedangkan Rantung diganti menjadi Pangkey, dari kata
Pa’key bemakna penurut.
Ketika meninggal, jabatan Kepala Balak Kakaskasen digantikan
putranya Mainalo, sedangkan Purukan dan Pangkey diwariskan tanah Tinoor. 1]
Keduanya lalu membangun negeri Tinoor, masih bertempat di
negeri lama Mawale sekarang. 2]
VERSI WILKEN
Pekabar injil Tomohon, Zendeling Nicolaas Philip Wilken yang
mengkristenkan dan mendirikan Jemaat Tinoor tahun 1860 memberi versi lain kisah
terbentuknya negeri ini.
Wilken menyebut asal tercetusnya nama Tinoor adalah dari kata Tumoor berarti selesai, atau Mahatoor berarti tetap atau abadi.
Kemudian juga dari Tooren bermakna
sudah diatur, dan Tinoor, yang berarti
telah berdiri. Selain itu dapat dari kata Tinooran, bermakna dimana telah didirikan.
Legendanya, menurut Wilken dalam Mededeelingen NZG yang terbit tahun 1863, suatu
ketika terjadi perang antara Distrik Kakaskasen dengan Distrik Bantik, karena Bantik
ingin membangun satu negeri di Waku. 3]
Konon, kerumunan mati di kedua belah pihak, dan banyak kepala
dilarikan.
Seorang pria muda berhasil meloloskan diri, dan di tepi
sebuah sungai bersandar di sebatang pohon dengan kesal.
Ketika orang menemukannya di sini setelah perang sudah
berakhir, sungai itu disebut Tinooran, tempat telah didirikan, dan seiring
waktu menjadi Tinoor.
Negeri yang nanti dibangun, menerima nama yang sama.
Dimana lokasi Waku ini sulit dikirakan. MAR Sondak, sejarawan
Tinoor, mengungkap di utara Tinoor, dekat Warembungan terdapat lokasi yang kemungkinan
kuat adalah Waku, yang sekarang bernama Winereyan yang mengandung pengertian
tempat digantung, dimana kepala kayauan digantung.
Hadis Bantik sendiri mengklaim pernah mendirikan pemukiman di dekat Tinoor yang diberi nama Bineheyan dengan dipimpin tokoh bernama Humopa. Tapi, pemukiman tersebut telah ditinggalkan.
Hadis Bantik sendiri mengklaim pernah mendirikan pemukiman di dekat Tinoor yang diberi nama Bineheyan dengan dipimpin tokoh bernama Humopa. Tapi, pemukiman tersebut telah ditinggalkan.
DUA PEMUKIMAN
Pendirian negeri Tinoor ditandai dengan peletakan batu Tumotowa,
yang lazim dilakukan saat tumani
sebuah negeri, baik di suku Tontemboan dan Tombulu. Namun, penancapan batu sakral
di masa silam ini dikaitkan pula dengan peristiwa di masa berikut ketika
pemukim asal Tontemboan berselisih dengan pemukim Tombulu berkaitan pemanfaatan
perigi Pa’asuan ne Sumonder ketika terjadi masa kemarau panjang. Perdamaian di
bawah Walian Rompas dilakukan di batu tersebut sehingga batunya disebut
pula batu damai.
Memang, setelah Purukan dan Pangkey membangun Tinoor dengan
mendatangkan sanak keluarganya dari Tolok, pemukim Tombulu dari Lotta pun
datang berdiam di sini di bawah keluarga Toreh dan Tangkere. Satu kisah para pemukim
Tombulu awal ini sebanyak 20 kepala keluarga dipimpin Asa Tangkere dan
Muma Toreh.
Pemukiman orang Tontemboan dipimpin Purukan kemudian diganti
Pangkey. Sementara Tombulu di bawah Asa Tangkere dan kelak diganti Muma Toreh.
Setelah perdamaian antara pemukim Tontemboan dan Tombulu yang
dihadis terjadi tahun 1841, kepemimpinan Tinoor jadi bersatu, di bawah Muma
Toreh.
Peristiwa gempa bumi dahsyat 8 Februari 1845 telah mengakibatkan
perumahan penduduk hancur dan jatuhnya korban jiwa. Penduduk bersatu pindah ke
lokasi Tinoor sekarang, di bawah pimpinan Rundeng Purukan yang dianggap menjadi
Hukum Tua pertama. ***
------
1].Hingga tahun 1980-an penduduk Tinoor dari fam Purukan
dan Pangkey masih mengambil ikan di telaga besar Pineleng yang menjadi kolam kalakeran keluarga besar Parengkuan.
2].Satu keputusan Landraad
(pengadilan) Manado tanggal 15 September 1936, diteken ketua
Mr.B.E.R.N.D.Engelbert van Bevervoorde menegas kepemilikan tanah di Tinoor
adalah sebagai warisan dari pendirinya Dotu Purukan, leluhur keluarga Purukan,
yang memberikannya kepada negeri, dimana hak pakai dapat gugur, dan jatuh
kembali ke tangan bestuur (pemerintah)
negeri.
3]. Johann Albert Traugott Schwarz (Zendeling
Sonder) dalam tulisan di Mededeelingen Desember 1877 mendefinisikan toor, tumoor
dan matoor sebagai berdiri atau bangun. Sementara Tinoor sebagai satu
pertanggungjawaban atau sebuah kewajiban (een
passivum), sebagai apa yang ditinggalkan atau berdiri. Disebut demikian,
karena benda-benda ini, dengan titik tajam ditikam di tanah, tetap berdiri. Ini
pun dikaitkan dengan pelaksanaan foso (persembahan atau pengorbanan), yang
dilaksanakan di lesar, lapangan di
mana negeri yang ditahbiskan berdiri, menggunakan tinoor, sumperang dari bambu atau
juga rotan dalam keranjang berisi makanan dan minuman untuk persembahan, dengan
tinoor ditancapkan di dekat sumperang. Sementara pada pelaksanaan foso di rumah,
menggunakan 6 tinoor. Tiga tinoor ditancap di sudut barat daya di bawah tiisan
rumah. Satu tinoor di tempatkan di sudut tenggara, satu di sudut timur laut dan
satu lagi di sudut barat laut.
Sumber
foto: Bryan Nimitz Sondak tahun 2018 dan 2008.
Sumber
tulisan: Buku ‘’Riwayatmu Tomohon’’ 1986, buku ‘’Tomohon Kotaku’’ 2006, naskah
Tomohon Dulu dan Kini’’; buku ‘’Sejarah Desa Tinoor’’ oleh MAR Sondak, Mededelingen NZG, dan kisah-kisah Hendra Purukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.