Jumat, 02 Agustus 2019

Mengenal Sejarah Lahendong




Ruas jalan di Lahendong.





Kelurahan Lahendong di Kecamatan Tomohon Selatan memiliki pesona tersendiri, dengan danau aneka warna Linow serta kawah-kawah belerang. Pesona yang telah mengundang naturalis Italia terkenal Graaf Carlo Vidua de Conzana, beberapa Gubernur Jenderal, putera mahkota kerajaan Eropa, para peneliti bahkan belakangan ini banyak wisatawan.

Tak kalah menarik adalah sejarahnya karena masih banyak misterinya.

Dari legenda-legenda tua, di jaman purba, disebut Siow Kurur sebelum bertempat tinggal di Pinaras pernah bermukim pula di sini. Kemudian dotu Repi, Lumolinding dan Telew bersama istrinya bernama Makalinow yang dikisah menghilang di danau yang kemudian mencetuskan nama Linow untuk danaunya

Dotu Telew (terbang), dinamai pula Sumariei atau Sumaliei atau pula Sumaringsing, dihikayatkan sebagai penguasa Danau Linow dan Bukit Talangkow. Dari penuturan, ia kadangkala menimbulkan angin memusing yang membingungkan di danau atau menyesatkan para pengembara.

Para dotu tersebut bermukim di tempat yang disebut Rano Lahendong, di sekitar sungai kecil Lahendong yang bermuara di Danau Linow. Sungai sepanjang kurang lebih 5,25 kilometer ini disebut pula Ranorangdang (Zanorangdang, atau pula Ranoraindang), karena airnya berwarna merah, menjadi salah satu anak sungai Nimanga.

Ini pun berangkat dari kisah di pertengahan tahun 1600-an ketika terjadi perang pengusiran Spanyol dari Minahasa. Sejarawan Minahasa H.M.Taulu mengungkap di lokasi sungai ini terjadi pembantaian terhadap pelarian Spanyol yang terjebak oleh garis gaib buatan para teterusan Minahasa pimpinan Sela dan Seke. Mereka dibunuh dan mayatnya dibuang ke sungai yang mengakibatkan timbulnya nama Ranorangdang.

Penulis Belanda Dr.J.G.F.Riedel berpendapat leluhur awal Minahasa yang telah datang berdiam di sini adalah Penghulu Repi dengan dua istrinya Matinontong dan Tontongbene disertai lima anaknya. Repi dari kalangan Makatelu Pitu mendirikan pemukiman Rano Lahendong ini.

Berdekatan dengan Rano Lahendong berada negeri Elehaninendoh, didirikan Makarawung dan istrinya Matinenden un Kere dan lima anaknya.

Kemudian dekat pula dengan Rano Lahendong, ada pemukiman Walehlaki yang didirikan Penghulu Pangibatan beserta istrinya Tinoring dan lima anaknya.

Sebutan Lahendong bagi negerinya, dikaitkan dengan pohon besar yang tumbuh di pinggiran mata air yang dinamai Lumahendong atau Lahendong. Pohon tersebut mencolok mata ketika para pionirnya melakukan tumani negeri. Kulit pohon Lahendong biasa ditumbuk, di masa silam dijadikan pakaian yang disebut momo’ (cidako).

Zendeling Tanawangko Nicolaas Graafland menyebut negeri ini berasal dari jenis pohon tersebut.

LEGENDA NEGERI
Demikian pula pendapat Zendeling Tomohon Nicolaas Philip Wilken. Bahkan Pendeta Wilken memerinci bagaimana kisah terbentuknya Lahendong. Dalam tulisan dipublikasi Mededeelingen NZG tahun 1863, Wilken mengaitkan keberadaannya dengan Tompaso.

Konon, di masa silam, jumlah penduduk Tompaso sangat banyak, sehingga mereka memutuskan untuk menyebar. Beberapa ingin pergi ke pantai dan membuat garam. Tetapi, yang lain ingin tinggal di pegunungan untuk bertanam padi.

Ketika itu sebuah pohon Lahendong yang sangat tinggi berdiri di Tompaso. Ayo, mereka berkata satu sama lain, mari kita tumbang pohon ini. Ini akan berguna bagi kita semua. Dari kulit kayu kita bisa berpakaian, dan dari kayu para penanam bisa membuat balok-balok rumah dan untuk perahu nelayan.

Pohon itu ditebang dan tumbang. Puncaknya jatuh ke barat-laut, ke sungai yang namanya tidak diketahui.

Tidak lama kemudian, menurut Wilken, salah satu buah yang tersebar dari pohon ini tumbuh. Karena pohonnya Lahendong, dinamailah tempat termasuk sungainya demikian. Nanti belakangan, di tepi sungai tersebut berdiri satu negeri yang menerima nama Lahendong pula.

Tahun dimulainya pemukiman awal di Lahendong sulit diperkirakan. Namun, kemungkinan kuat sudah ada sejak pertengahan abad ke-18.

Dari tuturan di Lahendong, disebut tokoh yang pertama datang adalah tonaas bernama Mokalu dan disebut pula Rondonuwu. Ia datang dari ibukota Sarongsong masih di Tulau. Pertama membuka kebun dan bangun pondok di sekitar lokasi Kakalutayen. Karena hasil berlimpah, ia kembali ke Sarongsong mengajak keluarga untuk tinggal bersama di lokasi baru ini.

Dikirakan tahun 1765, karena penduduk mulai banyak, Tonaas Legi dipilih menjadi pemimpinnya. Kemudian diganti Siow tahun 1775. Masa Siow dikisah, terjadi musim hujan parah, meluapkan air danau Linow dan sungai Ranorangdang menghancurkan tanggul dan menghantam pemukiman hingga hancur.

Penduduk memutuskan pindah ke bagian timur mendekati lokasi mata air. Pemukiman baru didirikan dengan penancapan batu Tumani. Konon, dari sinilah awal pemakaian nama Lahendong, bertitik tolak dari pohon di dekat mata air tersebut.

Peran strategis Lahendong, dirasa penting ketika Sonder mendirikan negeri Leilem di sipat dengan Balak Sarongsong di Lahendong. Masa itu, masih sering terjadi permusuhan antarbalak, sehingga Kepala Balak Sarongsong Tamboto sengaja menempatkan seorang kerabatnya, Manopo sebagai Hukum berkedudukan di Lahendong. Manopo bahkan menurut keturunannya berjabatan sebagai Kumarua (Hukum Kedua).

Manopo dari silsilah keluarga Waworuntu adalah anak Regar, cucu Waworuntu (1) dengan istrinya Topowene. Topowene sendiri adalah putri dari Lontoh Kolano, Hukum Majoor Kepala Sarongsong di abad ke-17 dan awal abad ke-18.

Hukum Manopo di Lahendong dicatat pula dokumen Belanda. Sejarawan Minahasa Bert Supit mengutip laporan dari Residen Manado Carel Christoph Prediger bulan Mei 1808 ketika mengunjungi Lahendong. Prediger tidak menemukan satu penduduk pun. Menurutnya, Manopo bersama penduduk Lahendong lari masuk hutan karena diancam Lontoh Tuunan dari Tomohon.

Usai perang Minahasa di Tondano, anak Manopo dari istri Wuaimbene, Waworuntu (2) berkuasa dan menjadi kepala dari Balak (kemudian disebut Distrik) Sarongsong tahun 1819 dan bergelar Majoor. Ia kemudian dikenal dengan nama Herman Carl Wawo-Roentoe ketika dibaptis Kristen Protestan di Tomohon tanggal 11 April 1847.


Dr.Wolter Robert van Hoevell dalam tulisan di Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie terbitan tahun 1856 mengisahkan perjalanannya ke Danau Linow ketika itu, dengan diantar Hukum Tua Lahendong Waworuntu. Waworuntu ini disebutnya sebagai putra Majoor Sarongsong.

Menurut tokoh keluarga Waworuntu tahun 1980-an Arie Michail Mandagi, yang pernah menjadi Kepala Distrik Tomohon, Hukum Tua Lahendong dari keluarga Waworuntu, selain Manopo di awal tahun 1800-an, dikenal pula adalah Johanis Wawo-Roentoe, putra paling bungsu Majoor Herman Carl dari istri pertama Sara Rengkung.

Ketika Majoor Herman Carl meninggal tahun 1854, putra tertuanya Zacharias naik menjadi Kepala Distrik, sementara putra kedua Albertus Bernadus Wawo-Roentoe berkedudukan sebagai Hukum Kedua Sarongsong. Namun, tahun itu juga Albertus diangkat menjadi Jaksa Landraad Manado (kelak Kepala Distrik Sonder), sehingga posisi Hukum Kedua Sarongsong diisi Johanis Hukum Tua Lahendong.

Jabatan Hukum Tua di Lahendong sejak tahun 1854 itu dipegang oleh Alexander Lukas Waworuntu (dalam dokumen lebih banyak ditulis Waworoentoe), putra tertua Kepala Distrik Majoor Zacharias (meski ada versi lain kalau ia sebenarnya telah menjabat sejak tahun 1850 diangkat kakeknya).

Alexander Waworuntu berkuasa sangat lama, selama ayahnya Majoor Zacharias menjadi Kepala Distrik Sarongsong sejak tahun 1854. Bahkan, ketika Distrik Sarongsong disatukan dengan Distrik Tomohon tahun 1880, dipimpin iparnya Majoor Herman A.Wenas, ia masih dipercaya menjadi Hukum Tua.

Hukum Tua Alexander, termasuk salah satu hukum tua paling lama memegang jabatannya di Minahasa. Untuk lama pengabdian dan jasa-jasanya, pemerintah kolonial Belanda dengan keputusan Gubernur Jenderal pada bulan Juli 1894 memberikan penghargaan untuk jasa sipil, berupa bronzen ster voor trouw en verdienste (bintang perunggu untuk kesetiaan dan prestasi), sehingga ia terkenal dengan julukan Hukum Tua Bintang.

Protestan sendiri telah masuk Lahendong, ketika Zendeling Tomohon Nicolaas Philip Wilken membentuk Jemaat Lahendong tahun 1849 (sekarang Jemaat GMIM Damai Sejahtera). Namun sekolahnya telah didirikan lebih awal di tahun 1840 oleh Zendeling pertama Tomohon Johan Adam Mattern. Genootschapschool (Sekolah Genootschap) Lahendong pertama dipimpin oleh guru M.L.Kowaas.

Sekolah ini hilang ketika didirikan tahun 1881 sebuah Gouvernementschool (Sekolah Gubernemen, pemerintah) di bawah pimpinan guru Seth Lantang dan kemudian Jan Turambi. Sekolahnya kemudian terkenal dengan nama Sekolah Negeri kelas 2 (openbare Inlandscheschool der 2 de klasse) Lahendong, dengan salah satu kepalanya guru J.Pelealu (sekarang SDN Lahendong).


Lahendong, sejak awal telah menjadi negeri kedua terbesar di Distrik Sarongsong, meski belum juga mencapai 1.000 orang. Akhir tahun 1852 penduduknya didata 421 jiwa. Tahun 1867 450 jiwa. Tahun 1889 688 jiwa. Tahun 1892 menjadi 719 jiwa, tahun 1900 841, tahun 1906 836 jiwa, dan tahun 1910 sebanyak 985.

VERSI TUGU
Para pemimpin Lahendong di masa awal memang cukup kontroversial, karena tidak ada data pendukung, sekedar bertitik tolak dari tuturan-tuturan, sehingga nama dan tahun-tahunnya banyak tidak bersesuaian, seperti tergambar pada tugu para Hukum Tua yang berada di tengah negeri. 



Hukum Tua terkenal yang lama memerintah, Alexander Lukas Waworuntu sendiri tidak terdaftar, demikian pula kakek moyangnya Manopo. Ini berarti periode-periode pemerintahan dari Hukum Tua Simon Kilis, Luis Kalumata, Estepanus Pantow, Bastiaan Alow dan Zacharias Kilis tidak tepat pula. Simon Kilis sendiri mengawini Johana, anak Hukum Kedua Johanis dan cucu dari Majoor Herman Carl Wawo-Roentoe.

Dari tuturan di Lahendong tahun 1980-an, tokoh Waworuntu yang tertera di tugu dan memerintah 1828-1845, itulah Alexander Lukas Waworuntu. Sementara di kuburnya di pekuburan Waworuntu di Tumatangtang Sarongsong, jelas tertulis kalau ia baru lahir tahun 1837 dan meninggal tanggal 15 November 1913.



Selain itu banyak nama-nama lain yang tidak tertera, kendati hanya berperan sebagai wakil hukum tua atau pejabat sementara. Dapat disebut umpama B.D.Rapar, F.Legi dan H.Ombeng selang 1943-1946, sementara nama Jan Alow dan Lukas W.Lantang sebagai pejabat dicatatkan. Demikian pula kepejabatan Willem Moses Lalawi yang pertama. Termasuk tidak adanya pula nama Max L.Kaunang kendati hanya memegangnya selama 9 bulan sebelum periode kedua Johanis Eddy Lantang sebagai Kepala Desa tahun 1989. ***

------------
·         Sumber foto: Jootje Umboh, dan Peils Yusak Tangkilisan.
·         Sumber tulisan: Buku ‘Riwayatmu Tomohon’’ 1986, buku ‘’Tomohon Kotaku’’ 2006, dan naskah ‘’Tomohon Dulu dan Kini’’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.