Ruas jalan di Lahendong. |
Kelurahan Lahendong di Kecamatan Tomohon
Selatan memiliki pesona tersendiri, dengan danau aneka warna Linow serta
kawah-kawah belerang. Pesona yang telah mengundang naturalis Italia terkenal
Graaf Carlo Vidua de Conzana, beberapa Gubernur Jenderal, putera mahkota kerajaan Eropa,
para peneliti bahkan belakangan ini banyak wisatawan.
Tak kalah menarik adalah sejarahnya karena masih banyak misterinya.
Dari legenda-legenda tua, di jaman purba, disebut
Siow Kurur sebelum bertempat tinggal di Pinaras pernah bermukim pula di sini.
Kemudian dotu Repi, Lumolinding dan Telew bersama istrinya bernama Makalinow
yang dikisah menghilang di danau yang kemudian mencetuskan nama Linow untuk
danaunya
Dotu Telew (terbang), dinamai pula
Sumariei atau Sumaliei atau pula Sumaringsing, dihikayatkan sebagai penguasa Danau
Linow dan Bukit Talangkow. Dari penuturan, ia kadangkala menimbulkan angin
memusing yang membingungkan di danau atau menyesatkan para pengembara.
Para dotu tersebut bermukim di tempat yang
disebut Rano Lahendong, di sekitar sungai kecil Lahendong yang bermuara di
Danau Linow. Sungai sepanjang kurang lebih 5,25 kilometer ini disebut pula
Ranorangdang (Zanorangdang, atau pula Ranoraindang), karena airnya berwarna
merah, menjadi salah satu anak sungai Nimanga.
Ini pun berangkat dari kisah di pertengahan
tahun 1600-an ketika terjadi perang pengusiran Spanyol dari Minahasa. Sejarawan
Minahasa H.M.Taulu mengungkap di lokasi sungai ini terjadi pembantaian terhadap
pelarian Spanyol yang terjebak oleh garis gaib buatan para teterusan Minahasa pimpinan
Sela dan Seke. Mereka dibunuh dan mayatnya dibuang ke sungai yang mengakibatkan
timbulnya nama Ranorangdang.
Penulis Belanda Dr.J.G.F.Riedel berpendapat
leluhur awal Minahasa yang telah datang berdiam di sini adalah Penghulu Repi dengan
dua istrinya Matinontong dan Tontongbene disertai lima anaknya. Repi dari
kalangan Makatelu Pitu mendirikan pemukiman Rano Lahendong ini.
Berdekatan dengan Rano Lahendong berada
negeri Elehaninendoh, didirikan Makarawung dan istrinya Matinenden un Kere dan
lima anaknya.
Kemudian dekat pula dengan Rano Lahendong,
ada pemukiman Walehlaki yang didirikan Penghulu Pangibatan beserta istrinya
Tinoring dan lima anaknya.
Sebutan Lahendong bagi negerinya, dikaitkan
dengan pohon besar yang tumbuh di pinggiran mata air yang dinamai Lumahendong atau Lahendong. Pohon
tersebut mencolok mata ketika para pionirnya melakukan tumani negeri. Kulit
pohon Lahendong biasa ditumbuk, di masa silam dijadikan pakaian yang disebut momo’ (cidako).
Zendeling Tanawangko Nicolaas Graafland menyebut negeri ini berasal dari jenis pohon tersebut.
LEGENDA NEGERI
Demikian pula pendapat Zendeling Tomohon
Nicolaas Philip Wilken. Bahkan Pendeta Wilken memerinci bagaimana kisah terbentuknya
Lahendong. Dalam tulisan dipublikasi Mededeelingen NZG tahun 1863, Wilken mengaitkan
keberadaannya dengan Tompaso.
Konon, di masa silam, jumlah penduduk Tompaso
sangat banyak, sehingga mereka memutuskan untuk menyebar. Beberapa ingin pergi
ke pantai dan membuat garam. Tetapi, yang lain ingin tinggal di pegunungan
untuk bertanam padi.
Ketika itu sebuah pohon Lahendong yang sangat
tinggi berdiri di Tompaso. Ayo, mereka berkata satu sama lain, mari kita
tumbang pohon ini. Ini akan berguna bagi kita semua. Dari kulit kayu kita bisa
berpakaian, dan dari kayu para penanam bisa membuat balok-balok rumah dan untuk
perahu nelayan.
Pohon itu ditebang dan tumbang. Puncaknya
jatuh ke barat-laut, ke sungai yang namanya tidak diketahui.
Tidak lama kemudian, menurut Wilken, salah satu
buah yang tersebar dari pohon ini tumbuh. Karena pohonnya Lahendong, dinamailah
tempat termasuk sungainya demikian. Nanti belakangan, di tepi sungai tersebut
berdiri satu negeri yang menerima nama Lahendong pula.
Tahun dimulainya pemukiman awal di Lahendong
sulit diperkirakan. Namun, kemungkinan kuat sudah ada sejak pertengahan abad
ke-18.
Dari tuturan di Lahendong, disebut tokoh yang
pertama datang adalah tonaas bernama Mokalu dan disebut pula Rondonuwu. Ia
datang dari ibukota Sarongsong masih di Tulau. Pertama membuka kebun dan bangun
pondok di sekitar lokasi Kakalutayen. Karena hasil berlimpah, ia kembali ke
Sarongsong mengajak keluarga untuk tinggal bersama di lokasi baru ini.
Dikirakan tahun 1765, karena penduduk mulai
banyak, Tonaas Legi dipilih menjadi pemimpinnya. Kemudian diganti Siow tahun
1775. Masa Siow dikisah, terjadi musim hujan parah, meluapkan air danau Linow
dan sungai Ranorangdang menghancurkan tanggul dan menghantam pemukiman hingga
hancur.
Penduduk memutuskan pindah ke bagian timur
mendekati lokasi mata air. Pemukiman baru didirikan dengan penancapan batu
Tumani. Konon, dari sinilah awal pemakaian nama Lahendong, bertitik tolak dari
pohon di dekat mata air tersebut.
Peran strategis Lahendong, dirasa penting
ketika Sonder mendirikan negeri Leilem di sipat dengan Balak Sarongsong di
Lahendong. Masa itu, masih sering terjadi permusuhan antarbalak, sehingga
Kepala Balak Sarongsong Tamboto sengaja menempatkan seorang kerabatnya, Manopo
sebagai Hukum berkedudukan di Lahendong. Manopo bahkan menurut keturunannya
berjabatan sebagai Kumarua (Hukum Kedua).
Manopo dari silsilah keluarga Waworuntu
adalah anak Regar, cucu Waworuntu (1) dengan istrinya Topowene. Topowene
sendiri adalah putri dari Lontoh Kolano, Hukum Majoor Kepala Sarongsong di abad
ke-17 dan awal abad ke-18.
Hukum Manopo di Lahendong dicatat pula dokumen
Belanda. Sejarawan Minahasa Bert Supit mengutip laporan dari Residen Manado
Carel Christoph Prediger bulan Mei 1808 ketika mengunjungi Lahendong. Prediger
tidak menemukan satu penduduk pun. Menurutnya, Manopo bersama penduduk
Lahendong lari masuk hutan karena diancam Lontoh Tuunan dari Tomohon.
Usai perang Minahasa di Tondano, anak Manopo
dari istri Wuaimbene, Waworuntu (2) berkuasa dan menjadi kepala dari Balak (kemudian
disebut Distrik) Sarongsong tahun 1819 dan bergelar Majoor. Ia kemudian dikenal
dengan nama Herman Carl Wawo-Roentoe ketika dibaptis Kristen Protestan di
Tomohon tanggal 11 April 1847.
BACA: Mengenal Sejarah Kamasi.
Dr.Wolter Robert van Hoevell dalam tulisan di
Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie terbitan tahun 1856 mengisahkan perjalanannya
ke Danau Linow ketika itu, dengan diantar Hukum Tua Lahendong Waworuntu.
Waworuntu ini disebutnya sebagai putra Majoor Sarongsong.
Menurut tokoh keluarga Waworuntu tahun
1980-an Arie Michail Mandagi, yang pernah menjadi Kepala Distrik Tomohon, Hukum
Tua Lahendong dari keluarga Waworuntu, selain Manopo di awal tahun 1800-an,
dikenal pula adalah Johanis Wawo-Roentoe, putra paling bungsu Majoor Herman Carl
dari istri pertama Sara Rengkung.
Ketika Majoor Herman Carl meninggal tahun
1854, putra tertuanya Zacharias naik menjadi Kepala Distrik, sementara putra
kedua Albertus Bernadus Wawo-Roentoe berkedudukan sebagai Hukum Kedua
Sarongsong. Namun, tahun itu juga Albertus diangkat menjadi Jaksa Landraad Manado (kelak Kepala Distrik
Sonder), sehingga posisi Hukum Kedua Sarongsong diisi Johanis Hukum Tua
Lahendong.
Jabatan Hukum Tua di Lahendong sejak tahun
1854 itu dipegang oleh Alexander Lukas Waworuntu (dalam dokumen lebih banyak
ditulis Waworoentoe), putra tertua Kepala Distrik Majoor Zacharias (meski ada
versi lain kalau ia sebenarnya telah menjabat sejak tahun 1850 diangkat
kakeknya).
Alexander Waworuntu berkuasa sangat lama, selama
ayahnya Majoor Zacharias menjadi Kepala Distrik Sarongsong sejak tahun 1854.
Bahkan, ketika Distrik Sarongsong disatukan dengan Distrik Tomohon tahun 1880, dipimpin
iparnya Majoor Herman A.Wenas, ia masih dipercaya menjadi Hukum Tua.
Hukum Tua Alexander, termasuk salah satu hukum
tua paling lama memegang jabatannya di Minahasa. Untuk lama pengabdian dan
jasa-jasanya, pemerintah kolonial Belanda dengan keputusan Gubernur Jenderal
pada bulan Juli 1894 memberikan penghargaan untuk jasa sipil, berupa bronzen ster voor trouw en verdienste (bintang
perunggu untuk kesetiaan dan prestasi),
sehingga ia terkenal dengan julukan Hukum Tua Bintang.
Protestan sendiri telah masuk Lahendong,
ketika Zendeling Tomohon Nicolaas Philip Wilken membentuk Jemaat Lahendong tahun
1849 (sekarang Jemaat GMIM Damai Sejahtera). Namun sekolahnya telah didirikan
lebih awal di tahun 1840 oleh Zendeling pertama Tomohon Johan Adam Mattern. Genootschapschool (Sekolah Genootschap) Lahendong pertama dipimpin
oleh guru M.L.Kowaas.
Sekolah ini hilang ketika didirikan tahun
1881 sebuah Gouvernementschool
(Sekolah Gubernemen, pemerintah) di bawah pimpinan guru Seth Lantang dan
kemudian Jan Turambi. Sekolahnya kemudian terkenal dengan nama Sekolah Negeri
kelas 2 (openbare Inlandscheschool der 2
de klasse) Lahendong, dengan salah satu kepalanya guru J.Pelealu (sekarang
SDN Lahendong).
Lahendong, sejak awal telah menjadi negeri
kedua terbesar di Distrik Sarongsong, meski belum juga mencapai 1.000 orang.
Akhir tahun 1852 penduduknya didata 421 jiwa. Tahun 1867 450 jiwa. Tahun 1889
688 jiwa. Tahun 1892 menjadi 719 jiwa, tahun 1900 841, tahun 1906 836 jiwa, dan
tahun 1910 sebanyak 985.
VERSI TUGU
Para pemimpin Lahendong di masa awal memang
cukup kontroversial, karena tidak ada data pendukung, sekedar bertitik tolak
dari tuturan-tuturan, sehingga nama dan tahun-tahunnya banyak tidak
bersesuaian, seperti tergambar pada tugu para Hukum Tua yang berada di tengah
negeri.
Hukum Tua terkenal yang lama memerintah,
Alexander Lukas Waworuntu sendiri tidak terdaftar, demikian pula kakek
moyangnya Manopo. Ini berarti periode-periode pemerintahan dari Hukum Tua
Simon Kilis, Luis Kalumata, Estepanus Pantow, Bastiaan Alow dan Zacharias Kilis
tidak tepat pula. Simon Kilis sendiri mengawini Johana, anak Hukum Kedua
Johanis dan cucu dari Majoor Herman Carl Wawo-Roentoe.
Dari tuturan di Lahendong tahun 1980-an,
tokoh Waworuntu yang tertera di tugu dan memerintah 1828-1845, itulah Alexander
Lukas Waworuntu. Sementara di kuburnya di pekuburan Waworuntu di
Tumatangtang Sarongsong, jelas tertulis kalau ia baru lahir tahun 1837 dan
meninggal tanggal 15 November 1913.
Selain itu banyak nama-nama lain yang tidak
tertera, kendati hanya berperan sebagai wakil hukum tua atau pejabat sementara.
Dapat disebut umpama B.D.Rapar, F.Legi dan H.Ombeng selang 1943-1946, sementara
nama Jan Alow dan Lukas W.Lantang sebagai pejabat dicatatkan. Demikian pula
kepejabatan Willem Moses Lalawi yang pertama. Termasuk tidak adanya pula nama
Max L.Kaunang kendati hanya memegangnya selama 9 bulan sebelum periode kedua
Johanis Eddy Lantang sebagai Kepala Desa tahun 1989. ***
------------
·
Sumber
foto: Jootje Umboh, dan Peils Yusak Tangkilisan.
·
Sumber
tulisan: Buku ‘Riwayatmu Tomohon’’ 1986, buku ‘’Tomohon Kotaku’’ 2006, dan
naskah ‘’Tomohon Dulu dan Kini’’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.