Kamis, 13 Juni 2019

Mengenang Distrik Kakaskasen




Gunung Lokon.




Tidak banyak yang mengetahui kalau Kakaskasen (sekarang empat kelurahan di kecamatan Tomohon Utara) baru bergabung dengan Tomohon awal abad ke-20. Tepatnya mulai tanggal 8 Oktober 1909.

Sebelumnya Kakaskasen bersama Kinilow (kini dua kelurahan), Tinoor (dua kelurahan), Kayawu, dan Wailan masuk wilayah pemerintahan Distrik Kakaskasen yang beribukotakan Lotta (di Kecamatan Pineleng Kabupaten Minahasa sekarang). Kepala distrik terakhirnya adalah Hukum Besar Robert Johan Pelenkahu berkedudukan di Lotta, dan Hukum Kedua berkantor di Kakaskasen Lodewijk Wenas (ayah Ds.A.Z.R.Wenas).

Kakaskasen sendiri merupakan ibukota awal distrik tersebut, dan menjadi asal mula dari para pionir pendiri negeri-negeri yang saat ini menjadi Kecamatan Pineleng, Mandolang, bahkan negeri-negeri awal di Kota Manado. Tidak heran, meski kemudian ibukota berpindah di Kali dan Lotta, nama distrik tetap memakai Kakaskasen.

Negeri-negeri lain bekas Distrik Kakaskasen ketika itu, Tateli, Kali, Koha, Koka, dan Warembungan digabung ke Distrik Manado dan Tombariri.

Nama Kakaskasen sudah dikenal dan dipakai sejak dulu kala. Catatan tertua tentang Kakaskasen adalah dari laporan padri Fransiskan (Ordo Fratrum Minorum, OFM) asal Spanyol, Pater Blas Palomino. Pada bulan April tahun 1619 ia datang berkunjung di Kakaskasen, bersama Kapten Francisco Melendeo dan Juan de Ba­ras. Negeri Kakaskasen dicatatnya sebagai Cas­­casse. 

Sementara Gubernur Maluku dari Kompeni Belanda (VOC) Dr.Robertus Padtbrugge mencatatnya di tahun 1682 sebagai Cascas atau Cascasse, sebuah negeri Tombulu yang berpenduduk 100 awu atau sekitar 500 jiwa.

Kakaskasen tidak terpisahkan dari konsentrasi, tumbuh kembang dan penyebaran suku Tombulu di Tomohon, Sarongsong, Tombariri, Manado bahkan di Tonsea. Legenda dan tradisi Tombulu banyak mengaitkan asal mula dan keberadaan leluhur pertama Minahasa dari kawasan Kakaskasen.

Tidak berlebihan Zendeling dan penulis Belanda masyur Nicolaas Graafland berpendapat kalau penghuni Tombulu yang pertama datang ke Minahasa. Pendapatnya ini didasarkan kalau ‘’agama’’ Tombulu lebih sempurna dan lebih tersusun baik dari pada suku-suku lain. Seperti memiliki foso-foso beragam yang tidak dimiliki suku lain, atau paling tidak tak selengkap dan sekaya milik Tombulu. Berikut, simpulnya, legenda berasal Tombulu sangat melimpah dan banyak menghubungkan dengan tempat yang ada di wilayahnya. Begitu pun nyanyian Tombulu lebih banyak serta lebih indah, dan juga bahasanya lebih berkembang dan lebih asli dari suku lain.

Dalam kisah-kisah tua Tomohon dan Tombulu, disebutkan manusia per­tama Karema dan Lumimuut (serta Toar) telah bermukim di Tuur in Tana’ di antara 3 gunung: Lokon, Kasehe dan Ta­ta­wiran [1].

Tuur in Tana ini, menurut sejarawan Tomohon Ibrahim Palit berada di atas hulu sungai Makalesung yang bermuara di Tanawangko, yakni di tempat yang banyak ditumbuhi pohon mahwatu. Napak tilas leluhur Minahasa di Kakaskasen diawali di mata air Wailan, lalu di dataran de­kat mata air Kelong di kaki gunung Mahawu, mata air Lem­buyan, batu Pasuwengan dan dekat sebatang pohon Kinilow.

Jejak-jejak leluhur Minahasa di kawasan yang sekarang masuk Kota Tomohon ini, dicatat pula oleh penulis barat lain Dr.Johan Gerhard Friedrich Riedel. Putra-putra Toar-Lumimuut dari kalangan Makatelu-Pitu banyak berdiam di bagian Kakaskasen, Tomohon dan Sarongsong sebelum pembagian Minahasa di Watu Pinawetengan. Antara lain Penghulu Pinontoan bersama istrinya Ambilingan dan enam anaknya di puncak Gunung Lokon, serta Rumengan beserta istrinya Katiwiei dan enam anaknya di Gunung Rumengan.

Nama Kinaskas, yang menjadi asal nama Kakaskasen, diperkirakan telah muncul sejak awal. Salah satu legenda mengisahkan ketika Pinontoan, yang dikenal sebagai penguasa Lokon berselisih paham dengan kakaknya Rumengan penguasa Mahawu. Kediamannya telah dirusakkan, seperti dicakari oleh Ru­me­ngan

Patung Pinontoan, penguasa Lokon di Kayawu.

Selain cerita dicakar Rumengan, legenda lain berangkat dari masa pemerintahan Ma­ki­oh­lor, ketika Makiohlor mengapak kayu dengan kapak emasnya yang lepas dan dicarinya. Padahal terlempar ke lokasi yang sekarang disebut Pinati (berarti kapak) di Kamasi Tomohon.

Versi hampir bersamaan, mata kapak yang lepas hilang di semak ilalang dan daun tebal dan tembus ke dalam tanah. Si penebang (di sini tanpa nama) mengorek-ngorek daun tersebut dengan menggaruknya, sampai timbul mata air sehingga dinamai Kinaskas.

Graafland sendiri memberi sebuah versi bahwa seorang Walian tua dari ne­geri Wanua Wangko (dimaksudnya Tomohon) menyuruh budaknya pergi ke Gunung Lokon untuk menebang kayu untuk rumahnya. Sementara mereka melakukannya, terlepaslah ka­pak dari tangannya lalu menghilang ke arah tenggara Gunung Lokon, yang ke­mudian menjadi sungai besar dan dinamai Kakaskasen (dicakar). Baru kemudian di­dirikan sebuah negeri di tepi sungai yang diberi nama sama.

Masih ada versi lain. Karena ma­­ta air ini telah di­­­cakari oleh be­bek angsa. Se­men­ta­ra diceritakan juga, na­ma Kakaskasen diambil dari arti cakaran ayam, ya­ng telah para pendirinya lepaskan di tem­pat itu untuk melihat ayam itu akan memberi tanda, dimana negeri akan didirikan, setelah se­be­lumnya tem­pat itu telah ditentukan.

Keluarga besar Tombulu setelah pembagian di Watu Pinawetengan (ada mem­perkirakan terjadi abad ke-8 Masehi, bahkan abad ke-13), dipimpin oleh Tonaas Mapumpun, Belu yang di­sebut juga Welum (Belung), Kakakanan atau Kekekeman (Kakemang) membangun pemukiman di lokasi bernama Meiesu (bermakna balik kembali atau pulang). 

Meiesu menjadi salah satu dari tiga pemukiman besar Minahasa, disamping Niaranan dari Tonsea dan Tumaratas dari Tontemboan. Meiesu banyak dikaitkan dengan Tuur in Tana’ sendiri dan disebut berada di Wawa un Lokon atau di dekat pohon Kinilow yang telah dirintis leluhur awal Minahasa. Identitas Kakaskasen kemungkinan kuat telah digunakan sejak masa itu.

Orang Tombulu di Meiesu tidak lepas dari ‘amarah’ Gunung Lokon, berjangkitnya wabah penyakit seperti sampar, kolera dan cacar, serta konflik dan kemudian peperangan.

PARA KOLANO
Menurut Riedel, di masa pemerintahan tokoh bernama Pukul [2], penduduk Tombulu di Meiesu pindah di lokasi yang kemudian bernama Kinilow tua. Kejadian mana menurut pendapat lain baru berlangsung di masa cucunya bernama Lumoindong (Sumoindong atau disebut juga Lumongdong, ada tradisi mencatatnya sebagai anak Pukul). Saat itu terjadi letusan hebat Gunung Lokon, membinasakan negerinya, berakibat penduduk pindah di Kinilow tua, lokasi yang sekarang bernama Nimawanua.

Masa pemerintahan Lumoindong ini suku Tombulu mulai bercerai berai. Saudaranya Tumbelwoto mendirikan Sarongsong di Tulau. Kaawoan saudara lainnya mendirikan Tombariri dan Mokoagow mendirikan Tomohon di Saru.

Versi lain, pecahnya Tombulu di Meiesu baru terjadi di masa pemerintahan Makiohlor atau Makiohloz atau Makiolos atau juga Makiolol atau disebut pula Ohlor atau Oolor [3].

Pada periode pemerintahannya, berlangsung peperangan dengan Tompaso dan dengan Kamasi. Perang dengan Kamasi terjadi gara-gara wanita cantik bernama Ringking Bulawan dilarikan pemuda Kainde. Riedel menyebut sumber peperangan itu disebabkan Makiohlor sendiri yang melarikan Ringking ke Kinilow berakibat tunangannya Kainde yang menjadi sobat Makiohlor dibunuh pengikut Makiohlor [4].

Dari legenda, suatu hari ketika Makiohlor sedang berburu, negeri diserang musuh, dan dibakar, sehingga Kinilow tua tinggal puing-puing bara. Makiohlor memimpin sisa pengikutnya membangun pemukiman baru di lokasi Kinilow sekarang [5].

Anak cucu Makiohlor yakni Sirang, Mumek, Impal, Mawoho dan Kokali, keluar dan mendirikan Kali. Dari Kali, Lolong (Ruruares) mendirikan Ares di Manado.

Sebagian lagi dengan dipimpin oleh Tonaas Ruru yang datang dari Kali, mendirikan
pemukiman Kakaskasen di tempat yang dinamai Nawalei. Lokasi diduga Nimawanua pertama Kakaskasen yang menyambung dengan Nimawale (Nimawanua) Kinilow, dimana lokasi waruganya sekarang berada (masuk Kakaskasen Satu) [6].

Meski demikian ada versi, kalau pendirian Kakaskasen oleh Ruru ini sudah terjadi di lokasi yang sekarang berada di selatan Biara Karmel dan Seminari Menengah Kakaskasen (Tiga) yang juga disebut Nimawanua atau Nimawale. Riedel sendiri berpendapat hal ini baru terjadi ketika pemerintahan Tikonuwu dan Tuera.

Nimawanua dan satu waruga tertimbun.

Masa Ruru di Kakaskasen, Riedel juga mencatat terjadi perang Sinalahan. Istri Ruru yakni Rihim putri kepala Sinalahan bernama Narai lari kembali ke rumah ibu-bapanya. Narai marah dan menantang perang yang kemudian berlangsung di sebelah utara Danau Tondano. Teterusan Kakasasen bernama Longkai ditangkap dan dibuang ke jurang air terjun Tonsea Lama. Perang yang berlarut ini baru berakhir ketika Tampih dan Remuh, anak-anak Ruru mendamaikan.

Para kepala Tombulu di negeri-negeri pecahan di bagian utara mengakui kepemimpinan kepala di Kakaskasen, nama yang resmi digunakan untuk pakasaan (kemudian menjadi Balak dan terakhir Distrik) sejak tercerai-berainya Tombulu di Meiesu. Sebab di masa berikutnya hanya nama Kakaskasen yang kelak tercatatkan di berbagai laporan serta dokumen, meski ibukota sudah di Lotta. Sebutan pemimpin di Kakaskasen umumnya adalah Kolano atau Kalawwiti atau Akha um Wanua.

Ibukota Kakaskasen telah berpindah di Kali di masa kepemimpinan Bungkar (Wungkar atau Wongkar) yang ditemui Padri Blas Palomino tahun 1619 dan disebutnya sebagai ‘raja’ yang masih beragama alifuru, sedang Kali merupakan ibukota provinsi yang besar dan makmur [7]. Dimana-mana Palomino diterima dengan ra­­mah, tapi ajarannya dilarang oleh para kepala, terutama walian-walian.

Usaha Spanyol menseranikan penduduk Kakaskasen mu­­lai berhasil ketika tahun 1639 Bruder Fransisko de Al­­kala (bawahan Padri Tomohon Yuan Yranzo) berdiam di Kali. Ia digantikan padri Fransiskan asal Navarre Spanyol bernama Lo­­renzo Garralda yang berhasil membaptis banyak penduduk namun kemudian menjadi martir.

Riedel mencatat wanita Lingkanbene yang diperistri pemimpin Spanyol, dan putranya bernama Mai­­nalo diusul ibunya dan Spanyol menjadi Kolano seluruh orang Minahasa. Tentu saja tidak diterima [8].

Perang pengusiran Spanyol terjadi tanggal 10 Agustus 1644. Balas dendam yang dilakukan armada di bawah Bartolomeo de Soisa menyebabkan Kali hancur. Maka ibukota Pakasaan Kakaskasen kembali pulang di Kakaskasen.

Sejumlah pahlawan Kakaskasen terkenal dalam perang pengusiran terhadap Spanyol dan kemudian da­lam perang dengan Bolaang yang dipimpin Raja Loloda Mo­koagow. Pahlawan-pahlawan tersebut adalah Tonaas Tom­­bokan, Rumondor, Wongkar Sayow dan Worung atau Worang.

Kepala Kakaskasan berikutnya adalah Lontaan,yang dianggap menjadi Kepala Balak Kakaskasen pertama. Lontaan bersama dengan Supit, Lontoh dan Paat menjadi duta-duta Minahasa untuk mengundang Kompeni Belanda (VOC) di Ternate membantu mengusir Spanyol di tahun 1654. Ia diduga yang meneken kontrak politik tanggal 10 Januari 1679 (ada versi telah dijabat Kalalo) [9] dengan Gubernur Robertus Padtbrugge. Mengatasnamakan Balak Kakaskasen [10].

Waruga Kalalo.

Ibukota Kakaskasen ketika itu sudah berada di Nimawanua Kakaskasen (Tiga sekarang), seperti tergambarkan pada peta masa itu.

     Lihat peta masa Padtbrugge di tulisan Woloan Ibukota AwalTombariri.

Menurut budayawan Kakaskasen Paulus Abednedju Lenzun, negeri Kakaskasen di Nimawanua ini sangat strategis karena dilindungi bambu runcing ditanam, ya­ng disebut Sura, dalam perbentengan parit-parit selebar 3 meter dan dalam 10 meter. Pemukimannya berada di bagian, utara, barat dan sebagian timur, karena pemakaman waruga sebagian ada di tempat ini.

Kepala Balak Kakaskasen terkenal berikut adalah Hukum Majoor Tikonuwu. Nama Tikonuwu tercatat yang bertanda atas nama Kakaskasen tanggal 10 September 1699 dalam Kontrak Minahasa-Belanda dimana Belanda diwakili Kapitein Paulus de Brievings dan Onderkoopman Samuel Hattingh. Namanya dicatat Tikoeneeboe.

Kepala Kakaskasen masih di Nimawanua berikutnya adalah Sulu (1700-1730) dan Hukum Majoor Pangkerego (ditulis Panterejo) tahun 1728.

Penggantinya Parengkuan sejak tahun 1740 memindahkan ibukota Kakaskasen di Lotta berdekatan kota Manado [11]. Anaknya Mainalo Sangian Parengkuan memerintah 1760-1790, lalu diganti Pangemanan. Kemudian Mainalo Sahiri Parengkuan yang beroleh gelar Majoor memerintah sejak tahun 1800 hingga 1834.

Majoor Mainalo Sahiri Parengkuan ini menjadi Kepala Kakaskasen yang telah meneken Kontrak 14 September 1810 dengan Residen Inggris Thomas Nelson. Ia pun sempat bertemu di Manado dengan Predikant Ambon Ds.Joseph Kam tahun 1817.

Penggantinya berturut sebagai kepala distrik adalah anak-anaknya Alfrets Parengkuan (1834-1842), H.Parengkuan (1842-1856), F.Parengkuan (1856-1862), serta W.L.Parengkuan (1862-1872). Dinasti Parengkuan terakhir adalah Hukum Besar Paul Frederik Parengkuan (1872-1886) dengan Hukum Kedua N.W.Wakkary berkedudukan di Kakaskasen.

Distrik Kakaskasen kemudian diperintah Hukum Besar Nicolaas Willem Wakkary (22 Desember 1886-Januari 1896) dengan Hukum Kedua W.Walangitang. Hukum Besar Willem Walangitang (18 Januari 1896-Juli 1901) dengan Hukum Kedua H.J.Lumanauw. Hukum Besar Willem Albert Ticoalu (4 Agustus 1901-November 1903), dan Hukum Besar Frederik Andries (11 November 1903-April 1905) dengan Hukum Kedua R.J.Pelenkahu. Paling akhir Hukum Besar Robert Johan Pelenkahu hingga Distrik Kakaskasen dihapus Oktober 1909. ***



---
[1].Lokon menurut Graafland berarti tempat kediaman para dewa, kasendukan. Lokon bersama-sama puncak-puncak yang mengarah ke pantai, Tatawiran dan Kesehe disebut Se Lo­kon Telu, ketiga Lokon itu, tempat yang bermakna sakral dan sangat dihormati.
[2].Pukul menurut Ibrahim Palit adalah turunan (cicit) Muntuuntu, cucu Pinontoan, dan anak dari Akhaimbanua dengan Kareghehan (Karegesan). Ia per­­istri Suanen dan peroleh putra Raroseempung (kawini Raumpatola), serta jadi ka­­kek dari Lumongdong (mengawini Rumesak).
[3].Dalam silsilah sejumlah keluarga tua Tomohon, Makiohloz disebut mengawini Sa­lea, putri Untu dan Rekesan (cucu Tambariri dan Arus), dan memperoleh anak da­ri Salea bernama Wowor yang mengawini Resina.
[4].Paulus Lenzun meng­kla­im peristiwa Makiohlor dan perpindahan dari Kinilow tua ke Kinaskas Ni­ma­wa­nua baru terjadi belasan tahun kemudian sesudah letusan gunung Lokon tahun 1771, di akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19. Sejarah Kinilow per­nah mengambil tolok ukur dari Makiohlor versi ini.
[5].Legenda Makiohlor menyebut kadera goyang ni kolano miliknya yang terbuat da­ri emas menghilang sepeninggalnya. Sebuah kisah menyebut kematiannya cukup tragis. Ia konon gusar dengan akrabnya Sarongsong dan Tombariri, juga ka­rena putri pemimpin Sarongsong bernama Raumanen dijadikan istri Teterusan Ton­temboan bernama Makaindeeng. Ia serang Sarongsong dan larikan Raumanen ke Kinilow dijadikan istrinya. Sarongsong dibantu Tontemboan serang dan bakar Ki­nilow. Makiohlor dibunuh Makaindeeng.
[6].Tonaas Ruru dianggap sebagai pendiri Nimawanua ini. Nama lainnya adalah Rurughala, disebut sebagai anak Mangambow dan Re’kes, serta cicit Manarongso­ng dan Winenean. Ia sering disalahtafsirkan sebagai identik dengan Dotu Lolong Lasut alias Ruruares. Waruga Ruru sendiri sekarang dipercayai berada di de­kat kantor Kelurahan Kakaskasen Satu.
[7].Bungkar atau Wungkar ada mengganggapnya identik dengan Tonaas Worang yang waruganya ada di negeri tua Kakaskasen (sebelum dipindah), sehingga muncul persepsi kalau dia sebenarnya berdiam di Kakaskasen, bukan di Kali.
[8].Menurut H.M.Taulu, Mainalo adalah putra Petor (kepala daerah Spanyol di Minahasa) dengan Wawu Lingkanbene dari Kakaskasen. Setelah didesak para padri yang terhambat usaha misinya, Gubernur Spanyol di Manila, tahun 1630 mengusulkan untuk mengangkat Mainalo sebagai raja Minahasa, sedang is­tri­nya Rinerutan, juga seorang peranakan sebagai permaisuri.
[9].Kalalo, menurut Ibrahim Palit, adalah anak Lumi dari istri ketiga bernama Likirzan. Kalalo mengawini Lenewan, Layawan dan Rusung, memperoleh anak dina­mai Sulu (Sulu’tu’a) yang memperistri Suey. Anak-anak Sulu dan Suey adalah Su­lu’ oki (kawini Sorot), Tolang dan Lingkaywulan (dikawini Tumbelwoto).
[10].Lontaan, menurut Palit juga, sebagai anak Paat, mengawini Wuo’ dan memper­oleh anak bernama Rumajar.
[11].Lenzun mengisahkan, pemimpin dari Kinaskas, Kinilow, Lota dan Kali mengadakan pertemuan untuk membicarakan Pakasaan (Balak) mereka. Lalu untuk mempermudah hubungan dengan Belanda, rapat menetapkan Parengkuan se­­ba­gai Kepala Balak Kakaskasen berkedudukan di Lotta.




·         Sumber foto: Jootje Umboh dan Didi Sigar.
·         Sumber tulisan: buku ‘’Tomohon Kotaku’’ 2006, naskah ‘’Tomohon Dulu dan Kini’’; buku Dr.J.F.G.Riedel‘’Inilah Pintu Gerbang Pengetahuwan itu’’ 1862, buku Ibrahim Palit ‘’Sejarah Manusia Pertama Minahasa’’ 1980, buku Nicolaas Graafland (terjemahan Yoost Kullit), ‘’Minahasa Masa Lalu dan Masa Kini’’ 1987, serta buku H.M.Taulu’’Sebingkah Sejarah Perang Minahasa-Spanjol’’ 1966.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.