Minggu, 25 Agustus 2019

Wailan, Negeri Kaya Air






Gereja GMIM Wailan 2006.





Meski menjadi salah satu dari dua negeri paling bungsu di Kota Tomohon, sejarah berdirinya Wailan yang sampai tahun 1908 masih sebagai negeri dari Distrik Kakaskasen, paling bervariasi.

Pendirinya banyak disebut adalah Lefinus (Lepinus) Lala, dan kejadiannya dihikayatkan terjadi di tahun 1880-an. Ada versi pula pendiriannya terjadi tahun 1890 atau bahkan tahun 1895 dan juga 1897 dengan tokoh bernama Johan Sumendap, berperan sebagai kepala jaga jauh dari Kakaskasen. Kemudian pula, tahun 1900 dengan tokoh Ruland Polii yang disebut menjadi Hukum Tua pertama.

Bahkan, di tahun 1960-an berkembang kisah adanya tokoh bernama Mamarangbene yang telah lebih dulu datang ke Wailan, meski baru sekedar menjadikannya lahan perburuan dan bertanam padi dengan lawi atau terung kecil.

Tokoh Johan Sumendap termasuk pribadi kontroversial, sehingga mungkin namanya dianggap tidak layak sebagai Hukum Tua pertama. Namun, berdasar wawancara dan kisah para tua dan Hukum Tua Wailan di tahun 1960-an dan 1980-an, ia dipercaya menjadi pejabat Hukum Tua paling pertama. 1]

Justru, dokumen lama memang menyatakan kalau Johan Sumendap menjadi Hukum Tua pertama di tahun 1900 ketika Wailan resmi dinyatakan sebagai satu negeri baru dalam Distrik Kakaskasen. Salah satunya laporan Pendeta Tomohon Jan Louwerier kepada dewan pengurus NZG di Belanda tahun 1900,1903 dan 1909 yang menegaskan kalau Wailan baru menjadi satu negeri mandiri tahun 1900 dengan Johan Sumendap sebagai Hukum Tuanya. 2].

KAYA LEGENDA
Dalam berbagai legenda Tombulu, lokasi Wailan telah dihikayatkan ada sejak jaman para leluhur Minahasa. Sejarawan Tomohon Ibrahim Wilhelmus Palit mengisahkan pemukiman awal para leluhur berada di seputaran mata air Wailan. Malahan, leluhur pertama Minahasa Karema dan Lumimuut disebutnya yang pertama bermukim di situ. Kejadiannya terjadi setelah kedua wanita tersebut berpindah dari Tuur in tana’ di dataran antara tiga gunung Lokon, Kasehe dan Tatawiran. Keduanya kendati tidak lama, bermukim di sekitar mata air tersebut.

Sudah adanya aktivitas masyarakat di Wailan masa lampau, terbukti dengan adanya sebuah peninggalan tua berupa batu bertulisan dengan gambar motif orang di lokasi mata air Sesek yang berada di sebelah timur Wailan.

Penduduk dari negeri Kakaskasen dianggap yang pertama merambah Wailan, jauh-jauh hari sebelum pendiriannya sebagai satu negeri. Mata air Wailan (dimana nama negeri nanti terambil) di ujung barat, menjadi lokasi sakral tempat mengaley di masa silam bagi para Walian dan Tonaas, karena dianggap tuahnya sebagai tinggalan leluhur awal dengan beringin raksasa (yang telah ditebang di tahun 2000-an).

Hutan Wailan pun sudah menjadi sumber utama bagi penduduk Kakaskasen mengambil kebutuhan kayu untuk pembangunan rumah. Lokasi Pinahwawian, sekitar 1 kilometer di sebelah tenggara Wailan merupakan tempat beristirahat mereka ketika mengerjakan kayu menjadi papan dan balok.

Ditutur sedang istirahat mereka makan dan minum saguer, lalu setelah kenyang, karena ingin buang kotoran, mereka melobangkan tanah dengan balok yang ditarik untuk tempat kotoran. Sampai tahun 1980-an masih ada sisa-sisa berupa bekas lobang berdiameter 40 hingga 60 sentimeter.

Juga lokasi Kimoong, sekitar 400 meter di selatan Wailan, merupakan tempat pengambilan waruga penduduk di masa lalu.

Mamarangbene adalah dikisah menjadi penguasa Wailan pertama yang menjadikannya sebagai wilayah perburuan, konon di awal abad ke-19. Siapa saja yang akan berburu harus mendapatkan izin darinya. Lokasi di ujung barat Wailan, yakni di dekat mata air Wailan, dijadikannya tempat bermain Maengket. Bersama teman-temannya, apabila musim menuai padi mereka berpesta pengucapan sukur.

Hingga tahun 1960-an, sisa-sisa peninggalannya berada di dekat lokasi perburuannya, dengan tanaman tawaang dan Pinahwawian juga.

NEGERI BARU
Sebelum tahun 1900, Wailan telah dimukimi penduduk asal Kakaskasen. Para pekebun dari Kakaskasen terus bertambah dari waktu ke waktu. Jarak dari negeri kurang lebih dua kilometer masa itu dianggap jauh, sehingga para penggarap lahan lebih suka menginap sementara di pondok-pondok yang dibangun di kebun.

Wailan menjadi tempat tinggal (mahento’, mentok) bermalam. Biasanya dari hari Senin hingga Sabtu pagi, mereka tinggal bekerja mengolah kebun sawah dan ladang dengan berpakaian cidako dan wuyang. Tapi, di hari Sabtu mereka pulang (mezu) ke Kakaskasen, agar dapat masuk ke gereja, baik di gereja Protestan mau pun Katolik di Kakaskasen, tapi dengan berpakaian rapi.

Tanah yang subur dan hasil melimpah, ditambahi tiga sumber mata air yang menyatu menjadi anak sungai Ranowangko, yakni mata air Wailan dan Kaerozan di bagian barat, serta mata air Sesek di timur, menyebabkan muncul keinginan menjadikannya sebagai satu negeri. Ketika terjadi musim kemarau berkepanjangan, penduduk di Kakaskasen datang mengambil kebutuhan air di mata air Wailan yang tak kunjung kering hingga sekarang.

Ada dua versi berkembang bagaimana Wailan berdiri.

Tokoh Lefinus Lala meresmikan nama Wailan bagi pemukiman baru ini. Dikisah, tahun 1880 ia memimpin tumaninya dengan mengadakan acara Tinalingaan (Linigauan) di dekat mata air Wailan. Ia sebagai tonaas pertama pemimpin Wailan. Nama Wailan dipilih, mengandung pengertian kaya dan banyak air, karena mata airnya berlimpah menyuburkan tanah yang baik untuk pertanian dan kehidupan. Dalam versi ini Johan Sumendap sekedar Kepala Jaga Jauh dari Kakaskasen tahun 1895, dan ketika Wailan menjadi negeri Ruland Polii menjadi Hukum Tua pertama.

Versi kedua berkait Johan Sumendap ini. Di Kakaskasen, ia telah menjadi tokoh terkenal, apalagi kakaknya Eduard bekas murid Pendeta Jan Louwerier adalah seorang Sersan KNIL yang sangat dihormati. Ia sempat dipercaya menjadi wakil Hukum Tua Kakaskasen, dan kemudian tampil sebagai salah satu tokoh yang menggagas pendirian negeri baru Wailan.

Pendeta Jan Louwerier menyebut perannya sangat besar, sehingga menjadi pemimpin masyarakat Wailan.

Perjuangan untuk menjadikan Wailan sebuah negeri dilakukan. Satu delegasi terdiri 14 orang, satu diantaranya disebut adalah Lefinus Lala, berjuang di tingkat negeri dan distrik, bahkan ke Kontrolir yang membawahi Kakaskasen. Hukum Tua Kakaskasen ketika itu adalah Nicolaas Sandah, sementara Kepala Distrik dipegang Hukum Besar Nicolaas Willem Wakkary kemudian diganti Willem Walangitang sejak Januari 1896.

Ternyata, Hukum Tua Kakaskasen dan Kepala Distrik sangat mendukung.


Tahun 1900 Wailan resmi ditetapkan Kepala Distrik Walangitang sebagai satu negeri dengan Johan Sumendap sebagai Hukum Tua (disebut Louwerier Hoofdnegeri) pertama.

Johan Sumendap tidak bertahan lama dalam jabatannya. Tahun 1901 ia diberhentikan. 3]

Kepala Distrik Kakaskasen kemudian menunjuk Ruland Polii sebagai Hukum Tua pengganti. Louwerier menyebutnya sebagai pria yang manis, dan pernah menjadi orang yang pertama mengulurkan tangan membantu kesulitannya dengan kendaraan ketika ia berada di Wailan.

PROTESTAN DAN KATOLIK
Penduduk Wailan sejak awal terbagi penganut Protestan dan Katolik. Jumlah penduduknya dari tahun ke tahun berubah terus karena penduduk masih sering menganggap Wailan sebagai rumah tinggal sementara, dan balik ke Kakaskasen. Terjadi pula naik turun penganutnya, sering Protestan mayoritas, kemudian berganti Katolik. Terakhir sampai sekarang ini Protestan.

Gereja Katolik tahun 2006.


Ketika Wailan menjadi negeri, tahun 1900 pula Katolik segera membuka sekolah pertama di sini (sekarang SD Katolik). Pendeta Louwerier baru bulan Desember tahun 1900 membuka Sekolah Genootschap (sekarang SD GMIM), ditujukan untuk anak-anak kecil, sementara yang lebih besar masih banyak bersekolah di Kakaskasen.

Louwerier menunjuk guru bantu di Sekolah Genootschap Kakaskasen Daniel Liuw untuk memimpin sekolah serta gereja (voorganger-onderwijzer) atau guru jemaat. Sedangkan sebagai pemimpin jemaat adalah seorang Inlandsch leeraar atau Penolong Injil. Junus Mandagi, Inlandsch leeraar Kakaskasen ditugaskan olehnya merangkap menangani Jemaat Protestan Wailan (sekarang Jemaat GMIM Baitel).

Pendeta Louwerier menggambarkan, jalan ke Wailan dari Kakaskasen, yang tembus ke Kayawu sangat buruk, apalagi di musim hujan, sehingga menurutnya, anak-anak kecil akan kesulitan kalau harus berjalan ke sekolah di Kakaskasen. Gereja yang juga dipakai sekolah sangat kecil, pembangunannya dibantu oleh Jemaat dari Kakaskasen. 

Di awal tahun 1904 ia melaporkan sekolah sekaligus gereja telah diperbarui, dengan jendela kaca patri, dan dicat putih selama masa liburan, sehingga bangunannya terlihat lebih baik dari sekolah lain di Tomohon.

Louwerier mengaku mengunjungi Wailan empat kali setahun. Baru sebagian kecil penduduk mengerti bahasa Melayu, sehingga ketika ia berkotbah, Inlandsch leeraar Junus Mandagi selalu bertindak menjadi penerjemah, menyalin ucapannya dalam bahasa Tombulu.

Dari statistik NZG ultimo Desember 1900, Sekolah Genootschap yang baru dibuka bulan bersamaan mencatat murid sebanyak 26 anak (14 laki-laki dan 12 perempuan), dengan kehadiran 23.

Penduduk Wailan bulan Desember 1900 tersebut sebanyak 206 orang, terdiri Protestan 136, Katolik 63 dan kafir (heidenen) 7. Louwerier mencatat 1 Protestan pindah ke Katolik. Tahun ini Louwerier tidak melakukan pembaptisan.

Tahun 1901, dengan total penduduk 233 jiwa, Protestan Wailan sebanyak 137, Katolik 89 dan kafir 7. Sebanyak 16 orang pindah ke Katolik dan 2 pindah ke Protestan.

Louwerier melakukan pembaptisan terhadap 14 orang (1 dewasa dan 13 anak-anak), serta sidi terhadap 6 orang.

Murid di bawah guru Liuw ultimo Desember 1901 terdiri 16 anak laki (jongens), dan 11 anak perempuan (meisjes), sementara kehadiran hanya 18.

Di bulan Desember 1902, jumlah murid 21 (15 anak laki-laki dan 6 perempuan) dan kehadiran 17.

Tahun 1902 ini penduduk menyusut, tinggal 192 orang. Protestan sebanyak 100 orang ditangani Inlandsch leeraar Mandagi dan guru Liuw. Katolik sendiri 87 jiwa dan masih ada 5 kafir. Protestan pindah Katolik 9 dan Katolik ke Protestan 1.

Pendeta Louwerier dalam evangelisasinya membaptis 7 orang (2 dewasa dan 5 anak) dan kawinkan 1 pasangan.

Tahun 1903 terjadi perubahan komposisi penduduk. Dari total penduduk Wailan 206 jiwa, Protestan turun tinggal 95 jiwa, sementara Katolik melonjak jadi 107, sementara 3 lain masih berkepercayaan lama, dan ada 1 Islam. Louwerier membaptis 7 jiwa (2 dewasa, 5 anak-anak) dan kawinkan 1 pasang.

Tahun 1904 hampir berimbang. Protestan 96 dan Katolik 95. Berubah lagi tahun
1905. Dari total penduduk 205 orang, Protestan turun tinggal 91 jiwa, sementara Katolik menjadi 111 orang, dan masih ada 3 berkepercayaan lama (Islam tidak ada lagi). Yang pindah ke Katolik dicatat statistik NZG 3. Louwerier membaptis 5 anak.

Sekolah Genootschap Wailan ultimo Desember 1905 memiliki 15 laki-laki dan 8 perempuan. Dari total 23 murid, yang hadir sehari-hari hanya 18. Jumlah murid sama di tahun 1906 dengan kehadiran 19.

Penduduk tahun 1906 209 jiwa, tanpa orang kafir lagi, terdiri 101 Protestan dan 108 Katolik serta perpindahan dari Katolik ke Protestan 4. Louwerier membaptis 6 anak dan melakukan 1 sidi.

Tahun 1907, penduduk bertambah menjadi 243 dengan Protestan jadi mayoritas sebanyak 136 dan Katolik 107. Louwerier membaptis 2 anak dan kawinkan 1 pasangan. Sekolah mencatat di ultimo Desember 1907 memiliki 22 murid (13 laki-laki dan 9 perempuan), tapi kehadiran hanya 16.

Tahun 1908 Jemaat Protestan Wailan di bawah Inlandsch leeraar Mandagi sebanyak 153 dan Katolik 112, dengan total penduduk 265. Sekolah masih di bawah Liuw dan penilikan Louwerier mulai maju. Terdapat 16 murid pria dan 11 anak gadis, dengan kehadiran 21 pelajar. Louwerier membaptis 4 anak dan 1 sidi.

Wailan sejak tahun 1908 digabung ke Tomohon (masih bernama Distrik Tomohon-Sarongsong), setelah Distrik Kakaskasen dihapus. 

Pendeta (Hulpprediker) Resort Tomohon tahun 1909 berganti dari Louwerier kepada Pendeta Dr.Samuel Schock. Sementara Kepala Sekolah Genootschap sejak awal tahun 1910 berganti dari Liuw kepada guru B.Wahani yang sebelumnya bertugas di Pakuure. Inlandsch leeraar Junus Mandagi masih sebagai pembantu pendeta.



Statisitik Wailan dari data NZG tahun 1910, mencatat jumlah penduduk meningkat tajam, sebanyak 313 jiwa, terdiri Protestan 178 dan Katolik 135, dengan perpindahan ke Katolik 2.

Pendeta Dr.Schoch membaptis 7 jiwa (1 dewasa dan 6 anak) serta mengawinkan 1 pasang. Sementara sekolah di bawah guru Wahani memiliki 29 murid dengan 17 anak laki dan 12 perempuan, serta kehadiran sehari-hari 22 anak. ***

                    -----
1]. Wawancara Jon Kojongian mantan Kepala SMP Kristen Tomohon yang melakukan KKN di Wailan tahun 1960-an dengan tokoh-tokoh Wailan, termasuk dua Hukum Tua masa itu Julius Joseph Keles dan Hein Oroh, Juga wawancara saya tahun 1980-an dengan mantan Kepala Desa Niko Oroh, pejabat Jacob Theodorus Mamuaja serta Elisa Posumah Pontoh.
2]. Pendeta terkenal ini memang terkesan sangat tidak menyukai pribadi Johan Sumendap serta pendirian negeri baru yang dianggapnya berlatar ambisi ingin menjadi kepala.
3]. Menurut Louwerier dalam Mededeelingen NZG 1909, ia diberhentikan karena sebuah perkara dan ditahan untuk beberapa waktu, sampai bebas karena perjuangan saudara perempuannya Phine dan iparnya Lodewijk serta pengaruh nama kakaknya Eduard, seorang sersan KNIL.


Sumber foto: Jootje Umboh.
Sumber tulisan: Buku ‘’Riwayatmu Tomohon’’ 1986, buku ‘’Tomohon Kotaku’’ 2006, naskah ‘’Tomohon Dulu dan Kini’’. Juga Mededeelingen van wege het Nederlandsche Zendelinggenootschap 1900-1911.

Kamis, 22 Agustus 2019

Kakek Babe Palar, Diaken Kamasi





Babe Palar tahun 1933.





Lelaki ini hanya sekedar diaken biasa atau sekarang disebut syamas, dari satu kampung kecil atau wijk di negeri besar Tomohon. Ketika itu, tahun 1906 Kamasi baru berpenduduk sedikit, dan bergereja di gedung Gereja Protestan Tomohon di Paslaten yang hanya berhadap-hadapan dipisah ruas jalan raya ke Manado (sekarang gereja Sion). Namun, ketika dia meninggal, pelayatnya bukan hanya dari Kamasi, tapi hampir dari seluruh Tomohon, bahkan dari luar.

Lodewijk Palar, syamas ini, meski hanya orang biasa, tapi sangat terkenal. Ia menjadi pelayan khusus jemaat dan gereja Tomohon yang disegani. Sahabat baik Pendeta Tomohon Jan Louwerier, juga sahabat para Zendeling NZG di Tomohon, seperti J.H.Hiebink Rooker, Direktur Kweekschool (Sekolah Guru) NZG di Kuranga, serta keluarga A.Limburg, Direktur Meisjesschool (Sekolah Nona) Tomohon.

Anak-anaknya sukses dalam pendidikan dan pekerjaan. Kendati mata pencaharian utamanya hanya sekedar berdagang kopi. Membeli dari para petani lalu menjualnya di Manado. 

Dua putranya menjadi guru sekolah pemerintah Hindia-Belanda. Salah satu darinya, yang tertua, memberinya cucu, seorang lelaki yang kemudian akan mengharumkan Minahasa dan Indonesia, yakni Lambertus Nicodemus Palar atau terkenal sebagai Babe Palar.

‘’Dengan dia, saya dapat mengatakan orang Kristen terbaik yang meninggalkan gereja ini. Dia adalah seorang lelaki yang kepadanya saya merasakan simpati khusus selama bertahun-tahun saya tinggal dan bekerja di sini,’’ tulis Pendeta Jan Louwerier.

Ketika Louwerier mengenalnya pertama kali di tahun 1868, Lodewijk Palar masih bekerja di Gudang Kopi pemerintah (Gouvernementskoffiepakhuis) di Paslaten (yang tahun 1906 telah dipakai sebagai Sekolah Gubernemen Nomor 1). Atasannya, kepala gudang kopi adalah J.J.Tokaija.

Lodewijk Palar, sangat tradisional, seorang pria yang rapi, menurut Louwerier memiliki sesuatu yang mulia tentangnya, tetapi pada saat yang sama pria yang sangat sederhana. Untuk waktu yang singkat ia membiarkan dirinya tergoda, mungkin atas dorongan anak-anaknya, untuk mengenakan jaket.

‘’Tapi, segera disingkirkan. Dan, kabaya kuno dikenakan lagi. Itu selalu tampak dicuci bersih, dan kaku, diselipkan dengan rapi dalam lipatan. Jauh lebih bagus daripada banyak orang yang sekarang memakai mantel dan menghiasi diri dengan kerah tinggi,’’ tulis Louwerier tahun 1907.

Lodewijk Palar menjadi pelayan gereja sejak masa Pendeta Nicolaas Philip Wilken yang meninggal tahun 1878. Bahkan, sebelum jabatan penatua dan syamas ditunjuk di Tomohon.

Ketika Wilken melantik Majelis Jemaat (kerkeraad) Tomohon tahun 1874 dan Jemaat Kampung (wijkgemeenten) dari Kamasi, Talete, Paslaten, Kolongan dan Matani setahun kemudian, Lodewijk Palar dipilih sebagai syamas dari Kamasi. Jabatan yang dipegang sampai kematiannya.

Saat ada lowongan dalam posisi penatua, anggota jemaat ingin menunjuknya, tetapi ia berterima kasih, bahwa melayani Tuhan lebih baik sebagai diaken daripada sebagai penatua.

‘’Dan, dia telah melayani Tuhan. Dia adalah jiwa dari pertemuan tengah hari di Kamasi. Dengan sangat setia saya melihatnya setiap Minggu sore, ketika saya pergi ke gereja anak-anak, ia melangkah ke sana. Kata-katanya dihargai. Seorang pria yang beriman dan cinta bersaksi dan melalui siapa Tuhan berbicara.’’

Menurut Louwerier, Lodewijk Palar adalah anggota yang sangat baik dalam berbagai pertemuan majelis gereja. Kalau berbicara sangat padu dalam roh Kristus. Jika ada masalah yang harus diselesaikan, jika ada perselisihan keluarga, dan yang berselisih tidak mau mendengarkan nasihat majelis di kampung, maka sepasang majelis dari kampung lain, selain seorang guru, Lodewijk yang selalu dipilih, karena dia adalah orang yang sangat berpengaruh, terkenal dan dihargai di seluruh jemaat.

Lodewijk Palar sepenuhnya percaya diri. Dalam beberapa tahun terakhir ia membeli kopi untuk para pedagang di Manado. Tapi, ia tidak mendapat uang di muka, sehingga di saat-saat ada banyak kopi, ia kebingungan. Lalu, ia selalu meminta bantuan Pendeta Louwerier.

‘’Dan, apa yang tidak akan saya lakukan dengan orang Minahasa, saya lakukan untuknya. Tanpa bukti tertulis, ia kadang-kadang menerima 200 gulden, dan segera setelah ia menjual kopinya di Manado, uang itu kembali ke tangan saya.’’

KELUARGA TELADAN
Louwerier memujinya sebagai pria keluarga, sehingga keluarganya adalah teladan bagi orang lain. Semua anak-anaknya menerima pendidikan yang baik, serta dituntun kepada Tuhan sejak kecil. Semua anak-anaknya tergantung pada orang tua, menghormati dan menunjukkan cintanya.

Tapi, duri kehidupan juga tinggal bersamanya. Belum lama Louwerier tinggal di Tomohon, ketika Sara, seorang gadis di puncak kehidupan, diambil darinya. Lodewijk dan istrinya Ketsia sangat terpukul, namun, dengan penghiburan dan nasihat Louwerier, keduanya menjadi sangat tabah.

Kemudian, kehilangan sangat berat terjadi ketika putra bungsuanya Jusa(k) meninggal setelah lama menderita di Manado tanggal 25 Mei 1906 dalam usia 31 tahun. Anaknya itu meninggalkan seorang janda dengan tiga anak, sambil menunggu anak keempat.

Menurut Louwerier, Jusa adalah di antara beberapa orang Minahasa yang unggul. Dia sangat berbakat, bekerja sebagai guru bantu di Burgerschool (Sekolah Rakyat) Manado. Jusa menggambar dengan baik, memainkan biola dengan baik, berbicara bahasa Belanda dengan sangat baik.

Bakat dan permainannya yang bagus dilihat banyak orang. Peta Minahasa dan Keresidenan Manado, dibuat olehnya. Ia pun dipanggil untuk bermain di perusahaan orang Eropa di Manado dan melakukan pertunjukan di masyarakat.

Louwerier telah mengenal dan terbiasa dengannya ketika masih anak kecil, sehingga ketika ia melakukan kesalahan, Louwerier menjadi tumpuan pengakuan dosanya.

Setelah menderita sakit yang lama, Jusa meninggal dan dikuburkan di Manado.

Ketika Louwerier mengunjungi keluarga Lodewijk setelah kembali ke Tomohon, Jemima, anak perempuan tertua menangis karena Jusa adalah kesayangan dan kesombongan semua.

Louwerier berhasil menghibur Lodewijk dan istrinya Ketsia yang menjadi tabah.

Namun, menurut Louwerier, Lodewijk hancur oleh kehilangan Jusa. Ia masih bekerja dengan semangat dan kesetiaan yang sama baik dalam kerja harian atau di jemaat. Tetapi ia berjalan lebih membungkuk. Ia pun masih menghadiri kelas-kelas gereja dan kegiatan malam dengan setia, datang ke rumah Louwerier dan setelah waktu gereja berbicara dengan riang.

‘’Tetapi, menjadi jelas bahwa Lodewijk telah dihancurkan,’’katanya.

Lodewijk akhirnya terbaring di ranjang. Demam menghancurkan kekuatannya. Anak-anaknya melakukan segalanya dengan kekuatan mereka. Ia tidak kekurangan apa pun.

Louwerier pun secara teratur mengunjunginya tiga kali sehari selama beberapa minggu. Mereka berdoa bersama berkali-kali. Tapi, kekuatannya berkurang. Pada pagi hari kematiannya, Louwerier berlutut bersama istri dan anak-anaknya sebelum kematian itu untuk mempersembahkan jiwanya kepada Tuhan, untuk meminta pertempuran terakhir tidak terlalu sulit.

Lodewijk nyaris tidak berbicara, tapi jabat tangannya adalah ucapan terima kasih. Ketika pelajaran pagi berakhir, Louwerier menjenguknya sebentar. Dia sekarat. Setengah jam kemudian cucunya datang kepada Louwerier sambil menangis. Kata cucunya,’’Kakek tertidur.’’

Itu tanggal 24 September 1906.

Keesokannya, Lodewijk dimakamkan (di Kamasi). Seluruh Kampung, dapat dikatakan setengah Tomohon berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir kepadanya. Louwerier memimpin langsung ibadah penguburannya. Pelayat yang tinggal di luar Tomohon yang mengenal Lodewijk berkata kepadanya ‘’Betapa ruginya Anda dan gereja.’’

Louwerier menerima surat ucapan terima kasih yang dalam dari Gerrit, satu-satunya putra Lodewijk yang tersisa. Gerrit Johannis (ayah Babe Palar) adalah kepala sekolah pemerintah (Gouvernementschool) di Rurukan. 

Beberapa hari kemudian, Ketsia jandanya dengan putri sulungnya Jemima datang untuk mengucapkan terima kasih atas semua cinta dan perhatiannya dan mendermakan satu rijksdaalder sebagai pengorbanan syukur untuk kegiatan penginjilan. ***

-----


·                         Foto dari Delpher Kranten.


Sabtu, 17 Agustus 2019

Kisah Kalelekinupit









Pendeta Nicolaas Philip Wilken telah menyusun silsilah para penguasa bekas Distrik Sarongsong dan Tomohon di tahun 1850-an yang dikutip Nicolaas Graafland dalam buku terkenalnya De Minahasa. Kalele yang kelak terkenal dengan nama Kalelekinupit, adalah putra tonaas Karwur dari istri bernama Pasiowan. Ia mengawini wanita bernama Aper atau Aperkalensun, dan berputra Sampow yang kelak akan menurunkan keluarga Lontoh, Mandagi dan Waworuntu.

Di Tulau, bekas negeri tua Distrik Sarongsong, terdapat situs-situs yang dikaitkan dengan legenda Teterusan (panglima perang) ini. Ada lokasi Kinupitan, batu besar yang dikisahkan menjadi tempat ia terjepit dan tewas. Kemudian situs Lesar atau Lezaz, dimana dilakukan tarian Kumoyak serta Watu Penginaleian berupa dua batu tegak, tempat para Walian (pendeta alifuru) melaksanakan berbagai upacara foso negeri seperti Mauri.

Tulau masih meninggalkan sisa-sisanya. Tapi, letak negeri Kinupit yang ada dalam kisah ini, sekarang sulit dilacak. Versi kisah tua Tomohon, Kinupit adalah satu negeri yang pernah berdiri di masa silam sebagai kampung awal Tomohon bersama Limondok, Kamasi, Toumaajah, Rangihir, Tounbuntu dan Lingkongkong. Letaknya banyak disebut berada di bagian dari Kelurahan Paslaten sekarang.

                     BACA: Silsilah Tombulu (2).

Versi lain, letak negeri Kinupit dalam kisah ini berbeda, dan berada di bekas negeri tua Sarongsong, di lokasi berdekatan Tulau pula. Pendeta Wilken sendiri dalam pengantar kisahnya di tahun 1863 menyebut tempat bekas negeri Kinupit ini adalah diapit oleh dua sungai yang mengalir di satu sisi kolam tertutup.

Berbeda dengan versi pusaka negeri bernama Kelana Mahuang, dalam legenda Wilken benda sakti ini adalah kayu Kapoya.

Cerita di bawah ini adalah terjemahan tulisan Pendeta Wilken dalam Bijdragen tot de kennis van de zeden gewoonten der Alfoeren in de Minahassa yang terbit di Mededeelingen NZG tahun 1863. Yang lebih asli (meski tidak mengurangi inti cerita) adalah versi bahasa Tombulu dari Pendeta Wilken yang terbit tahun 1866 di bawah redaksi Dr.G.K.Niemann dalam Bijdragen tot de kennis der Alfoersche taal in de Minahasa.


LEGENDA KINUPIT
Di jaman dulu penduduk Tulau terus-menerus berperang dengan orang Kinupit, negeri di dekat Tulau. Namun orang Tulau selalu kalah dan dipukul mundur, karena orang Kinupit memiliki kayu pelindung kapoya. Kapoya ini adalah kayu bilah persegi bertakik penanda berapa banyak kali burung bersiul yang jadi tanda baik-buruk hasil peperangan.
                                     
Kalele, kepala Tulau mencari cara untuk merebut kapoya. Ia meminta perdamaian dan persahabatan dan mengawini Aper, putri Makalenzun kepala Kinupit.

Selama setahun ia hidup dengan tenang dengan istrinya yang memberinya seorang putra. Ia juga mendapat kepercayaan dari ayah mertuanya.

Kalele sekarang berpikir waktunya telah datang untuk menjalankan rencananya. Dia berpura-pura sakit dan dari waktu ke waktu seolah dia semakin sakit.

Suatu hari ia berkata kepada istrinya, ‘’Minta pada ayahmu, kayu kapoya. Kalau itu digantung di atas kepala saya, saya akan sembuh.’’

Sang ayah yang mempercayai menantunya, menyerahkan kapoya itu. Dan benar, setelah berhari-hari, dia benar-benar sembuh.

Sore berikutnya, dia pergi bersama istrinya ke sungai untuk mandi dengan membawa serta kapoya.

Ketika sampai di sungai, dia berkata kepada Aper, ‘’kau mandi dulu.’’

Usai mandi dan berpakaian, Kalele mengambil kapoya tersebut dan berpaling kepada istrinya dan berkata.’’rawatlah anak kita. Aku akan mengambil kapoya ini, dan kembali ke Tulau.’’

Aper berlari pulang dan menceritakan kejadian itu kepada ayahnya.

Makalenzun kaget mendengarnya. Ia bergegas  mengejar menantunya dan berkata dengan marah.

‘’Kalele, kau telah menipu saya dan mencuri kapoya. Sekarang dengar anakku, putar mukamu ketika pergi berperang dengan kapoya. Bukan di sini, tapi, mengarahkannya ke sisi lain gunung. Ke selatan.’’

Hanya berselang beberapa hari setelah pencurian itu, Kalele sudah berperang. Ia tidak pergi ke selatan seperti kata ayah mertuanya. Justru ia memerangi Kinupit, karena ia tidak pernah mengalami kekalahan seperti dideritanya dari Kinupit, hal yang selalu membuatnya sedih.

Sekarang ia ingin membalas sendiri.

Dibantu oleh kapoya, ia memukul musuhnya, bahkan membunuh banyak kerabat dari istrinya, serta memperluas batas-batas wilayahnya.

Menang perang ia kembali ke Tulau, dan memutuskan untuk melakukan upacara Mauri, yakni foso negeri yang sangat penting. Upacara pengorbanan yang jarang dan dibuat khusus hanya untuk merayakan kemenangan perang.

Dalam upacara pengorbanan itu, ia akan dimuliakan sebagai teterusan, pahlawan dan kepala dari para pemberani. Pada hari kumoyak, salah satu rangkaian dari hari pengorbanan, ketika para Waranei (pahlawan dan prajurit perang) akan bernyanyi dan menari dengan pedang dan tombak, pagi-pagi ia telah berpakaian kebesaran perang dengan mantel panjang merah dan satu uwak dari burung tahun sebagai topinya.

Ditunggu-tunggu, sudah jam sembilan, belum ada satu pun yang datang. Ia meniup bambu untuk memanggil kepala dan rakyatnya.

Karena meniup bambu dan hawa matahari yang panas, Kalele merasa gerah. Ia pergi ke sungai Sapa (anak sungai Nimanga), untuk membasuh badan.

Ketika tiba di sungai, ia membungkuk, dan sambil memegang penuh air, ketika kepalanya melewati batu sumbing, balas dendam para dewa mengejutkannya. Entah darimana batu itu berasal, ia telah terjepit sampai mati.

Ketika itu para kepala dan penduduk sudah menunggu kedatangannya. Tidak muncul-muncul, dan lelah menunggu, Sasamperan dan Wewenoan, yakni para kepala perang dikirim untuk menemukannya. Mencari di mana-mana mereka akhirnya menemukannya mati di tepi sungai. Kepalanya tercengkeram di antara batu pecah.

Mereka kembali dan menceritakan peristiwa yang dilihat. Semua orang datang dan mencoba membebaskan kepalanya dari batu. Tetapi, segala upaya mereka sia-sia.

Sekarang seorang Walian maju, lalu menyanyikan doa, ‘’O Empung Lumous, bukalah batu pahlawan ini, dan biarkan jiwa ini kembali berani,’’

Setelah nyanyian diulang tiga kali, batu tersebut melepas kepala Kalele.

Mayatnya dibawa pulang dan ditempatkan di kursi Teterusan. Upacara pengorbanan kemudian dilaksanakan, dan selama acara itu, wajah Kalele berwana merah terang, matanya terbuka, dan kepalanya bergerak seperti sebelumnya ketika ia masih hidup.

Tapi, begitu pengorbanan selesai, tanda-tanda kehidupan itu hilang, dan mereka menguburkannya dalam duka.


Naasarĕm biya si tĕtĕrussan Kalele witi wanua Tulau


Witun tempo puuna mahasekemo se toun Tulau wo se toung Kinupit wo se wanua walina limiklik un Tulau. Taan se toun Tulau reikan makauntung wiya se toung Kinupit,

Pahapaan ung kapoya pahendoan ung koko em biti se Kinupit.

Meimo n-endo wiya muri woan siya makagĕnagĕnang si Kalele: kura ung kalalampanna wo siya makailek ung kapoya pahendoan ung koko un seke.

Niitu woan siya makagĕnang mange mendo kaawu witi wanua itii. Niyana an siya mendo si Aper, okki ni Makalensun, akha im banua witum banua Kinupit.

Woan siya mento toro sanataun, takar sera i nimakailek si okki ĕsa.

Witu muri niitu tumotollo un towo ni Kalele i maheendo ung kapoya, gimau iraraan witu rua napulu wo ĕpat na endo, ya tumahalous uman u rumara.

An siya numuwu wiya si kaawuna, kuanna: ‘’sa toro, sa kou paar, pahaleiĕnla wiya si ama ung kapoya, mangura niitu wo marorakkei u rumaraku. Woan itum pahaleiĕn ni kaawuna wiya si amana, kuanna: ‘’iwehepemei ung kapoya, mangura niitu wo marorak u rumara ni kaawuku.’’

Kumua si amana, kuanna: ‘’leos, pahalin.’’

Reikan katauanna itu irĕmuĕnno ni mahanuangna ung kapoya itii.

Woan itu ikettĕn ni Aper witung katoroan un tendean ni Kalele.

Witu lalĕm u rua naendo woan kumua si Kalele wiya si kaawuna, kuanna: ‘’aku in tarekan wen leosso im mĕndan u rumaraku.’’

Niitu masandomei lolambot lamo lumĕle siya kariya ni kaawuna, maan ung kapoya pahalin.

Ikaayomola witi rano, si kaawuna si puuna lumĕle, taan maremei si Aper, woan siyan sumawĕlla si Kalele; taan siya rei lumĕle, tumĕrutĕrussokan witi kasaru, woan siya lumengemei, kuanna wiya si kaawuna: ‘’aku mawurimo witi wanua Tulau, si okkita wen itulaukumo nikou, taan ung kapoya wen pahalingku.’’

Kaitalinga ni Aper u nuwu itii, tentu ung kasogit siya i mawuri witi wanua, makatau niitu wiya si amana. Kaitalinga ni amana niitu, siyang kumompo, mainde, maupi woan siyang kiitna.

Kairasakna si Kalele, kuanna: ‘’amo kou in okki in timowo wiya niyaku, gimau uman raraan woan rumĕmu ung kapoya: -pahaleiĕngku wiya nikou: tiya ipahasarumei wiya nikami ung kapoya itii, sa kou gumĕnang in sumeke, ipahasaruma timu, witi se meiilongko am bulur.’’

Mingkot si Kalele, kuanna: ‘enne,’’ - woan siya mawuri lumampang mahapaapaar, pahapaan kinaendoannamo ung kapoya, pahendoan ung koko, saw o mahaseke kariya ne kaseke.

Niitu woan siyan tumotollo tumoyon am parungan ni mahaseke, taan siya reikang kumiit um pinahalei ni mahanuangna wiya nisiya; pahapaan siya reikan maliyur witun seke puuna ing kinauntungan uman ne toung Kinupit se toun Tulau.

Niitu si Kalele sumaup mahaseke wo se toung Kinupit, taan pahapaan ung kapoya wiyamo se toun Tulau, niyana sera makauntung wiya se toung Kinupit wo se makaliklik nisera, takar ni Kalele i mahapongkol an ulu wiya se katuari ni kaawuna puuna witi wanua Kinupit.

Niitu sera mahapaapaar woan tumaar sumiwo um posan Mauri.

Niitu siwoĕnnera kariya um paar, wen nimakauntung witi se toung kasekenera.

Taan witun endo ung kakokoyak, toro tumingting un siyow, ya si tĕtĕrussan Kalele kimarai ung karai tonton, rangdang, woan uakkan; woan siya mendo um barongan.

Woan miyahumei witi lĕsar mahasengo um barongan, ipahatawa se tou mei witum posan itii.

Taan tahuremo se tou, woan siya larumiyamus witi rano Sapa.

Niitu ikaayomola witi rano, woan siya mahongkot mahariyamus, kaikompomei witun dei katauanna sawissa amei um batu woang kumupit un uluna, takar siya i nimate witu.

Taan se tou nimarewokko, maento si tĕtĕrussan witi lĕsar ing kumoyak; taan si tĕtĕrussan reikan mondollei.

Ya niitu woan matu si rururuan ĕsa se tua waranei sasamperan wo se waranei wewenoan la milek si waranei tĕtĕrussan witi rano.

Kaiilekna un uluna kinupitto um batu un ulu, woan siya mawurimei.

Kumua se tou, kuanna: ‘’Kinupit um batu si tĕtĕrussan, ya niitu nimatemo.’’

Niyana se peleng se tou mange maendo si waranei tĕtĕrussan witum batu kimupit nisiya; taan reikan maendo um batu itii.

Ya niitu masusamo mĕliwaliwag: ‘’Saapa un toro leossĕnnera, wo siya toro ikaondol witum batu kimupit nisiya?’’

Kumua si walian ĕsa: ‘’niyaku si rumani u raraniĕn tanu um panginaleian, mangura niitu si waranei tĕtĕrussan wo toro ikaondol witum batu.’’

Kumua se laker: ‘’leos, sa tentu,’’ - woan siyan dumani, kuanna: ‘’tumewan petumewan pinahĕmpung ni ĕmpung waranei limiyei si lumous em meiisukannu man ne e ranei wuaya.’’

Tentu un dinani makatĕlu wurin un dani itii; ilekkĕnnera um batu kimupit si tĕtĕrussan mawukamei witun ulu ni waranei tĕtĕrussan.

An siyan iwali witi wale woan irumĕr witu rumerran; taan ung giyona rangdangkan tanu u mĕndondo, wo am bĕrĕnna mĕmĕrĕmĕrĕnkan, wo un uluna mĕgegegergerkan, tanu se tou tumoutou, takar i maapu um posan Mauri itii.

Ya maapula um posan itii tare rumirimei ung giyo, wo reimo mĕmĕrĕmĕrĕn wo reimo mahagerger un uluna, woan siyan tare ilĕwĕng. ***



·         Sketsa Kabasaran dari buku Die Ostasiatische Inselwelt dari Dr.G.Friedmann 1868.