Pendeta Nicolaas Philip Wilken telah menyusun
silsilah para penguasa bekas Distrik Sarongsong dan Tomohon di tahun 1850-an yang
dikutip Nicolaas Graafland dalam buku terkenalnya De Minahasa. Kalele yang
kelak terkenal dengan nama Kalelekinupit, adalah putra tonaas Karwur dari istri
bernama Pasiowan. Ia mengawini wanita bernama Aper atau Aperkalensun, dan
berputra Sampow yang kelak akan menurunkan keluarga Lontoh, Mandagi dan Waworuntu.
Di Tulau, bekas negeri tua Distrik Sarongsong,
terdapat situs-situs yang dikaitkan dengan legenda Teterusan (panglima perang) ini. Ada lokasi Kinupitan, batu besar
yang dikisahkan menjadi tempat ia terjepit dan tewas. Kemudian situs Lesar atau Lezaz, dimana dilakukan tarian Kumoyak
serta Watu Penginaleian berupa dua batu
tegak, tempat para Walian (pendeta
alifuru) melaksanakan berbagai upacara foso
negeri seperti Mauri.
Tulau masih meninggalkan sisa-sisanya. Tapi, letak
negeri Kinupit yang ada dalam kisah ini, sekarang sulit dilacak. Versi kisah tua Tomohon, Kinupit adalah satu
negeri yang pernah berdiri di masa silam sebagai kampung awal Tomohon bersama Limondok,
Kamasi, Toumaajah, Rangihir, Tounbuntu dan Lingkongkong. Letaknya banyak
disebut berada di bagian dari Kelurahan Paslaten sekarang.
BACA: Silsilah Tombulu (2).
Versi lain, letak negeri Kinupit dalam kisah
ini berbeda, dan berada di bekas negeri tua Sarongsong, di lokasi berdekatan Tulau pula.
Pendeta Wilken sendiri dalam pengantar kisahnya di tahun 1863 menyebut tempat
bekas negeri Kinupit ini adalah diapit oleh dua sungai yang mengalir di satu sisi
kolam tertutup.
Berbeda dengan versi pusaka negeri bernama Kelana Mahuang, dalam legenda Wilken
benda sakti ini adalah kayu Kapoya.
Cerita di bawah ini adalah
terjemahan tulisan Pendeta Wilken dalam Bijdragen
tot de kennis van de zeden gewoonten der Alfoeren in de Minahassa yang
terbit di Mededeelingen NZG tahun 1863. Yang lebih asli (meski tidak mengurangi
inti cerita) adalah versi bahasa Tombulu dari Pendeta Wilken yang
terbit tahun 1866 di bawah redaksi Dr.G.K.Niemann dalam Bijdragen tot de kennis der Alfoersche taal in de Minahasa.
LEGENDA KINUPIT
Di jaman dulu
penduduk Tulau terus-menerus berperang dengan orang Kinupit, negeri di dekat
Tulau. Namun orang Tulau selalu kalah dan dipukul mundur, karena orang Kinupit
memiliki kayu pelindung kapoya. Kapoya ini adalah kayu bilah persegi bertakik penanda
berapa banyak kali burung bersiul yang jadi tanda baik-buruk hasil peperangan.
Kalele, kepala Tulau
mencari cara untuk merebut kapoya. Ia meminta perdamaian dan persahabatan dan
mengawini Aper, putri Makalenzun kepala Kinupit.
Selama setahun ia
hidup dengan tenang dengan istrinya yang memberinya seorang putra. Ia juga
mendapat kepercayaan dari ayah mertuanya.
Kalele sekarang
berpikir waktunya telah datang untuk menjalankan rencananya. Dia berpura-pura
sakit dan dari waktu ke waktu seolah dia semakin sakit.
Suatu hari ia berkata
kepada istrinya, ‘’Minta pada ayahmu, kayu kapoya. Kalau itu digantung di atas
kepala saya, saya akan sembuh.’’
Sang ayah yang
mempercayai menantunya, menyerahkan kapoya itu. Dan benar, setelah
berhari-hari, dia benar-benar sembuh.
Sore berikutnya, dia
pergi bersama istrinya ke sungai untuk mandi dengan membawa serta kapoya.
Ketika sampai di
sungai, dia berkata kepada Aper, ‘’kau mandi dulu.’’
Usai mandi dan
berpakaian, Kalele mengambil kapoya tersebut dan berpaling kepada istrinya dan
berkata.’’rawatlah anak kita. Aku akan mengambil kapoya ini, dan kembali ke
Tulau.’’
Aper berlari pulang
dan menceritakan kejadian itu kepada ayahnya.
Makalenzun kaget
mendengarnya. Ia bergegas mengejar
menantunya dan berkata dengan marah.
‘’Kalele, kau telah
menipu saya dan mencuri kapoya. Sekarang dengar anakku, putar mukamu ketika
pergi berperang dengan kapoya. Bukan di sini, tapi, mengarahkannya ke sisi lain
gunung. Ke selatan.’’
Hanya berselang
beberapa hari setelah pencurian itu, Kalele sudah berperang. Ia tidak pergi ke
selatan seperti kata ayah mertuanya. Justru ia memerangi Kinupit, karena ia
tidak pernah mengalami kekalahan seperti dideritanya dari Kinupit, hal yang
selalu membuatnya sedih.
Sekarang ia ingin
membalas sendiri.
Dibantu oleh kapoya,
ia memukul musuhnya, bahkan membunuh banyak kerabat dari istrinya, serta
memperluas batas-batas wilayahnya.
Menang perang ia
kembali ke Tulau, dan memutuskan untuk melakukan upacara Mauri, yakni foso
negeri yang sangat penting. Upacara pengorbanan yang jarang dan dibuat khusus hanya
untuk merayakan kemenangan perang.
Dalam upacara
pengorbanan itu, ia akan dimuliakan sebagai teterusan, pahlawan dan kepala dari
para pemberani. Pada hari kumoyak,
salah satu rangkaian dari hari pengorbanan, ketika para Waranei (pahlawan dan prajurit
perang) akan bernyanyi dan menari dengan pedang dan tombak, pagi-pagi ia telah
berpakaian kebesaran perang dengan mantel panjang merah dan satu uwak dari burung tahun sebagai topinya.
Ditunggu-tunggu, sudah
jam sembilan, belum ada satu pun yang datang. Ia meniup bambu untuk memanggil
kepala dan rakyatnya.
Karena meniup bambu dan
hawa matahari yang panas, Kalele merasa gerah. Ia pergi ke sungai Sapa (anak
sungai Nimanga), untuk membasuh badan.
Ketika tiba di
sungai, ia membungkuk, dan sambil memegang penuh air, ketika kepalanya melewati
batu sumbing, balas dendam para dewa mengejutkannya. Entah darimana batu itu
berasal, ia telah terjepit sampai mati.
Ketika itu para
kepala dan penduduk sudah menunggu kedatangannya. Tidak muncul-muncul, dan
lelah menunggu, Sasamperan dan Wewenoan, yakni para kepala perang
dikirim untuk menemukannya. Mencari di mana-mana mereka akhirnya menemukannya
mati di tepi sungai. Kepalanya tercengkeram di antara batu pecah.
Mereka kembali dan
menceritakan peristiwa yang dilihat. Semua orang datang dan mencoba membebaskan
kepalanya dari batu. Tetapi, segala upaya mereka sia-sia.
Sekarang seorang Walian
maju, lalu menyanyikan doa, ‘’O Empung
Lumous, bukalah batu pahlawan ini, dan biarkan jiwa ini kembali berani,’’
Setelah nyanyian
diulang tiga kali, batu tersebut melepas kepala Kalele.
Mayatnya dibawa
pulang dan ditempatkan di kursi Teterusan. Upacara pengorbanan kemudian
dilaksanakan, dan selama acara itu, wajah Kalele berwana merah terang, matanya
terbuka, dan kepalanya bergerak seperti sebelumnya ketika ia masih hidup.
Tapi, begitu
pengorbanan selesai, tanda-tanda kehidupan itu hilang, dan mereka menguburkannya
dalam duka.
Naasarĕm
biya si tĕtĕrussan Kalele witi wanua Tulau
Witun tempo puuna
mahasekemo se toun Tulau wo se toung Kinupit wo se wanua walina limiklik un
Tulau. Taan se toun Tulau reikan makauntung wiya se toung Kinupit,
Pahapaan ung kapoya
pahendoan ung koko em biti se Kinupit.
Meimo n-endo wiya
muri woan siya makagĕnagĕnang si Kalele: kura ung kalalampanna wo siya makailek
ung kapoya pahendoan ung koko un seke.
Niitu woan siya makagĕnang
mange mendo kaawu witi wanua itii. Niyana an siya mendo si Aper, okki ni
Makalensun, akha im banua witum banua Kinupit.
Woan siya mento toro
sanataun, takar sera i nimakailek si okki ĕsa.
Witu muri niitu
tumotollo un towo ni Kalele i maheendo ung kapoya, gimau iraraan witu rua
napulu wo ĕpat na endo, ya tumahalous uman u rumara.
An siya numuwu wiya
si kaawuna, kuanna: ‘’sa toro, sa kou paar, pahaleiĕnla wiya si ama ung kapoya,
mangura niitu wo marorakkei u rumaraku. Woan itum pahaleiĕn ni kaawuna wiya si
amana, kuanna: ‘’iwehepemei ung kapoya, mangura niitu wo marorak u rumara ni
kaawuku.’’
Kumua si amana,
kuanna: ‘’leos, pahalin.’’
Reikan katauanna itu
irĕmuĕnno ni mahanuangna ung kapoya itii.
Woan itu ikettĕn ni
Aper witung katoroan un tendean ni Kalele.
Witu lalĕm u rua
naendo woan kumua si Kalele wiya si kaawuna, kuanna: ‘’aku in tarekan wen
leosso im mĕndan u rumaraku.’’
Niitu masandomei
lolambot lamo lumĕle siya kariya ni kaawuna, maan ung kapoya pahalin.
Ikaayomola witi rano,
si kaawuna si puuna lumĕle, taan maremei si Aper, woan siyan sumawĕlla si
Kalele; taan siya rei lumĕle, tumĕrutĕrussokan witi kasaru, woan siya lumengemei,
kuanna wiya si kaawuna: ‘’aku mawurimo witi wanua Tulau, si okkita wen
itulaukumo nikou, taan ung kapoya wen pahalingku.’’
Kaitalinga ni Aper u
nuwu itii, tentu ung kasogit siya i mawuri witi wanua, makatau niitu wiya si
amana. Kaitalinga ni amana niitu, siyang kumompo, mainde, maupi woan siyang
kiitna.
Kairasakna si Kalele,
kuanna: ‘’amo kou in okki in timowo wiya niyaku, gimau uman raraan woan rumĕmu
ung kapoya: -pahaleiĕngku wiya nikou: tiya ipahasarumei wiya nikami ung kapoya
itii, sa kou gumĕnang in sumeke, ipahasaruma timu, witi se meiilongko am bulur.’’
Mingkot si Kalele,
kuanna: ‘enne,’’ - woan siya mawuri lumampang mahapaapaar, pahapaan
kinaendoannamo ung kapoya, pahendoan ung koko, saw o mahaseke kariya ne kaseke.
Niitu woan siyan
tumotollo tumoyon am parungan ni mahaseke, taan siya reikang kumiit um
pinahalei ni mahanuangna wiya nisiya; pahapaan siya reikan maliyur witun seke
puuna ing kinauntungan uman ne toung Kinupit se toun Tulau.
Niitu si Kalele
sumaup mahaseke wo se toung Kinupit, taan pahapaan ung kapoya wiyamo se toun
Tulau, niyana sera makauntung wiya se toung Kinupit wo se makaliklik nisera,
takar ni Kalele i mahapongkol an ulu wiya se katuari ni kaawuna puuna witi
wanua Kinupit.
Niitu sera
mahapaapaar woan tumaar sumiwo um posan Mauri.
Niitu siwoĕnnera
kariya um paar, wen nimakauntung witi se toung kasekenera.
Taan witun endo ung
kakokoyak, toro tumingting un siyow, ya si tĕtĕrussan Kalele kimarai ung karai
tonton, rangdang, woan uakkan; woan siya mendo um barongan.
Woan miyahumei witi lĕsar
mahasengo um barongan, ipahatawa se tou mei witum posan itii.
Taan tahuremo se tou,
woan siya larumiyamus witi rano Sapa.
Niitu ikaayomola witi
rano, woan siya mahongkot mahariyamus, kaikompomei witun dei katauanna sawissa
amei um batu woang kumupit un uluna, takar siya i nimate witu.
Taan se tou nimarewokko,
maento si tĕtĕrussan witi lĕsar ing kumoyak; taan si tĕtĕrussan reikan
mondollei.
Ya niitu woan matu si
rururuan ĕsa se tua waranei sasamperan wo se waranei wewenoan la milek si
waranei tĕtĕrussan witi rano.
Kaiilekna un uluna
kinupitto um batu un ulu, woan siya mawurimei.
Kumua se tou, kuanna:
‘’Kinupit um batu si tĕtĕrussan, ya niitu nimatemo.’’
Niyana se peleng se
tou mange maendo si waranei tĕtĕrussan witum batu kimupit nisiya; taan reikan
maendo um batu itii.
Ya niitu masusamo mĕliwaliwag:
‘’Saapa un toro leossĕnnera, wo siya toro ikaondol witum batu kimupit nisiya?’’
Kumua si walian ĕsa: ‘’niyaku
si rumani u raraniĕn tanu um panginaleian, mangura niitu si waranei tĕtĕrussan
wo toro ikaondol witum batu.’’
Kumua se laker: ‘’leos,
sa tentu,’’ - woan siyan dumani, kuanna: ‘’tumewan petumewan pinahĕmpung ni ĕmpung
waranei limiyei si lumous em meiisukannu man ne e ranei wuaya.’’
Tentu un dinani makatĕlu
wurin un dani itii; ilekkĕnnera um batu kimupit si tĕtĕrussan mawukamei witun
ulu ni waranei tĕtĕrussan.
An siyan iwali witi
wale woan irumĕr witu rumerran; taan ung giyona rangdangkan tanu u mĕndondo, wo
am bĕrĕnna mĕmĕrĕmĕrĕnkan, wo un uluna mĕgegegergerkan, tanu se tou tumoutou, takar
i maapu um posan Mauri itii.
Ya maapula um posan
itii tare rumirimei ung giyo, wo reimo mĕmĕrĕmĕrĕn wo reimo mahagerger un
uluna, woan siyan tare ilĕwĕng. ***
·
Sketsa
Kabasaran dari buku Die Ostasiatische Inselwelt dari Dr.G.Friedmann 1868.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.