Sabtu, 17 Agustus 2019

Kisah Kalelekinupit









Pendeta Nicolaas Philip Wilken telah menyusun silsilah para penguasa bekas Distrik Sarongsong dan Tomohon di tahun 1850-an yang dikutip Nicolaas Graafland dalam buku terkenalnya De Minahasa. Kalele yang kelak terkenal dengan nama Kalelekinupit, adalah putra tonaas Karwur dari istri bernama Pasiowan. Ia mengawini wanita bernama Aper atau Aperkalensun, dan berputra Sampow yang kelak akan menurunkan keluarga Lontoh, Mandagi dan Waworuntu.

Di Tulau, bekas negeri tua Distrik Sarongsong, terdapat situs-situs yang dikaitkan dengan legenda Teterusan (panglima perang) ini. Ada lokasi Kinupitan, batu besar yang dikisahkan menjadi tempat ia terjepit dan tewas. Kemudian situs Lesar atau Lezaz, dimana dilakukan tarian Kumoyak serta Watu Penginaleian berupa dua batu tegak, tempat para Walian (pendeta alifuru) melaksanakan berbagai upacara foso negeri seperti Mauri.

Tulau masih meninggalkan sisa-sisanya. Tapi, letak negeri Kinupit yang ada dalam kisah ini, sekarang sulit dilacak. Versi kisah tua Tomohon, Kinupit adalah satu negeri yang pernah berdiri di masa silam sebagai kampung awal Tomohon bersama Limondok, Kamasi, Toumaajah, Rangihir, Tounbuntu dan Lingkongkong. Letaknya banyak disebut berada di bagian dari Kelurahan Paslaten sekarang.

                     BACA: Silsilah Tombulu (2).

Versi lain, letak negeri Kinupit dalam kisah ini berbeda, dan berada di bekas negeri tua Sarongsong, di lokasi berdekatan Tulau pula. Pendeta Wilken sendiri dalam pengantar kisahnya di tahun 1863 menyebut tempat bekas negeri Kinupit ini adalah diapit oleh dua sungai yang mengalir di satu sisi kolam tertutup.

Berbeda dengan versi pusaka negeri bernama Kelana Mahuang, dalam legenda Wilken benda sakti ini adalah kayu Kapoya.

Cerita di bawah ini adalah terjemahan tulisan Pendeta Wilken dalam Bijdragen tot de kennis van de zeden gewoonten der Alfoeren in de Minahassa yang terbit di Mededeelingen NZG tahun 1863. Yang lebih asli (meski tidak mengurangi inti cerita) adalah versi bahasa Tombulu dari Pendeta Wilken yang terbit tahun 1866 di bawah redaksi Dr.G.K.Niemann dalam Bijdragen tot de kennis der Alfoersche taal in de Minahasa.


LEGENDA KINUPIT
Di jaman dulu penduduk Tulau terus-menerus berperang dengan orang Kinupit, negeri di dekat Tulau. Namun orang Tulau selalu kalah dan dipukul mundur, karena orang Kinupit memiliki kayu pelindung kapoya. Kapoya ini adalah kayu bilah persegi bertakik penanda berapa banyak kali burung bersiul yang jadi tanda baik-buruk hasil peperangan.
                                     
Kalele, kepala Tulau mencari cara untuk merebut kapoya. Ia meminta perdamaian dan persahabatan dan mengawini Aper, putri Makalenzun kepala Kinupit.

Selama setahun ia hidup dengan tenang dengan istrinya yang memberinya seorang putra. Ia juga mendapat kepercayaan dari ayah mertuanya.

Kalele sekarang berpikir waktunya telah datang untuk menjalankan rencananya. Dia berpura-pura sakit dan dari waktu ke waktu seolah dia semakin sakit.

Suatu hari ia berkata kepada istrinya, ‘’Minta pada ayahmu, kayu kapoya. Kalau itu digantung di atas kepala saya, saya akan sembuh.’’

Sang ayah yang mempercayai menantunya, menyerahkan kapoya itu. Dan benar, setelah berhari-hari, dia benar-benar sembuh.

Sore berikutnya, dia pergi bersama istrinya ke sungai untuk mandi dengan membawa serta kapoya.

Ketika sampai di sungai, dia berkata kepada Aper, ‘’kau mandi dulu.’’

Usai mandi dan berpakaian, Kalele mengambil kapoya tersebut dan berpaling kepada istrinya dan berkata.’’rawatlah anak kita. Aku akan mengambil kapoya ini, dan kembali ke Tulau.’’

Aper berlari pulang dan menceritakan kejadian itu kepada ayahnya.

Makalenzun kaget mendengarnya. Ia bergegas  mengejar menantunya dan berkata dengan marah.

‘’Kalele, kau telah menipu saya dan mencuri kapoya. Sekarang dengar anakku, putar mukamu ketika pergi berperang dengan kapoya. Bukan di sini, tapi, mengarahkannya ke sisi lain gunung. Ke selatan.’’

Hanya berselang beberapa hari setelah pencurian itu, Kalele sudah berperang. Ia tidak pergi ke selatan seperti kata ayah mertuanya. Justru ia memerangi Kinupit, karena ia tidak pernah mengalami kekalahan seperti dideritanya dari Kinupit, hal yang selalu membuatnya sedih.

Sekarang ia ingin membalas sendiri.

Dibantu oleh kapoya, ia memukul musuhnya, bahkan membunuh banyak kerabat dari istrinya, serta memperluas batas-batas wilayahnya.

Menang perang ia kembali ke Tulau, dan memutuskan untuk melakukan upacara Mauri, yakni foso negeri yang sangat penting. Upacara pengorbanan yang jarang dan dibuat khusus hanya untuk merayakan kemenangan perang.

Dalam upacara pengorbanan itu, ia akan dimuliakan sebagai teterusan, pahlawan dan kepala dari para pemberani. Pada hari kumoyak, salah satu rangkaian dari hari pengorbanan, ketika para Waranei (pahlawan dan prajurit perang) akan bernyanyi dan menari dengan pedang dan tombak, pagi-pagi ia telah berpakaian kebesaran perang dengan mantel panjang merah dan satu uwak dari burung tahun sebagai topinya.

Ditunggu-tunggu, sudah jam sembilan, belum ada satu pun yang datang. Ia meniup bambu untuk memanggil kepala dan rakyatnya.

Karena meniup bambu dan hawa matahari yang panas, Kalele merasa gerah. Ia pergi ke sungai Sapa (anak sungai Nimanga), untuk membasuh badan.

Ketika tiba di sungai, ia membungkuk, dan sambil memegang penuh air, ketika kepalanya melewati batu sumbing, balas dendam para dewa mengejutkannya. Entah darimana batu itu berasal, ia telah terjepit sampai mati.

Ketika itu para kepala dan penduduk sudah menunggu kedatangannya. Tidak muncul-muncul, dan lelah menunggu, Sasamperan dan Wewenoan, yakni para kepala perang dikirim untuk menemukannya. Mencari di mana-mana mereka akhirnya menemukannya mati di tepi sungai. Kepalanya tercengkeram di antara batu pecah.

Mereka kembali dan menceritakan peristiwa yang dilihat. Semua orang datang dan mencoba membebaskan kepalanya dari batu. Tetapi, segala upaya mereka sia-sia.

Sekarang seorang Walian maju, lalu menyanyikan doa, ‘’O Empung Lumous, bukalah batu pahlawan ini, dan biarkan jiwa ini kembali berani,’’

Setelah nyanyian diulang tiga kali, batu tersebut melepas kepala Kalele.

Mayatnya dibawa pulang dan ditempatkan di kursi Teterusan. Upacara pengorbanan kemudian dilaksanakan, dan selama acara itu, wajah Kalele berwana merah terang, matanya terbuka, dan kepalanya bergerak seperti sebelumnya ketika ia masih hidup.

Tapi, begitu pengorbanan selesai, tanda-tanda kehidupan itu hilang, dan mereka menguburkannya dalam duka.


Naasarĕm biya si tĕtĕrussan Kalele witi wanua Tulau


Witun tempo puuna mahasekemo se toun Tulau wo se toung Kinupit wo se wanua walina limiklik un Tulau. Taan se toun Tulau reikan makauntung wiya se toung Kinupit,

Pahapaan ung kapoya pahendoan ung koko em biti se Kinupit.

Meimo n-endo wiya muri woan siya makagĕnagĕnang si Kalele: kura ung kalalampanna wo siya makailek ung kapoya pahendoan ung koko un seke.

Niitu woan siya makagĕnang mange mendo kaawu witi wanua itii. Niyana an siya mendo si Aper, okki ni Makalensun, akha im banua witum banua Kinupit.

Woan siya mento toro sanataun, takar sera i nimakailek si okki ĕsa.

Witu muri niitu tumotollo un towo ni Kalele i maheendo ung kapoya, gimau iraraan witu rua napulu wo ĕpat na endo, ya tumahalous uman u rumara.

An siya numuwu wiya si kaawuna, kuanna: ‘’sa toro, sa kou paar, pahaleiĕnla wiya si ama ung kapoya, mangura niitu wo marorakkei u rumaraku. Woan itum pahaleiĕn ni kaawuna wiya si amana, kuanna: ‘’iwehepemei ung kapoya, mangura niitu wo marorak u rumara ni kaawuku.’’

Kumua si amana, kuanna: ‘’leos, pahalin.’’

Reikan katauanna itu irĕmuĕnno ni mahanuangna ung kapoya itii.

Woan itu ikettĕn ni Aper witung katoroan un tendean ni Kalele.

Witu lalĕm u rua naendo woan kumua si Kalele wiya si kaawuna, kuanna: ‘’aku in tarekan wen leosso im mĕndan u rumaraku.’’

Niitu masandomei lolambot lamo lumĕle siya kariya ni kaawuna, maan ung kapoya pahalin.

Ikaayomola witi rano, si kaawuna si puuna lumĕle, taan maremei si Aper, woan siyan sumawĕlla si Kalele; taan siya rei lumĕle, tumĕrutĕrussokan witi kasaru, woan siya lumengemei, kuanna wiya si kaawuna: ‘’aku mawurimo witi wanua Tulau, si okkita wen itulaukumo nikou, taan ung kapoya wen pahalingku.’’

Kaitalinga ni Aper u nuwu itii, tentu ung kasogit siya i mawuri witi wanua, makatau niitu wiya si amana. Kaitalinga ni amana niitu, siyang kumompo, mainde, maupi woan siyang kiitna.

Kairasakna si Kalele, kuanna: ‘’amo kou in okki in timowo wiya niyaku, gimau uman raraan woan rumĕmu ung kapoya: -pahaleiĕngku wiya nikou: tiya ipahasarumei wiya nikami ung kapoya itii, sa kou gumĕnang in sumeke, ipahasaruma timu, witi se meiilongko am bulur.’’

Mingkot si Kalele, kuanna: ‘enne,’’ - woan siya mawuri lumampang mahapaapaar, pahapaan kinaendoannamo ung kapoya, pahendoan ung koko, saw o mahaseke kariya ne kaseke.

Niitu woan siyan tumotollo tumoyon am parungan ni mahaseke, taan siya reikang kumiit um pinahalei ni mahanuangna wiya nisiya; pahapaan siya reikan maliyur witun seke puuna ing kinauntungan uman ne toung Kinupit se toun Tulau.

Niitu si Kalele sumaup mahaseke wo se toung Kinupit, taan pahapaan ung kapoya wiyamo se toun Tulau, niyana sera makauntung wiya se toung Kinupit wo se makaliklik nisera, takar ni Kalele i mahapongkol an ulu wiya se katuari ni kaawuna puuna witi wanua Kinupit.

Niitu sera mahapaapaar woan tumaar sumiwo um posan Mauri.

Niitu siwoĕnnera kariya um paar, wen nimakauntung witi se toung kasekenera.

Taan witun endo ung kakokoyak, toro tumingting un siyow, ya si tĕtĕrussan Kalele kimarai ung karai tonton, rangdang, woan uakkan; woan siya mendo um barongan.

Woan miyahumei witi lĕsar mahasengo um barongan, ipahatawa se tou mei witum posan itii.

Taan tahuremo se tou, woan siya larumiyamus witi rano Sapa.

Niitu ikaayomola witi rano, woan siya mahongkot mahariyamus, kaikompomei witun dei katauanna sawissa amei um batu woang kumupit un uluna, takar siya i nimate witu.

Taan se tou nimarewokko, maento si tĕtĕrussan witi lĕsar ing kumoyak; taan si tĕtĕrussan reikan mondollei.

Ya niitu woan matu si rururuan ĕsa se tua waranei sasamperan wo se waranei wewenoan la milek si waranei tĕtĕrussan witi rano.

Kaiilekna un uluna kinupitto um batu un ulu, woan siya mawurimei.

Kumua se tou, kuanna: ‘’Kinupit um batu si tĕtĕrussan, ya niitu nimatemo.’’

Niyana se peleng se tou mange maendo si waranei tĕtĕrussan witum batu kimupit nisiya; taan reikan maendo um batu itii.

Ya niitu masusamo mĕliwaliwag: ‘’Saapa un toro leossĕnnera, wo siya toro ikaondol witum batu kimupit nisiya?’’

Kumua si walian ĕsa: ‘’niyaku si rumani u raraniĕn tanu um panginaleian, mangura niitu si waranei tĕtĕrussan wo toro ikaondol witum batu.’’

Kumua se laker: ‘’leos, sa tentu,’’ - woan siyan dumani, kuanna: ‘’tumewan petumewan pinahĕmpung ni ĕmpung waranei limiyei si lumous em meiisukannu man ne e ranei wuaya.’’

Tentu un dinani makatĕlu wurin un dani itii; ilekkĕnnera um batu kimupit si tĕtĕrussan mawukamei witun ulu ni waranei tĕtĕrussan.

An siyan iwali witi wale woan irumĕr witu rumerran; taan ung giyona rangdangkan tanu u mĕndondo, wo am bĕrĕnna mĕmĕrĕmĕrĕnkan, wo un uluna mĕgegegergerkan, tanu se tou tumoutou, takar i maapu um posan Mauri itii.

Ya maapula um posan itii tare rumirimei ung giyo, wo reimo mĕmĕrĕmĕrĕn wo reimo mahagerger un uluna, woan siyan tare ilĕwĕng. ***



·         Sketsa Kabasaran dari buku Die Ostasiatische Inselwelt dari Dr.G.Friedmann 1868.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.