Dung Nenek Dung
Tetek adalah lagu rakyat Minahasa yang terkenal. Siapa pun orang Minahasa,
tua, muda bahkan anak-anak, mengetahui lagu dengan lirik bahasa Manado dan
campuran aneka dialek Minahasa ini.
Aneka bahasa
Minahasa, sebab orang menyanyikannya dalam logat Tombulu, Tontemboan, Toulour
dan yang seakan membaku bahasa Tonsea. Boleh dibilang membaku Tonsea, karena
rata-rata unjuk dan gelar lagunya, baik di pentas lokal, nasional bahkan
internasional, entah dinyanyikan biduan terkenal atau pun kelompok paduan
suara, adalah versi campuran bahasa Tonsea.
Tapi, dimana-mana
tempat, kalau ditanya siapa penciptanya, tidak ada yang mengetahui persis orang
dan asalnya.
Apa benar demikian?
Saya sendiri telah awal mendengar
kisah terciptanya lagu ini di permulaan tahun 1980-an silam.
Untuk mengecek saya
coba bertanya di mana-mana.
Di dekade 1980 dan
1990-an ketika saya biasa ke sana-ke mari di empat penjuru Tanah Minahasa
(selain gemar mendengar kisah-kisah sejarah tempatan dari para tua-tua,
kebetulan karena pekerjaan ketika itu di media), saya suka-suka menanya pada tua-tua, muasal dan siapa tokoh di balik terciptanya lagu Dung Nenek
Dung Tetek ini.
Kebanyakan jawaban
yang diperoleh, ‘’’orang tua kita.’’ Atau, ‘’orang Tonsea,’’ kalau di Tonsea, ‘’orang
Toulour,’’ kalau di Tondano. Atau ‘’orang Tombulu,’’ kalau di Tomohon dan
Tombariri. Bahkan ‘orang Tontemboan,’’ kalau di Kawangkoan atau Amurang. Dan,
seterus-seterusnya.
Hanya klaim-klaim
tersebut tidak bermuara pada legendanya. Tidak ada kisah dan sejarahnya.
Kembali ke awal tahun
1980-an, ketika saya mencoba menyusun buku sejarah Tomohon, saya mendengar dari
beberapa tua di Woloan (sekarang empat kelurahan di Kecamatan Tomohon Barat)
legendanya.
Ternyata, umur
lagunya masih terbilang muda.
Sayang, tokoh utama kisah di Woloan ini sudah meninggal di
akhir tahun 1950-an. Tapi, saya sempat
bertemu dengan jandanya, dan mendengar cerita lengkap terciptanya lagu tersebut.
Sang Nenek yang
bernama O (saya inisialkan nama tanpa fam, kebetulan juga telah meninggal di awal tahun 2000-an) mengisahkan suaminya yang bernama Tetek
A (sama inisial nama depan) yang menjadi sebab dan pangkal terciptanya lagu
yang belakangan menjadi populer di mana-mana.
Masa itu, tahun 1944,
ketika Jepang telah dua tahunan berkuasa di Minahasa, dan penduduk Woloan telah
banyak mengungsi di kebun-kebun. Tetek A yang telah menduda setelah istri
pertama meninggal (untuk diketahui Nenek O baru kemudian menjadi istri kedua),
jatuh cinta dengan seorang wanita berasal negeri tetangga Pinaras (sekarang
kelurahan di Kecamatan Tomohon Utara) yang letaknya tidak terlalu jauh dari kebun
tempat Tetek A membangun sabuahnya.
Dari
sembunyi-sembunyi, akhirnya hubungan mereka tersiar di mana-mana. Sobat dan
kenalan dekat Tetek A menggodanya dengan pantun aksen Manado yang kelak menjadi
bait lagu tersebut. Orang-orang Woloan memang terkenal mahir, bahkan
sangat lihai mencipta lirik-lirik lagu seperti dalam Mahzani ketika bekerja Mapalus di kebun.
Konon, berbalas
pantun merupakan awal terciptanya lagu tersebut. Lirik kedua merupakan balasan
dari Tetek A. Jawaban Tetek A kepada penggodanya ketika itu adalah supaya
jangan trosol atau jangan mengganggu,
menjadi pelengkapnya.
Maka, dari sekedar baku
sedu berbalas pantun menggoda Tetek A di kebun, akhirnya nyanyian campuran
bahasa Manado dan Tombulu itu meluber hingga ke enteru negeri, ke penjuru
Tomohon. Bahkan kemudian meraksasa hingga penjuru Minahasa.
Bole percaya, bole
tidak. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.