Selasa, 16 Juli 2019

Mengenal Sejarah Rurukan




Rurukan tahun 2006.







Siapa pendiri Rurukan ? Seperti dengan legendanya, ada versi-versi.

Selain kisah tonaas tak dikenal dari Pendeta Jan Bodde di tahun 1883 dan tonaas bernama Makalen (atau menurut Pdt.N.Ph.Wilken, Makalew) tahun 1890, yang disebut pernah mendatangi dan mencetuskan nama sungai serta negerinya, kawasan tersebut sebenarnya sudah dikenal sejak lama.

Di zaman para leluhur, Dotu Rumengan, salah seorang dari kalangan Makatelu Pitu dicatat penulis terkenal Belanda Dr.J.G.F.Riedel, bersama dengan istrinya Katiwiei dan enam anaknya telah datang berdiam di dekat Rurukan. Kemudian juga dengan Porongnimiles, salah seorang dari lima putra Dotu Mandei, dikisah bermukim, dan menurut penulis Jessy Wenas meninggal dan diwarugakan di Rurukan.

Bahkan, pahlawan legendaris Tomohon Tumalun yang hidup dalam masa keemasan perang antarnegeri di Minahasa, disebutkan juga menggunakan Rurukan sebagai temboannya untuk mengintai negeri-negeri lain yang menjadi musuh Tomohon yang ada di bagian timur dan utara Minahasa.

Demikian pula, jejak-jejak perang Minahasa di Tondano (1808-1809) menorehkan lokasi Rurukan. Menjadi salah satu rute jalan rahasia untuk suplai senjata dan obat-obatan dari Balak Tomohon dan Kakaskasen kepada para pejuang di pulau delta Minawanua, kota Tondano masa itu.

Prof.Caspar Georg Carl Reinwardt dalam buku ''Reize naar het Oostelijk gedeelte van Indischen Archipel'' telah menyentil pula kondisi wilayah seputaran Rurukan ketika tanggal 17 Oktober 1821 ia berkunjung dan mendaki Gunung Mahawu (disebutnya Rumengan). Botanis dan pendiri Kebun Raya Bogor ini mencatat Tetemboan yang berada di sebelah selatannya. Tapi, tanpa melihat ada hunian atau pemukiman di dekatnya.

Menurut Reinwardt, kawasan hutan di sekitar Mahawu kehilangan semua kayu besar dan hanya ditutupi tanaman muda atau glagah. Semuanya akibat dari letusan terakhir yang terjadi sekitar 32 tahun silam, dan menurut perkataan orang tua yang masih mengingatnya, sangat hebat.

Berkembang dua versi utama pendirian negeri Rurukan. 

Versi pertama, berkait dengan tokoh Pangkey Posumah (yang juga dikembangkan dengan nama-nama berlainan, seperti Pangkey Rintek, atau bahkan Pangkey Rumimper).


Konon, setelah kejadian dengan budaknya, beberapa waktu kemudian, Pangkey Posumah mengajak sejumlah penduduk Tomohon melintasi Gunung Masarang untuk membuka perkebunan di dekat lokasi bernama Kopi ne Kamasi. Di pinggir sebuah sungai kecil mereka melakukan Rumages, tapi, tidak dikabul. Tanahnya tidak subur, karena ubi bĂȘte merah (wongkai) yang ditanam tidak tumbuh. Tempat tersebut berikut sungainya dinamai Kelong (tidak terkabul atau tidak diizinkan atau Kinelongan).

Tapi, para pemukim kembali mendatanginya sekitar tahun 1830 atau 1840-an. Naturalis Inggris Alfred Russel Wallace dalam bukunya ''Malay Archipelago'' tahun 1869 mencatat gempa bumi dahsyat 1845 telah merobohkan rumah-rumah tinggi yang telah didirikan oleh para pionir Rurukan. Baru setelah kejadian tersebut rumah-rumah dibuat lebih sederhana, sehingga ke-70 rumah yang ada tidak sampai mengalami kerusakan dalam peristiwa gempa bumi berikut tanggal 29 Juni 1859.
          

Dari tuturan tua-tua Rurukan, setelah gempa bumi tanggal 8 Februari 1845, Tonaas Pangkey datang bersama rombongan pengungsi dari Tomohon. Asal Paslaten, Talete, Kolongan, Kamasi dan Matani.   

Tokoh lain dalam rombongannya adalah Tonaas Herman Prang alias Tawuru, Se’pal (disebut juga Sempal) Wowiling, Prokok Moningka, Paat dan keluarga-keluarga Kaunang, Kaligis, Pailah, ditambah beberapa keluarga asal Sarongsong.

Mereka kemudian bersepakat membangun satu negeri. Digelar acara Rumages, dan ketika Pangkey  ma’rages, burung Manguni berbunyi sembilan kali, kebetulan di samping kanan sungai Rurukan. Konon, ini menjadi pertanda permintaan (raragesan) mereka dikabulkan (linelean).

Kepala Distrik Tomohon Majoor Mangangantung (Ngantung Palar) meresmikan pendirian negeri baru dalam distriknya. Menurut tua-tua Rurukan, terjadi dialog antara Mangangantung dengan Pangkey yang masih sepupunya.

’Kura ko intimonaas mbanua weru kenu,’’ Mangangantung bertanya bagaimana proses pendirian negeri baru ini.

‘’Umbanua kenu e mei talinga si kokok manguni makasiow si zimanime witu ruruk ung kakan u sosoan Rurukakan,’’ jelasnya kalau negeri terjadi setelah didengar bunyi burung manguni sembilan kali di samping kanan sungai Rurukan.

Maka, menyahutlah Mangangantung: ‘’O ya, satentu ambanua kenu engaranantamo wanua Rurukan.’’

Demikian, jadilah Rurukan nama negerinya.

Dari tokoh-tokoh awal, Herman Prang dan Se’pal Wowiling dikisahkan menjadi teterusan terkenal yang banyak mengayau musuh, dan melakukan perluasan wilayah Tomohon ke arah timur.

Prokok Moningka membuka perkebunan di sebelah timur, setelah melakukan acara memanggil burung Manguni dengan meniup suling bambu (soring) di lokasi Sosoringin (tempat SD RK sekarang).

Namun, di tempat perkebunan dan hunian baru itu telah terjadi wabah penyakit dan kesulitan air minum. Karena itu mereka meninggalkannya. Tempat tersebut dinamai Kinagogaran (tempat berpisah). 

Prokok Moningka pergi ke utara, mendirikan Rumengkor dan merintis Suluan. Kuburnya sendiri berada di Rumengkor.Sementara Se’pal Wowiling dan Paat kembali ke Rurukan.

Se’pal kemudian menjadi Kepala Jaga. Menurut Jessy Wenas ia bernama Sempal (lebar) karena telapak kakinya lebar hingga sulit mengenakan sepatu. Sebagai Tonaas Mamumuis, ia ditutur yang menyediakan kepala manusia untuk pembangunan dua jembatan pertama di Rurukan (ketika masih beratap). Turunannya keluarga Wowiling hingga tahun 1950-an masih menyimpan tengkorak bekas kayauannya.

Paat dengan nama Makawewek (karena yang pertama memelihara bebek), adalah Walian in uma yang memimpin upacara-upacara adat. Ia kelak menjadi Meweteng.

Versi kedua, adalah Rurukan didirikan Erson Karundeng yang dikisahkan hidup 1738-1848. Karundeng berasal Lemoh Tombariri, datang ke Rurukan tahun 1759. Awalnya di Kelong lalu di Kinagogaran, kemudian di tempat Rurukan sekarang. Kejadiannya direka terjadi tanggal 16 Agustus 1768 setelah diadakan acara Rinegesan (Rumages) dimana seekor babi hutan muncul dan diburu kemudian ditombaki rusuknya di lokasi bernama Kinontaan. Erson menurut versi ini menjadi pemimpin awal sejak 1768 hingga meninggalnya.

Dari namanya, Erson pasti telah beragama Kristen. 

Sementara, pembaptisan pertama di Rurukan serta pendirian Jemaat (sekarang Bukit Sion) baru dilakukan Pendeta Nicolaas Philip Wilken tahun 1854. 

Memang, di tahun 1852 dari total penduduk Rurukan 390 orang, telah terdapat 9 orang Kristen. Tapi, semuanya dibaptis Wilken di Tomohon.

IBUKOTA ONDERDISTRIK

Rurukan berkembang pesat, sehingga di tahun 1848 diresmikan sebagai satu negeri dipimpin seorang Hukum Tua yang dipilih penduduk. Tanggal  30 April 1848 dianggap sebagai tanggal resmi pendiriannya. 

Loho Kaunang berasal keluarga yang datang dari Kolongan terpilih menjadi Hukum Tua Rurukan pertama. Di lokasi dekat rumahnya tahun 1948 dibangun tugu peringatan 100 tahun Rurukan.

Karena letaknya yang paling tinggi di Minahasa, Rurukan sejak awal telah menarik minat banyak orang asing. Tokoh pertama yang mengunjunginya, selain Wilken adalah Pendeta Dr.Steven Adriaan Buddingh di bulan Juni 1854. Kemudian Alfred Russel Wallace yang tinggal 23 Juni-3 Juli 1859.

Salah seorang pengusaha Belanda di Manado Wouter Dirk van Baak, kerabat mantan Residen Yogyakarta Bastiaan van Baak yang juga bekas Asisten Residen Gorontalo memperoleh izin dari pemerintah kolonial pada bulan Februari 1879 untuk menyewa sebidang tanah kosong di Rurukan. Klaim tanah-tanah kosong di Rurukan terjadi setelah penerapan Domeinverklaring yang menegas kalau tanah-tanah tidak digarap menjadi milik negara, mengorbankan banyak lahan pasini penduduk. Hal yang diprotes Hukum Kedua  Rurukan.

Berperan strategis, tahun 1859 Rurukan telah menjadi ibukota Onderdistrik (distrik bawahan, distrik kedua) dipimpin seorang Hukum Kedua (sekarang setingkat Camat).

Posumah, kemudian Petrus Hendrik Wenas, anak tertua Kepala Distrik Tomohon Hukum Besar Lukas Wenas menjabat sebagai Hukum Kedua tahun 1877. Petrus Wenas kelahiran tahun 1839 meninggal dan dikubur di Rurukan tahun 1891.

Hukum Kedua terakhir adalah Daniel Supit tahun 1881 hingga meninggal 9 Desember 1887 dikubur di Passo Kakas.

Tokoh dari kalangan Hukum Tuanya banyak. Antaranya Manopo Wenas (hidup 1865-1935), anak mantan Hukum Kedua Petrus Wenas. Ia tercatat paling lama memerintah, 1888-1930. 

Di rumahnya yang disewa guru Gerrit Lodewijk Palar tanggal 5 Juni 1900 lahirlah Babe Palar yang bernama lengkap Lambertus Nicodemus Palar. Babe Palar kelak terkenal sebagai diplomat ulung dan pahlawan nasional. Mengenang tempat kelahirannya ini tahun 2017 dibuka perpustakaan Babe Palar oleh Gubernur Bank Indonesia ketika itu Agus Martowardojo, masih saudara menantunya.

Selain Babe Palar, Rurukan melahirkan beberapa tokoh terkenal. Inlandsch-leeraar (sebelumnya disebut Penolong Injil) Tiendas, salah satu dari beberapa penolong injil asal Rurukan telah berkarya di Tagulandang. Tanggal 7 Oktober 1924 ia hilang bersama Zendeling Tagulandang W.Grau dalam perjalanan ke Pulau Biaro. 

Putranya Paul Adriaan Tiendas tahun 1944-1946 menjadi Raja Tagulandang.


Tokoh terkenal lain asal Rurukan adalah dr.Gerard Paat MPH,PhD, kelahiran Rurukan 22 Agustus 1936. Kolonel Laut purnawirawan ini adalah seksolog terkemuka Indonesia, pernah menjadi Direktur Kesehatan dan Rehabilitasi Cacat (ketika itu) Dephankam. Kemudian ada Dra.Paulina Ngiangsumarang Tiendas. Istri Drs H.F.Manginsela ini sempat tiga periode jadi anggota DPRD-Gotong Royong Sulut. 

Ada lagi Nini Maramis, tokoh wanita kelahiran Rurukan 27 Agustus 1943, istri dari Ir.Sarwono Kusumaatmadja, mantan Menteri Negara PAN dan Menteri Negara Lingkungan Hidup juga Menteri Kelautan dan Perikanan. Nini adalah putri diplomat Max Maramis, pernah Duta Besar Indonesia di Tunisia dan terakhir Uni Soviet.

Hukum Tua Rurukan terkenal berikut adalah Paul Kaunang tahun 1939-1945. Ia sangat melindungi masyarakatnya dari tindakan tidak terpuji tentara Jepang yang menjadikan Rurukan sebagai salah satu pusat perbekalannya. Ia telah ditangkap dan ditahan di penjara Jepang yang berada di Lewet Tondano. Ketika penjara tersebut dibom pesawat Sekutu awal tahun 1945 sebelum Jepang menyerah, Kaunang tercatat sebagai salah satu korbannya.

Masa pergolakan daerah Permesta, Rurukan dipimpin Hukum Tua Agus Rambing (1960-1965) ketika penduduk banyak mengungsi di Tomohon, Tondano bahkan Manado.

Jan Piet Kalele juga adalah Hukum Tua terkenal. Ia memimpin Rurukan sejak tahun 1965, dan meninggal 14 April 1973 karena selisih paham menyangkut tiang listrik, ketika listrik masuk Rurukan.

Rurukan terus berkembang. Tanggal 21 Februari 1985, masa Kepala Desa Jonnie Wowiling ketika Rurukan berpenduduk hampir 3.000 jiwa dengan 505 kepala keluarga, pemukiman di bagian utara diresmikan sebagai Desa Persiapan bernama Temboan, kemudian desa definitif 23 September 1987. Di tanggal 22 April 2003 nama Temboan berubah menjadi Rurukan Satu sampai sekarang.

Tanggal 4 November 2004 status Rurukan dan Rurukan Satu dari desa menjadi kelurahan.  Lammert Kaparang menjadi Lurah Rurukan pertama dan Joseph Pongoh pejabat di Rurukan Satu. ***



-----

·         Sumber foto: Jootje Umboh.
·         Sumber tulisan: Buku ‘’Riwayatmu Tomohon’’ 1986, buku ‘’Tomohon Kotaku’’ 2006 dan naskah ‘’Tomohon Dulu dan Kini’’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.