Kolam tempat peringatan Graaf Vidua jatuh. |
Graaf Carlo Vidua de Conzano atau Charles
Vidua Comte de Conzano, adalah naturalis besar dunia. Ada penulis terkenal menyamakannya
sebagai Alexander von Humboldt yang kedua. Lelaki yang selalu haus akan pengetahuan
yang tak terungkapkan, dan untuk memenuhi hasratnya itu telah berkelana di
empat benua. Hasratnya itu juga telah membawanya ke tempat yang ketika itu masih
dianggap sebagai pelosok terpencil, Lahendong, di Kota Tomohon sekarang.
Di Lahendong ini, hampir seratus delapan puluh
sembilan tahun silam, ia celaka. Jatuh masuk kolam mendidih yang mengantarnya
ke akhir hidupnya.
Kolam tempat kejadian terletak di tepi sungai
Lahendong (Zanorangdang) yang ada di pinggir Danau Linow, hanya berdiameter sekitar
30 kaki (1 kaki=30 sentimeter).
Namun, itu adalah kolam belerang menggelegak. Sumber mata air mendidih, dengan
asap panas membubung naik. Segala sesuatu di sekitarnya, digambarkan para saksi
mata, seakan tampak seperti sedang memasak.
Derajat panas kolamnya, 140 derajat
Fahrenheit.
Biografi sarjana yang sangat ingin tahu,
berbakat dan memiliki semangat menggelora akan sains ini ditulis oleh penulis
terkenal di atas, Ds.Leonard Johannes van Rhijn, Inspektur dari NZG tahun 1847.
Juga Cesare Balbo, sahabat Graaf Vidua tahun 1843.
Graaf Carlo Vidua de (atau di) Conzano (banyak
penulis Belanda menulis Consana) adalah bangsawan keturunan keluarga tertua dan
terkuat di Piedmont Sardinia. Lahir di Casale de Monstseerat tanggal 28
Februari 1785.
Graaf Vidua memulai petualangan keliling dunia
tahun 1818. Ia melakukan perjalanan dari Italia, Perancis, dan Inggris. Lalu
berbelok ke utara. Ke tempat paling ekstrim Lapland di Finlandia. Dari sana dia pergi ke Rusia. Dari ibukotanya, masih di St.Petersburg, menuju Moskow,
ke stepa dari Kalmuk. Kemudian, ke semenanjung Krimea, dan menuju
Konstantinopel (sekarang Istanbul di Turki), Asia Kecil serta Mesir.
Di Mesir, ia meneliti dan mengumpulkan banyak
koleksi. Museum Mesir yang kaya di kota Turin Italia adalah ciptaannya.
Dari Mesir ia mengunjungi Jerusalem, Palmira
dan semua tempat menakjubkan di Tanah Suci. Kemudian pergi ke Junani.
Tahun 1821 ia kembali melintasi Perancis
selatan ke tanah kelahirannya.
Namun, apa yang telah dihasilkannya tidak
cukup baginya. Ia ingin melihat dan menjelajahi Amerika, sebelum mengikat diri
di tanah airnya.
Tahun 1825 Graaf Vidua melakukan perjalanan
ke Amerika Serikat. Mengumpulkan banyak buku, dan didorong rasa ingin tahu ia
pergi ke Meksiko, dan bersiap pergi ke Peru di Amerika Selatan serta
merencanakan pelayaran melintasi Samudera Selatan yang besar ke Hindia Timur.
Rencananya tertunda ketika mendapat kabar penyakit
ayahnya gawat, sehingga ia bergegas kembali ke Eropa. Tapi, baru saja mendarat
di Bordeaux, ketika diberitahu ayahnya telah pulih.
Segera, Graaf Vidua memutuskan pergi ke
Hindia Timur. Tanggal 17 November 1827 ia tiba di Kalkuta, lalu berlayar di
sungai Gangga ke kaki Himalaya. Perjalanannya berlanjut ke Singapura lalu
Manila.
Bulan Januari 1829 di Kanton Tiongkok, dan 18
Juli 1829 ia melangkahkan kaki di Jakarta (masih Batavia).
Pulau Jawa yang luar biasa serta keramahan orang
Belanda yang dialaminya membuatnya tinggal lebih lama dari yang ia rencanakan.
Dengan rekomendasi Letnan Gubernur Jenderal Hendrik Merkus de Kock, ia
pergi dengan kapal ke Maluku pada 13 Maret 1830, mengambil bagian dalam
ekspedisi ke Papua. Dari Ambon Juli ia berangkat ke Manado dengan kapal perang
sekunar Iris, dan tiba di Kema Minahasa tanggal 5 Agustus.
Di Manado ia menjadi tamu terhormat dari Residen
Mr.Daniel Francois Willem Pietermaat. Graaf Vidua tinggal selama tiga hari,
kemudian pergi ke pedalaman Minahasa tanggal 11. Ia datang ke Tomohon, Tondano, Kakas,
Langowan dan tanggal 15 di Sonder.
Terakhir, tanggal 16 Agustus 1830 dari Sonder Graaf Vidua dengan
berkuda ditemani dokter Keresidenan Manado H.Straus datang ke Lahendong.
NASIHAT WAWORUNTU
Pemandangan alam danau belerang Linow telah
menghipnotisnya. Menurut Prof. G.Lauts, dengan sebuah perahu kecil dari pohon yang dilubangi yang lebih
banyak dinavigasikannya sendiri di danau, ia datang ke medan berbukit yang
dikelilingi kesegaran menghijau. Tetapi, di tengah sumur lumpur belerang yang
mendidih, dengan air di mana-mana melambung setinggi 2 hingga 3 meter, ia
tenggelam di dalamnya. Membakar kaki kanannya hingga ke atas lutut.
P.C.Molhuyzen dan P.J.Blok menggambarkan ia memberanikan diri terlalu
dekat dengan tepi salah satu kawah, tenggelam dan kaki kanannya terbakar di
atas lutut. Ini menjadi awal dari
penderitaan yang mengantarnya ke kematian.
Ds.van Rhijn menyebut tragedi itu karena didorong
oleh rasa ingin tahu, sehingga Graaf Vidua ingin mencobai ke dalamnya. Ia segera tenggelam di dalamnya, dan membakar
dirinya dengan sangat.
Dr.W.R.Baron van Hoevell menambahkan, ia tidak
mengindahkan lagi peringatan mendesak dari pengantarnya Majoor Kepala Distrik
Sarongsong (Waworuntu, kelak tahun 1847 dibaptis Kristen bernama Herman Carl
Wawo-Roentoe).
Graaf Vidua diberi pertolongan pertama oleh dokter
Straus, dan diangkut ke Lahendong.
Residen Pietermaat dalam laporannya mengisahkan
ia menyertai pula Graaf Vidua dalam perjalanan itu. Pada siang hari Graaf Vidua datang
ke danau, dan terlepas dari peringatan dokter Straus dan Kepala Distrik
(Waworuntu), ia melangkah dan tenggelam di lumpur kolam mendidih. Graaf Vidua dibawa Pietermaat ke Manado dan dirawat dokter
Straus sampai akhir bulan.
Graaf Vidua ingin pergi ke Ternate, dan masih
dengan kapal Iris berangkat ke Ternate 30 Agustus.
Di Ternate ia beristirahat 3 bulan di rumah
Residen Johan Alexander Neijs. Kendati kondisinya tidak menguntungkan, ia masih
bekerja keras membuat catatan.
Kemudian ia ingin ke Ambon, seakan merasa
kematiannya akan tiba. Melawan nasihat dokter dan tuan rumahnya, tanggal 12
Desember dengan kapal swasta ia berlayar ke sana.
Catatan terakhirnya dibuat tanggal 24
Desember. Dan, di pagi hari tanggal 25 Desember 1830, tepat hari Natal, dengan
usia hampir 45 tahun, ia meninggal di Teluk Ambon.
Graaf Vidua dikuburkan di Ambon.
Tahun 1832 atas permintaan ayahnya, tulang-tulangnya dibawa ke Turin, dan dimakamkan ulang di kapel kastil keluarganya di St.Moritz.
Tahun 1832 atas permintaan ayahnya, tulang-tulangnya dibawa ke Turin, dan dimakamkan ulang di kapel kastil keluarganya di St.Moritz.
Kelak, lokasi di tepi sungai kolam mata air
mendidih tempat Graaf Vidua jatuh telah dibuat tempat sebagai tanda peringatannya.
Ketika Dr.Wolter Robert Baron van Hoevell berkunjung di tahun 1854 dengan diantar
Hukum Tua Lahendong, di lokasi itu hanya terdapat sebuah sabuah. Ia pergi ke kolam tersebut dan sangat ngeri membayangkan
derita yang dialami Graaf Vidua.
BACA: Mengenal Sejarah Lahendong.
Rasa ngeri Baron van Hoevell semakin jadi setelah
ia melakukan eksperimen dengan mengambil kapur dan bongkahan besar belerang
dari kolam tersebut menggunakan bambu. ‘’Kami tidak bisa mengendalikan panasnya,
dan kami bisa membayangkan apa yang harus dideritanya ketika tenggelam ke dalam
lautan api ini,’’ tulis Baron van Hoevell.
Graaf Vidua membuat buku harian, tapi,
sayangnya telah hilang dengan sebagian besar catatannya. Namun, surat-suratnya
telah dikumpulkan sahabatnya Cesare Balbo dan diterbitkan di Turin, dalam 3
volume tahun 1834. ***
----------
·
Lukisan
pensil Carl Benjamin Hermann von Rosenberg 1863, koleksi Royal Institute of Linguistics and Anthropology di Leiden.
·
Sumber
tulisan: Reis door den Indischen Archipel,
1849 oleh Ds.L.J.van Rhijn. Vie de
Charles Vidua Comte de Conzano, 1843 oleh Cesare Balbo. Tijdschrift voor Nederlandsch Indie,
1856 oleh Dr.W.R.van Hoevell. Nieuw
Nederlandsch Biografisch Woordenboek, deel 5 oleh P.C.Molhuysen dan
P.J.Blok; Geschiedenis der Nederlanders
in Indie, 1866 oleh Prof.G.Lauts serta naskah ‘’Tomohon Dulu dan Kini’’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.