Jumat, 05 Juli 2019

Guru dan Hukum Tua Kayawu



Sekolah Genootschap, sekarang SD GMIM Kayawu.



Di masa kolonial Belanda, semua orang Minahasa mesti bekerja Heerendienst yang bermakna kerja wajib, tapi lebih tepat disebut kerja paksa. Setiap laki-laki berumur delapan belas tahun ke atas harus bekerja tanpa dibayar selama 36 hari dalam setahun. Meski dalam praktek di lapangan ada yang mesti bekerja lebih 90 hari. Mereka harus bekerja di berbagai fasilitas umum (publieke werken), membangun jalan, jembatan dan juga memeliharanya, termasuk pengerjaan saluran irigasi.

Selain tenaga cuma-cuma tanpa batas usia dalam Heerendienst ini, untuk Hukum Tua, mereka harus melakukan pekerjaan negeri yakni pinontol dan sawang yang bervariasi antara 50 sampai 60 hari dalam setahun. Bahkan, di negeri besar dapat mencapai 90 hari. [1]

Masih ada. Tiap rumah tangga wajib membayar pajak (pajak hasil atau hasilbelasting) sebesar satu gulden (rupiah). Tapi, boleh ditukar dengan hasil kebun, seperti beras, kopi dan lain sebagainya.

Dari pengumpulan pajak begini Hukum Tua termasuk Hukum Besar memperoleh insentif.

Tidak ada yang boleh membangkang atau menolak. Yang mendapat pengecualian apabila orang tersebut duduk di pemerintahan atau karena sakit tua atau cacat berat yang kadang harus ditebus atau membayar ganti rugi beberapa pon beras atau beberapa ayam. Sanksi keras bagi yang tidak melaksanakan Heerendienst adalah dibui dan melaksanakan kerja paksa dengan atau tidak dirantai yang terkenal masa itu dengan sebutan pekerjaan hina atau dwangarbeid.

             BACA: Kisah Terbunuhnya Kontrolir Haga (1,2 dan 3).

Demikian kondisi penduduk di Kayawu (sekarang kelurahan di Kecamatan Tomohon Utara) di tahun 1882, masa kepemimpinan Hukum Tua Jesayas Rompis. Ketika itu negerinya masih sebagai bagian dari Distrik Kakaskasen beribukotakan Lotta dengan dipimpin Hukum Besar Paul Frederik Parengkuan.

Kayawu digambarkan cantik dan elok dilihat, sementara penduduknya banyak telah berpendidikan, bahkan terbilang kritis. Padahal, agama Kristen dan pendidikan di Kayawu baru masuk duapuluh satu tahun silam. 

Zendeling Tomohon Pendeta Nicolaas Philip Wilken baru membentuk Jemaat Kayawu (sekarang Pniel) dan sebuah sekolah Genootschap (sekarang SD GMIM) di tahun 1861. Untuk mempercepat penduduk melek huruf dan pintar membaca, Wilken sengaja melatih beberapa pemuda dan pemudi Kayawu untuk menjadi ‘guru’ belajar bagi penduduk lainnya.

INTELEKTUAL AWAL

Awal tahun 1882 itu yang menjadi guru (meester) Sekolah Genootschap Kayawu adalah Jan Turambi yang menggantikan 1879 guru Karel Palar yang pindah ke Tomohon. Otomatis, ia pun memimpin Jemaat Protestan Kayawu di bawah penilikan Pendeta Tomohon Jan Louwerier yang hanya datang di hari dan waktu tertentu, seperti untuk melakukan pembaptisan, perjamuan kudus atau meneguhkan perkawinan penduduk.

Guru Turambi oleh koran masa itu telah digolongkan sebagai seorang intelektual Minahasa. Sangat pintar dan jago menulis. Baru berusia tiga puluhan ia merupakan Kweekeling (guru belajar) dari Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers (Sekolah Guru Pribumi) Tanawangko di bawah pimpinan Zendeling Nicolaas Graafland. [2]

Di Tanawangko ini Graafland telah mendirikan media pertama di Sulawesi Utara bernama Tjahaja Sijang, dimana ia bertindak langsung sebagai editornya selang tahun 1869 hingga 1879. Setelah diangkat menjadi Adjunct Inspektur Pendidikan Wilayah Lima, pekerjaannya dilanjutkan oleh beberapa pendeta, seperti Jan ten Hove, Jan Louwerier, Hessel Rooker, Cornelis Johannes van de Liefde dan Johann Albert Traugott Schwarz.

Terasah oleh Graafland, di media yang ketika itu terbit dua kali sebulan, Turambi menulis di tahun 1882 tulisan terkenalnya ‘’over de Heerendiensten in’t dorp’ (tentang pekerjaan Heerendienst di negeri) yang menimbulkan polemik berkepanjangan. [3]

Masalahnya, karena dalam pekerjaan Heerendienst di Kayawu, sang kepala negeri (Hukum Tua) memaksakan anak-anak sekolah berusia 9 tahun serta para gadis di bawah umur 18 tahun untuk ikut bekerja di jalan. Masa itu, oleh para guru murid diwajibkan harus beristirahat tidur siang setelah pulang sekolah.

Meski aturan kerja rodi keras, tapi menjadi aturan pula tidak ada anak atau gadis kecil yang diizinkan untuk bekerja di jalan. Para Hukum Tua tidak memiliki kekuatan untuk menyuruh apalagi memaksakan pekerjaan demikian selain kepada orang-orang wajib Heerendienst.

Dalam awal beberapa tulisannya di Tjahaja Sijang, dimulai dengan Weg werken in het dorp (bekerja jalan di negeri) bulan Maret 1882, Guru Turambi menggambarkan Kayawu sebagai negeri sangat netjes (rapi). ‘’Jika seseorang berjalan dari Timur ke Barat atau sebaliknya Barat ke Timur akan melihat kerapiannya. Dari rumah-rumahnya, orang dapat melihat penghuninya beragama Kristen atau bukan. Orang pun dapat melihat apakah kepala dapat memerintah atau tidak, atau penduduk patuh dalam kerja Heerendienst atau tidak.’’

Ia menyebut kehidupan keagamaan menjadi umum di setiap rumah. ‘’Jika ada yang melewati negeri kami, dia pasti akan memuji kepala negeri dan penduduk. Tetapi, jika seseorang menyelidiki bagaimana pekerjaan itu terjadi, maka itu tidak akan indah lagi.’’

Menurut Turambi, pada tanggal 8 Februari 1882, atas perintah Hukum Tua, penduduk bekerja rodi memperbaiki jalan yang hanyut. Ruas jalan yang perlu dinaikkan itu sepanjang 24 rantai (alat ukur yang digunakan saat itu).

Tiga penjaga yang memandori Heerendienst membagi penduduk Kayawu sebagai berikut. Untuk orang-orang muda di bawah usia 18 tahun, yakni para gadis muda mesti menyelesaikan lima rantai di sisi timur, lalu anak-anak sekolah berusia 9 tahun mengerjakan empat rantai di sisi barat. Lima belas rantai sisa di bagian tengah menjadi jatah dari penduduk yang memang terkena wajib Heerendienst.

Guru Turambi sebagai saksi mata kejadian tersebut melukiskan kaum pria, anak perempuan dan anak-anak sekolah berjalan membawa keranjang pasir. ‘’Sepanjang hari itu aku banyak mendengar, anak-anak mengeluh mereka lelah. Orang tua mengeluh karena anak perempuan mereka bekerja di jalan. Orang tua lain yang tidak memiliki anak perempuan berkata jika aku punya anak perempuan, ingin melihat siapakah yang akan memaksa bekerja Heerendienst. Juga para gadis mengeluh kelelahan, karena mereka harus mengangkut pasir hampir setengah paal (lebih setengah kilometer) dan jauh,’’ tulisnya.

Kepala Negeri Kayawu J.Rompis dalam surat balasannya tanggal 6 Juni 1882 kepada J.Turambi membantah adanya pemaksaan para gadis muda. Ia tidak merekomendasikan, tapi mereka yang memilihnya sendiri untuk ikut bekerja.

Menurut Hukum Tua Jesayas (demikian nama lengkapnya), kaum pria wajib Heerendienst yang tengah bekerja Mapalus menyiangi sawah menerima pesan untuk membersihkan jalan di negeri. Para gadis yang ikut Mapalus telah bersepakat sendiri untuk membantu kaum pria ikut bekerja agar Heerendienst cepat selesai dan melanjutkan kerja Mapalus mereka.

Sementara pelibatan anak-anak sekolah, katanya, karena diminta para orang tua agar pekerjaannya dilakukan sore hari.

‘’Semua mereka sudah bekerja dengan sukacita, sehingga orang bisa mendengar di sana-sini teriakan Hip, hip, hura!  Sebuah tanda sukacita. Lainnya menyanyikan lagu-lagu: Tiang bendera ada di halamannya kepala negeri. Biarkan bendera berkibar di tiang. Mari kita buat ini dengan baik. Jalan ini milik kita semua.’’ 

Menurutnya, itu menunjukkan bahwa mereka berada dalam komunitas bekerja, satu hati dan satu kalimat.

Ia kemudian menyindir bahwa di Kayawu ada yang kejam dan bohong, guru yang menyukai hal-hal yang tidak betul. Ia menyalahkan, kalau kasusnya benar, kenapa tidak dibicarakan di gereja sebagai seorang pengkotbah injil. ‘’Apakah itu seorang gembala yang damai?’’ tanyanya.

Namun, Guru Turambi dalam balasannya tanggal 31 Juli 1882 justru membeber rinci kasusnya, sehingga karena diketahui umum dan bukan rahasia lagi, tidak perlu dikotbahkannya lagi.

Menurutnya, jalan menuju Kayawu biasa dikerjakan dua kali setahun. Pertama pada bulan Februari yang harus dikerjakan oleh semua penduduk. Kedua bulan Juni hanya oleh wajib Heerendienst.

Pada bulan Februari itu, pekerjaan akan siap dalam sehari, karena yang bekerja berjumlah banyak. Kecil dan besar, tua dan muda hingga anak-anak. Semuanya atas perintah Kepala Negeri, dan tidak dilakukan oleh kehendak bebas mereka. Hukum Tua membagi pekerjaan seperti di atas. Padahal, dalam kasus anak-anak, kepada Hukum Tua, Turambi dan guru bantunya telah memesan bahwa tidur siang bagi anak-anak sekolah perlu dilakukan.

Soal para anak gadis, ia mengungkap mereka bersama para pemuda sebanyak 28 orang dengan dipimpin kepala kecil (kepala jaga) bernama Soleman Manoppo tengah bekerja Mapalus menyiangi padi di sawah. Seminggu sebelumnya Hukum Tua mengirim pesan bahwa mereka harus pergi minggu berikutnya untuk bekerja Heerendienst.

Ketika itu terjadi dialog antara Soleman Manoppo dengan 26 anggota Mapalusnya. ‘’Apa yang kalian suka, mengangkut pasir atau kerja Mapalus?’’ Semua menjawab kerja Mapalus. Masa itu, Kayawu mengalami kekurangan bahan makanan.

Kepala kecil tersebut memutuskan memberi pedatinya serta empat dari kaum pria muda untuk memuat dan membongkar pasir, agar yang lain bisa tetap melanjutkan dengan pekerjaan Mapalus mereka. Hal mana disepakati semua. Mereka juga mengusul diusahakan lebih banyak pedati. Tapi, menurut Soleman perlu ditanya lebih dulu kepada Hukum Tua.

Sore sebelum hari kerja itu, dua anak muda bernama Erasmus dan Hermanus bertemu Hukum Tua. Mendengar rencana pedati demikian, spontan ia menolak. ‘’Orang-orang harus mematuhi saya. Meski pun para wanita juga membawa anak-anak kecil. Mereka harus melakukan itu, karena saya kepala mereka.’’

Pada hari kerja Heerendienst, para pemuda dan gadis muda telah mulai bekerja pukul setengah enam, ketika Hukum Tua melewati mereka. Dia ingin ke Kakaskasen. Ia bertanya apakah mereka semua ada di situ, yang dijawab semua.

Dari pagi hingga jam 12 siang hujan turun berjam-jam. Karena jam makan, mereka semua makan. Guru Turambi datang kepada mereka dan bertanya, siapa yang memerintahkan para gadis membawa pasir. Semua menjawabnya Hukum Tua.

Sedang dia berbicara dengan mereka, Hukum Tua kembali dari Kakaskasen. Tapi, dia langsung pergi ke rumahnya. Lima menit kemudian putra sulungnya bernama Johan mendatangi Kepala Jaga, memanggil Soleman datang menghadap Hukum Tua.

Soleman pergi menemui Hukum Tua. Lima menit kemudian kedua kepala tersebut di hadapan seluruh penduduk bertengkar sengit. Hukum Tua memarahi kepala kecil sambil memukul meja. Ketika kepala kecil pergi menghindar ke timur, Hukum Tua bahkan mengejarnya, terus marah-marah.

TERSEBAR LUAS

Tulisan Jan Turambi bulan Februari 1882 itu serta lanjutannya pada 31 Juli 1882 selain ditanggapi Jesayas Rompis, dikomentari penulis bernama inisial X yang mendukung Turambi. Namun, direspon dengan kontra tanggapan oleh 3 warga Kayawu yang mungkin menjadi tokoh-tokoh masyarakat mendukung kebijakan Hukum Tua. Ketiganya bernama Kountul Ambei, Impal Ambei dan Elfianus Singal, ditambah I.Gigir yang bertindak sebagai penulis.

Berikutnya, kasus Heerendienst di Kayawu meluas, dengan ragam tanggapan dari penulis lain yang juga digolongkan Tjahaja Sijang sebagai kalangan intelektual awal Minahasa. Antaranya A.Muaja, S.Rotti serta dari J.E.J (Johannes Enos Jacob), seorang Kepala Gudang Kopi di Motoling berusia 45 tahun.

Polemik yang berkepanjangan akan pekerjaan Heerendienst Kayawu yang masih berlangsung tahun 1883 ini telah menarik minat harian besar di Surabaya, yakni Soerabaijasch Handelsblad. Koran tersebut menurunkan lengkap --bahkan di halaman utamanya-- tulisan yang telah dimuat Tjahaja Sijang tahun 1882 serta 1883 itu.

Koran di bawah pemimpin redaksi J.A.Uitkens ini menerbitkannya utuh berbahasa Belanda tanggal 29 Januari 1885, 31 Januari 1885, dan 18 Februari 1885. 

Penutup kisah, konflik guru dan Hukum Tua Kayawu ini dimenangkan Hukum Tua. Awal tahun 1883 Guru Turambi ditarik peniliknya Pendeta Tomohon Jan Louwerier. Menurut koran Tjahaja Sijang, kekritisannya mendatangkan banyak musuh bagi dirinya. 

Guru Turambi telah masuk dinas Gubernemen Hindia-Belanda. Ia ditempatkan sebagai guru Sekolah Gouvernement Lahendong (sekarang kelurahan di Kecamatan Tomohon Selatan) menggantikan J.Lantang. 

Baru beberapa tahun kemudian Hukum Tua Jesayas Rompis digantikan oleh Habel Wongkar, bekas guru bantu --lalu guru utama-- di Sekolah Genootschap Kayawu. ***  


-------
·         [1]. Masa Residen Manado Eeltje Jelles Jellesma (berkuasa 29 September 1892-Mei 1903) aturan Heerendienst yang baru diberlakukan tahun 1895. Kerja selama tiga puluh dua hari, untuk setiap pria berumur dua puluh tahun hingga umur lima puluh satu tahun. Sedangkan pajak hasil menjadi dua gulden lima puluh sen.
·         [2]. Tanggal 1 Februari 1886 sekolahnya dipindahkan di Kuranga Tomohon (Talete Dua) dengan Direktur Hendrik Cornelis Kruijt. Kelak menjadi Normaalschool, SGA dan hingga dihapus tahun 1991 dikenal sebagai SPG Kristen Tomohon.
·         [3]. Publikasi asli di Tjahaja Sijang dalam bahasa Melayu. Karena edisinya sulit diperoleh (hanya ada di Museum Pers Solo, serta di perpustakaan Belanda dan ANU di Australia), tulisan lebih banyak bersumber dari publikasi koran berbahasa Belanda Soerabaijasch Handelsblad.


Sumber foto: Jootje Umboh 2007.
Sumber tulisan: Buku ‘’Riwayatmu Tomohon’’ 1986, buku ‘’Tomohon Kotaku’’ 2006, naskah ‘’Tomohon Dulu dan Kini’’ serta Delpher Kranten.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.