Rabu, 19 Juni 2019

Mengenang (Pula) Distrik Sarongsong




Jalan di Tumatangtang.



Sarongsong adalah salah satu dari empat distrik yang telah membentuk Kota Tomohon sekarang. Dibanding distrik-distrik lain, besar bedanya. Bekas Distrik Tomohon terlestari sebagai stad dan identitas Kota sekarang. Bekas Distrik Kakaskasen masih lestari namanya pada empat kelurahan di Kecamatan Tomohon Utara. Sementara bekas Distrik Tombariri di Woloan dan Tara-Tara dan nama kecamatan yang awet di pantai barat Minahasa (Kecamatan Tombariri).

Sarongsong justru hilang. Tidak menyisakan nama resmi, meski masih ada dua negeri bekas ibukota distrik dan tiga negeri lain yang sekarang menjadi kelurahan di Kecamatan Tomohon Selatan serta dua desa di Kecamatan Sonder Minahasa.

Sekarang ini nama Sarongsong tinggal embel-embel tambahan di belakang bekas dua negeri Tumatangtang dan Lansot. Negeri-negeri yang telah mekar menjadi Kelurahan Tumatangtang, Tumatangtang Satu, dan Lansot.

Padahal, di pertengahan abad ke-19, ibukota Distrik Sarongsong pernah mencakup tujuh negeri. Pinangkeian (dari statistik Dr.Pieter Bleeker akhir tahun 1852 berpenduduk 244 jiwa). Koror (146 jiwa). Wuwuk (142 jiwa). Regesan (139 jiwa) dan Kapoya (132 jiwa). Sementara dua negeri tersisa sekarang, yakni Tumatangtang berpenduduk 140 jiwa dan Lansot 136 jiwa.

Karena kecil dan penduduk sedikit, kolonial Belanda lewat Residen Manado dan Kontrolir Tondano menyederhanakan negerinya. Tahun 1874 Nicolaas Graafland menyebut ibukotanya tinggal dibentuk oleh empat negeri. Pinangkeian (berpenduduk 369 jiwa). Tumatangtang (324 jiwa). Koror (324 jiwa), dan Lansot (309 jiwa). Wuwuk, Regesan dan Kapoya telah digabung dengan negeri-negeri di atas.

Kondisi kota Distrik Sarongsong masih dicatat Graafland tahun 1888 berpenduduk 1.321 jiwa. Pinangkeian masih menjadi negeri terbesar dengan 376 jiwa. Menyusul adalah Tumatangtang 343 jiwa, Koror 324 jiwa dan Lansot 278 jiwa.

Penyederhanaan besar-besaran dalam sistem pemerintahan kolonial di Minahasa berlangsung di Sarongsong bulan April 1880 ketika Kepala Distrik Sarongsong terakhir Majoor Zacharias Wawo-Roentoe (atau juga sering dicatat Wawo-roentoe atau Waworoentoe) dipensiun. Baru tanggal 8 Juni 1888, secara resmi turun beslit menegas penyatuan Distrik Sarongsong dan Distrik Tomohon dengan nama Distrik Gabungan Tomohon-Sarongsong.

Menantu Majoor Zacharias yakni Herman Alexander Wenas (kelak bergelar Majoor) yang menjabat Hukum Besar Kepala Distrik Tomohon yang sejak tahun 1880 telah memimpin Sarongsong, dibeslit resmi sebagai Kepala Distrik (Gabungan) Tomohon-Sarongsong.  

Sarongsong tinggal menjadi Distrik Bawahan (Onderdistrik, setingkat kecamatan). Jellesma Wawo-Roentoe, adik Majoor Zacharias, kemudian Herman Carl Wajong dan A.Wenas sebagai Hukum Kedua berkedudukan di Tumatangtang Sarongsong.

Buntut lain dari beslit pemerintah Hindia-Belanda tahun 1888 itu adalah penggabungan negeri-negerinya, sehingga tertinggal Tumatangtang dan Lansot. Pinangkeian digabungkan dengan Lansot, dan Koror dengan Tumatangtang.

Sarongsong yang tinggal sebagai distrik kedua benar-benar hilang di tahun 1919 ketika Distrik Tomohon-Sarongsong yang dipimpin Hukum Besar Theodorus Estefanus Gerungan dihapus. Yang tinggal adalah nama Distrik Tomohon dipimpin Hukum Besar Willem Abraham Wakkary.

Ada upaya untuk melestarikan nama Sarongsong, ketika dilakukan penyederhanaan lagi di tahun 1915. Ketika itu negeri Tumatangtang dan Lansot digabung menjadi satu negeri sengaja dinamai Sarongsong dengan dipimpin Hukum Tua Habel A.Wenur.

Namun, hanya bertahan lima tahun sampai tahun 1920 ketika negeri Sarongsong dibubarkan, dan terbagi ulang menjadi Tumatangtang dan Lansot.

Pemukiman Sarongsong di bagian barat yang yang telah dihuni orang-orang Islam asal Banten bekas interniran Belanda, yakni Kampung Jawa dimandirikan dipimpin seorang hukum tua sendiri sejak tahun 1928.

Negeri lain yang pernah menjadi wilayah bekas Distrik Sarongsong, adalah Lahendong, Tondangow dan Pinaras, sekarang kelurahan-kelurahan di Kecamatan Tomohon Selatan. Kemudian Rambunan dan Sawangan yang sejak tahun 1919 digabungkan dengan Distrik Sonder (sekarang kecamatan di Minahasa, meski ada versi lain sudah terjadi sejak tahun 1908).

NEGERI AWAL
Sarongsong telah ada sejak jaman pra-sejarah. Dotu Manarongsong yang disebut juga Manaronsong atau Sumarangsang dengan istrinya Wawu Winenean disebut-sebut menjadi leluhur awal yang bermukim di kawasannya. Ia dipercayai menemukan sumber mata air serta membuatkan saluran air yang kelak bernama Sarongsong mengenang namanya.

Penulis Belanda Dr.Johan Gerhard Friedrich Riedel menyebut Manaronsong dengan istrinya Winenean dari golongan Makarua Siow dengan sepuluh-sembilan anaknya juga yang menemukan bukit Wawo di bagian timur Sarongsong. Saudara lainnya Kumiwel, dan istrinya Pahirangan dengan tiga anaknya berdiam berdekatan di bukit Kuranga. Lololing dengan istrinya Rinerotan dan enam anaknya di bukit Puser in Tana dekat Tomohon serta Pinontoan di puncak Gunung Lokon dan Rumengan di puncak Gunung Rumengan bersama istri dan anak-anak mereka.

Kemudian dari kalangan Makatelu Pitu, Siow Kurur berdiam di Pinaras. Lalu Repi dengan istrinya Matinontong dan Tontongbene serta lima anaknya berdiam di Rano Lahendong. Berdekatan Rano Lahendong berdiam di lokasi Walehlaki, saudaranya Pangibatan dan istrinya Tinoring dan lima anaknya.

Setelah pembagian di batu Pinawetengan, dan berpencarnya suku Tombulu di Meiesu, Riedel mencatat Tumbelwoto sebagai pemimpin Sarongsong membangun pemukiman di lokasi Tulau (bermakna tertinggal) [1], sekitar 2,5 kilometer dari Tumatangtang sekarang. Saudaranya Kaawoan membawa sebagian penduduk lain mendirikan Tombariri.

                    Baca Mengenang Distrik Kakaskasen.

Dari famili Kaawoan, Walean keluar dari Tulau membuka di sebelah selatan Kuhun. Cucu Walean yakni Sumakul, Rarakutan, Tumurang dan Mandagi  mendirikan negeri Pinangkeian dan Koror. Penduduk negeri-negeri Tulau, Kuhun, Pinangkeian dan Koror meneguhkan secara resmi nama Sarongsong atau Toun Sarongsong (Tonsarongsong) sebagai pakasaannya.

Legenda menyebut pula lokasi bernama Toungkuow, sekitar 4,5 kilometer barat Tumatangtang, pernah dimukimi penduduk. Disebut Toungkuow, karena masa itu penduduk saling menyapa dengan meniru bunyi burung kuow. Bilamana yang disapa tidak menyahut dengan kode sama, dia akan dianggap musuh dan dibunuh.

Menurut Riedel sempat timbul Perang Pinangkeian. Terjadi perbantahan anak-anak Tumurang dari Pinangkeian dengan anak Ogi dari Tulau, bersumber dari permainan daun Tawaang. Buntutnya kedua orang tua mereka yang bersahabat berseteru di tempat minum kehetan, lalu berlanjut dengan peperangan. Hari itu pula anak Ogi terluka. Orang-orang gagah dan teterusan Tulau menyerbu dan membunuh banyak penduduk Pinangkeian, termasuk teterusan Watuseke dan Lekuyan. Perdamaian baru terjadi ketika orang-orang Pinangkeian minta damai lewat penduduk negeri Katingolan di Tombariri.

Legenda dan tradisi setempat mengungkap adanya peristiwa sinarongsongan um wene. Tokoh adat Sarongsong Arie Michael Mandagi dan Jootje Kambey di awal tahun 1980-an mengisahkan penduduk Sarongsong (sudah di Tulau) berangsur-angsur bertambah. Lalu pada suatu masa terjadi paceklik. Paceklik itu juga disebabkan tercurinya benda sakti Sarongsong bernama Kelana Mahuang yang menjadi lambang persatuan dan pemberi isyarat baik dan buruk [2].

Disebutkan, benda tersebut dicuri oleh orang Kalahwakan (penduduk dunia tengah, udara) [3]. Maka, dibuatlah di Lezaz (Lezar, halaman atau lapangan) acara foso negeri, yakni foso Tumalinga si Kooko’ (mendengar burung) dengan Mengalei (Menengoh, Menalinga) di Watu Penginaleian di Tulau (tahun 1983 masih ada sisanya berupa dua batu tegak di dekat Lezaz) yang dipimpin oleh walian wanita. Dipotong babi buat persembahan, sementara walian menari Maengket dan meniup suling.

Mengalei bersambut dimana burung Manguni menyahut memberi pertanda baik. Maka, konon, ada air lagi, kemudian turun simbagu, sejenis padi. Karenanya penduduk menjadi tidak susah lagi.

Konon, dari simbagu inilah, timbul nama sinarongsongan um wene, atau pancuran padi, karena simbagu tersebut jatuh dari Kalahwakan persis air memancur.

Nama Sarongsong tercatat dalam dokumen, diawali laporan Padri Blas Palomino yang bulan April 1619 mengunjunginya dan menulisnya sebagai Saronson. Kemudian juga Gubernur Kompeni Belanda Dr.Robertus Padtbrugge mencatatnya tahun 1682 sebagai Zeronson atau Seronson, berpenduduk 70 awu atau sekitar 350 jiwa. Dari peta masa Padtbrugge, posisi negeri Sarongsong ketika itu berada di sebelah barat Lansot dan Tumatangtang sekarang, dekat sekali dengan Katingolan yang saat itu menjadi ibukota Balak Tombariri.
             
                  Lihat peta masa Padtbrugge di Woloan, Ibukota Awal Tombariri.

Salah seorang tokoh Sarongsong terkenal dalam legenda-legenda setempat adalah Tonaas Kalele, yang menurut Graafland adalah cucu Kalele Tua dan anak Karwur dengan Pasiyowan. Ia memunculkan kisah Kinupitan, dan gelaran Kalelekinupit untuknya. Ditutur, karena melanggar kaposanan, tewas terjepit batuan-batuan, yang meninggalkan sampai sekarang lokasi bernama Kinupitan di dekat Tulau.

PAKASAAN HINGGA DISTRIK
Kepala Pakasaan Sarongsong di masa-masa awal adalah keturunan dari Kalele Tua. Dimulai dari Manangka, Wuwung, serta Mandagi yang terkenal berperang dengan Raja Bolaang Loloda Mokoagow.

Dari istrinya bernama Kinetar atau disebut juga Kumetar atau Kimetar, Mandagi berputra Lontoh yang kemudian terkenal dengan nama Lontoh Kolano atau disebut juga Lontoh Mandagi.

Sketsa Lonto Kolano.

Lontoh menjadi salah satu tokoh paling berpengaruh di Minahasa. Ia dicatat menjadi duta yang berangkat ke Ternate tahun 1654 mengundang Belanda bersama Supit dari Tombariri, Paat dari Tomohon dan Lontaan dari Kakaskasen. Dalam kontrak pertama dengan Kompeni Belanda tanggal 10 Januari 1679, namanya tidak tertera. Tapi, pada kontrak kedua yang berlangsung 10 September 1699 di Benteng Manado, namanya bersama Supit dan Paat sejajar sebagai Hoofd Hukum Majoor, yang membuat dirinya sangat berkuasa, sementara kepala balak lain sekedar bergelar Hukum Majoor [4].

Lontoh diganti tahun 1719 sebagai Kepala Balak Sarongsong oleh Rondonuwu anaknya tertua dari istri bernama Sumengkar atau Sengkar. Namanya dalam dokumen turunannya dicatat sebagai Rondonuwu Lontoh, dan jabatannya banyak disebut sebagai Hulubangsa Sarongsong, gelar lain dari para kepala balak Minahasa masa itu. Ikut menjadi pembantunya adalah iparnya Wenur yang disebut pula Waworuntu, suami adiknya Topowene.

Penguasaan tanah dan pengembangan perkebunan diduga kuat telah dimulai di masa Lontoh. Tanah-tanah milik Lontoh dan ayahnya Mandagi Wuwung berada di lokasi Wuwunongan, Lumales, Boyong, Pengagayongan, Linow Oki, pinggiran timur Sarongsong, Tampang, Moreo, Tendan dan Kaima. Sementara tanah milik Rondonuwu Lontoh berada di Pahkontaan, Rumesik, Rugew, Wunek, Pakewa (dekat dengan Linow), Lumales, Palawas, Boyong, Aki Tower, Uwalaan, Kaima, Linow Wangko, Wuwunongan, Rumorong, Limo dan Kasamba. Lokasi-lokasi ini sampai awal abad ke-20 masih dikuasai keturunan mereka.

Dari istrinya bernama Ramei putri Hukum Kamasi Wowor terlahir Tongkotou yang kelak menggantikannya menjadi Kepala Balak Sarongsong, periode 1760-1790.

Masa Majoor Tongkotou, dikisahkan, terjadi peristiwa alam, sehingga ibukota balak di Tulau ditinggalkan (dari versi ini nama Tulau muncul). Penduduk pindah bermukim di lokasi yang sekarang disebut Amian-Nimawanua, sekitar 4 Km dari Tumatangtang dan 1,5 Km dari Lansot. Amian-Nimawanua sebenarnya bersambungan dan menjadi satu kesatuan dengan Tulau.

Tokoh Sarongsong di masanya adalah Sumendap, seorang walian yang memimpin upacara pemindahan, dan diwarugakan di Amian-Nimawanua (lokasi waruganya telah hancur di tahun 2000-an).

Dihadiskan penduduk Sarongsong di Amian-Nimawanua bermukim lebih seabad. Konon, di tempat ini terjadi satu musibah. Awal mulanya ketika di rawa Wune (sekarang masuk Lansot) tertangkap ikan sogili raksasa. Penduduk memakannya, tapi tidak habis. Sisanya membusuk dan berulat. Ulat-ulat begitu banyak hingga mengganggu penduduk, karena berada di mana-mana. Makanan dan peralatan makan dirayapinya. Baru dengan upacara Marages atau Menombari dipimpin walian wanita, penduduk berhasil mengusir ulat-ulat tersebut memakai sapu lidi dan tumbuhan bunga pagar (zeze wanua, rerehan). Ulat-ulat diusir hingga ujung batas negeri (akazan um wanua atau sela um wanua).

Lokasi rawa Wune.

Tongkotou diganti putranya dari istri Tongkang bernama Tamboto, memerintah Sarongsong tahun 1790-1804. Dari istrinya Banon, ia memperoleh putri bernama See dan Tumete Liwun alias Maria Lontoh yang diperistri Pangemanan anak Lontoh Tuunan dari Kamasi.

Lontoh Tuunan, Kepala Balak Tomohon menjadi berkuasa di Sarongsong, karena masih terhitung cicit dari Lontoh Mandagi. Ayahnya Wowor (2) adalah putra Hulubangsa Rondonuwu Lontoh, dan merupakan anak bersaudara dengan Tamboto. Cicit lain Lontoh Mandagi, bernama Manopo, anak Regar dan cucu Waworuntu yang mengawini Topowene putri Lontoh Mandagi menjabat sebagai Hukum Kedua (Kumarua), berkedudukan di Lahendong.

Kepala Balak Sarongsong berikutnya adalah Kojongian, dikisahkan merupakan pembantu Lontoh Tuunan. Ia meneken kontrak dengan Residen Inggris Thomas Nelson tanggal 14 September 1810 atas nama Balak (dicatat sebagai Department) Sarongsong. Namanya berada di urutan 21 (di bawah Kalalo dan di atas Mokolensang).

Kemudian putra Manopo dari istri Wuaimbene bernama Waworuntu menjadi Kepala Balak (lalu Distrik) Sarongsong sejak tahun 1819. Ia memperoleh gelar kehormatan Majoor. 

Salah seorang panglimanya yang terkenal ketika itu adalah Mandagi yang tahun 1829 tampil memimpin kontingen pasukan Tulungan berasal Sarongsong dalam Perang Diponegoro, dan memperoleh pangkat Kapitein.

Kubur Kapitein Mandagi di Tumatangtang.

Tanggal 1 Juli 1835, mengatasnamakan rakyat Balak Sarongsong, Waworuntu membeli tanah Kalakeran Sarongsong di Manado dari Martinoes Catharinus Lans seharga 1.000 gulden. Tanahnya dibagi dengan Balak Tomohon dan Kakas, karena dibeli berpatungan, dimana ikut bertanda Kepala Balak Tomohon Ngantung (Mangangantung) dan Kepala Balak Kakas Inkiriwang.

Tanggal 8 Februari 1845 terjadi gempabumi dahsyat di Minahasa. Rumah-rumah besar dan bertiang tinggi di Amian-Nimawanua hancur lebur dan jatuh banyak korban jiwa. Namun, dari laporan resmi Residen Manado yang dikutip koran-koran masa itu hanya  lima penduduk yang kehilangan nyawa, sementara semua rumah penduduk runtuh, tinggal menyisakan empat rumah yang juga mengalami kerusakan parah.

               Baca 1845, Gempa Menghancurkan di Minahasa.

Penduduk lari mengungsi. Untuk memasak mereka menggunakan bambu (lulut) dan minum dengan zaun dari bambu. Setelah keadaan aman, dianjurkan Belanda dan diperintah oleh Majoor Waworuntu, penduduk meninggalkan Amian-Nimawanua dan Tulau, pindah di dekat jalan umum yang waktu itu telah dibuka beralaskan batu oleh pemerintah kolonial.

Dikisah, tanggal 1 Januari 1846 di bawah pimpinan Waworuntu dan Hukum Kedua Kalalo, penduduk Sarongsong pindah menuju tempat baru. Untuk itu sesuai tradisi leluhur, di Watu Lelepouan (berupa dua batu tegak yang sekarang berada sekitar belasan meter dari gedung gereja GMIM Syalom Tumatangtang) diadakan foso negeri, yakni Tumalinga dengan Menengoh dalam tarian Maengket, di mana burung Manguni menyahut dan memberi pertanda yang bagus.

Burung tersebut terbang diikuti rombongan penduduk. Awalnya burung tersebut bertengger di pohon Lansot (langsat), lalu terbang dan hinggap di pohon Tumatangtang. Kemudian ke pohon Koror, singgah (Pinangkeian) dan terbang terus hingga ke ujung (Kapoya). Maka segera berdiri lima negeri baru dalam Balak Sarongsong. Lansot, Tumatangtang, Koror, Pinangkeian dan Kapoya. Kelima negeri ini membentuk ibukota baru Sarongsong. Di masa kemudian baru berdiri negeri Wuwuk, Regesan dan Kapoya yang juga tidak berumur panjang.

Majoor Waworuntu yang beristri tiga, setelah menentang agama Kristen, pada hari Minggu tanggal 11 April 1847 bertempat di gereja Tomohon dibaptis Protestan oleh Inspektur NZG Ds.L.J.van Rhijn. Ia memakai nama (sesuai dokumen dan di kuburnya) Herman Carl Wawo-Roentoe.

           Baca pula Jalan Panjang Gereja GMIM Sion.

Majoor Herman Carl Wawo-Roentoe meninggal tahun 1854. Anak tertuanya Zacharias Wawo-Roentoe yang sebelumnya menjabat Hukum Kedua, diangkat sebagai pengganti. Adiknya Albertus Bernadus Wawo-Roentoe mengganti sebagai Hukum Kedua, namun tahun itu juga diangkat menjadi Jaksa Landraad Manado (dan tahun 1861 sebagai Kepala Distrik Sonder).

Zacharias memperoleh titel kehormatan Majoor 30 Juni 1855, dan memerintah Sarongsong hingga dipensiun dengan beslit bulan April 1880. Dengan demikian Distrik Sarongsong berakhir. Majoor pensiunan Zacharias Wawo-Roentoe meninggal setahun kemudian, tanggal 8 Juli 1881. ***




[1]. Tulau ditafsirkan pula dari selalu gagalnya musuh-musuh Sarongsong yang hendak menyerang dan menyamun negeri, sebab tertinggal tidak dapat meloloskan diri, dibunuh dan dipancung kepalanya.
[2]. Legenda lain mengisahkan, benda pusaka negeri Kelana Mahuang itu dicuri penduduk Meiesu, dan dapat direbut kembali oleh Tonaas Kalele Tua, anak Palohun dan Wanenean, menurut Graafland, keturunan Pasiyowan 1 dengan suaminya Rumengan.
[3]. Menurut Graafland, merupakan konsepsi masyarakat Minahasa kuno, bumi didiami manusia, bumi tengah atau udara didiami roh-roh manusia yang menjadi dotu atau opo, dan Empung berdiam di dunia atas yang disebut Kasendukan.
[4]. Beberapa kalangan menyamakan Lontoh Mandagi dengan Kapitein Pedro Ranti yang menjadi salah satu saksi kunci perjanjian Minahasa-Belanda 10 Januari 1679 yang mengerti bahasa Melayu serta telah beragama Kristen. Versi ini Lontoh dibaptis Yuan Yranzo, lalu versi lain sempat dikirim mengikuti pendidikan di Seminari Ternate. Kendati demikian, banyak legenda Tombulu justru menyebut dari tiga serangkai Minahasa itu baru Supit yang melek aksara dan bahasa Melayu.



·      Sumber foto: Didi Sigar, Jootje Umboh dan Bode Talumewo.
·      Sumber tulisan: buku ‘‘Riwayatmu Tomohon’’ 1986, buku ‘’Tomohon Kotaku’’. Naskah ‘’Tomohon Dulu dan Kini’. Buku Dr.P.Bleeker ‘’Reis door de Minahassa en den Molukschen Archipel’’ 1856. Buku Nicolaas Graafland (terjemahan Yoost Kullit), ‘’Minahasa Masa Lalu dan Masa Kini’’ 1987, dan buku ‘’Inilah Kitab Batja akan Tanah Minahasa’’1863, serta buku Dr.J.F.G.Riedel‘’Inilah Pintu Gerbang Pengetahuwan itu’’ 1862.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.