Babe Palar tahun 1933. |
Lelaki ini hanya sekedar diaken biasa atau sekarang disebut syamas, dari satu kampung kecil atau wijk di negeri besar Tomohon. Ketika itu, tahun 1906 Kamasi baru berpenduduk
sedikit, dan bergereja di gedung Gereja Protestan Tomohon di Paslaten yang
hanya berhadap-hadapan dipisah ruas jalan raya ke Manado (sekarang gereja Sion).
Namun, ketika dia meninggal, pelayatnya bukan hanya dari Kamasi, tapi hampir
dari seluruh Tomohon, bahkan dari luar.
Lodewijk Palar, syamas ini, meski hanya orang
biasa, tapi sangat terkenal. Ia menjadi pelayan khusus jemaat dan gereja
Tomohon yang disegani. Sahabat baik Pendeta Tomohon Jan Louwerier, juga sahabat
para Zendeling NZG di Tomohon, seperti J.H.Hiebink Rooker, Direktur Kweekschool (Sekolah Guru) NZG di
Kuranga, serta keluarga A.Limburg, Direktur Meisjesschool
(Sekolah Nona) Tomohon.
Anak-anaknya sukses dalam pendidikan dan
pekerjaan. Kendati mata pencaharian utamanya hanya sekedar berdagang kopi. Membeli dari para petani lalu menjualnya di Manado.
Dua putranya menjadi guru sekolah pemerintah Hindia-Belanda. Salah satu darinya, yang tertua, memberinya cucu, seorang lelaki yang kemudian akan mengharumkan Minahasa dan Indonesia, yakni Lambertus Nicodemus Palar atau terkenal sebagai Babe Palar.
Dua putranya menjadi guru sekolah pemerintah Hindia-Belanda. Salah satu darinya, yang tertua, memberinya cucu, seorang lelaki yang kemudian akan mengharumkan Minahasa dan Indonesia, yakni Lambertus Nicodemus Palar atau terkenal sebagai Babe Palar.
‘’Dengan dia, saya dapat mengatakan orang
Kristen terbaik yang meninggalkan gereja ini. Dia adalah seorang lelaki yang
kepadanya saya merasakan simpati khusus selama bertahun-tahun saya tinggal dan
bekerja di sini,’’ tulis Pendeta Jan Louwerier.
Ketika Louwerier mengenalnya pertama kali di
tahun 1868, Lodewijk Palar masih bekerja di Gudang Kopi pemerintah (Gouvernementskoffiepakhuis) di Paslaten
(yang tahun 1906 telah dipakai sebagai Sekolah Gubernemen Nomor 1). Atasannya,
kepala gudang kopi adalah J.J.Tokaija.
Lodewijk Palar, sangat tradisional, seorang
pria yang rapi, menurut Louwerier memiliki sesuatu yang mulia tentangnya,
tetapi pada saat yang sama pria yang sangat sederhana. Untuk waktu yang singkat
ia membiarkan dirinya tergoda, mungkin atas dorongan anak-anaknya, untuk
mengenakan jaket.
‘’Tapi, segera disingkirkan. Dan, kabaya kuno dikenakan lagi. Itu selalu
tampak dicuci bersih, dan kaku, diselipkan dengan rapi dalam lipatan. Jauh
lebih bagus daripada banyak orang yang sekarang memakai mantel dan menghiasi
diri dengan kerah tinggi,’’ tulis Louwerier tahun 1907.
Lodewijk Palar menjadi pelayan gereja sejak
masa Pendeta Nicolaas Philip Wilken yang meninggal tahun 1878. Bahkan, sebelum
jabatan penatua dan syamas ditunjuk di Tomohon.
Ketika Wilken melantik Majelis Jemaat (kerkeraad) Tomohon tahun 1874 dan Jemaat
Kampung (wijkgemeenten) dari Kamasi,
Talete, Paslaten, Kolongan dan Matani setahun kemudian, Lodewijk Palar dipilih
sebagai syamas dari Kamasi. Jabatan yang dipegang sampai kematiannya.
Saat ada lowongan dalam posisi penatua,
anggota jemaat ingin menunjuknya, tetapi ia berterima kasih, bahwa melayani
Tuhan lebih baik sebagai diaken daripada sebagai penatua.
‘’Dan, dia telah melayani Tuhan. Dia adalah
jiwa dari pertemuan tengah hari di Kamasi. Dengan sangat setia saya melihatnya
setiap Minggu sore, ketika saya pergi ke gereja anak-anak, ia melangkah ke
sana. Kata-katanya dihargai. Seorang pria yang beriman dan cinta bersaksi dan
melalui siapa Tuhan berbicara.’’
Menurut Louwerier, Lodewijk Palar adalah
anggota yang sangat baik dalam berbagai pertemuan majelis gereja. Kalau
berbicara sangat padu dalam roh Kristus. Jika ada masalah yang harus
diselesaikan, jika ada perselisihan keluarga, dan yang berselisih tidak mau mendengarkan
nasihat majelis di kampung, maka sepasang majelis dari kampung lain, selain
seorang guru, Lodewijk yang selalu dipilih, karena dia adalah orang yang sangat
berpengaruh, terkenal dan dihargai di seluruh jemaat.
Lodewijk Palar sepenuhnya percaya diri. Dalam
beberapa tahun terakhir ia membeli kopi untuk para pedagang di Manado. Tapi, ia
tidak mendapat uang di muka, sehingga di saat-saat ada banyak kopi, ia
kebingungan. Lalu, ia selalu meminta bantuan Pendeta Louwerier.
‘’Dan, apa yang tidak akan saya lakukan
dengan orang Minahasa, saya lakukan untuknya. Tanpa bukti tertulis, ia
kadang-kadang menerima 200 gulden,
dan segera setelah ia menjual kopinya di Manado, uang itu kembali ke tangan
saya.’’
KELUARGA TELADAN
Louwerier memujinya sebagai pria keluarga,
sehingga keluarganya adalah teladan bagi orang lain. Semua anak-anaknya
menerima pendidikan yang baik, serta dituntun kepada Tuhan sejak kecil. Semua
anak-anaknya tergantung pada orang tua, menghormati dan menunjukkan cintanya.
Tapi, duri kehidupan juga tinggal bersamanya.
Belum lama Louwerier tinggal di Tomohon, ketika Sara, seorang gadis di puncak
kehidupan, diambil darinya. Lodewijk dan istrinya Ketsia sangat terpukul, namun, dengan penghiburan dan nasihat Louwerier, keduanya menjadi sangat tabah.
Kemudian, kehilangan sangat berat terjadi
ketika putra bungsuanya Jusa(k) meninggal setelah lama menderita di Manado
tanggal 25 Mei 1906 dalam usia 31 tahun. Anaknya itu meninggalkan seorang janda
dengan tiga anak, sambil menunggu anak keempat.
Menurut Louwerier, Jusa adalah di antara
beberapa orang Minahasa yang unggul. Dia sangat berbakat, bekerja sebagai guru
bantu di Burgerschool (Sekolah
Rakyat) Manado. Jusa menggambar dengan baik, memainkan biola dengan baik,
berbicara bahasa Belanda dengan sangat baik.
Bakat dan permainannya yang bagus dilihat
banyak orang. Peta Minahasa dan Keresidenan Manado, dibuat olehnya. Ia pun
dipanggil untuk bermain di perusahaan orang Eropa di Manado dan melakukan
pertunjukan di masyarakat.
Louwerier telah mengenal dan terbiasa
dengannya ketika masih anak kecil, sehingga ketika ia melakukan kesalahan,
Louwerier menjadi tumpuan pengakuan dosanya.
Setelah menderita sakit yang lama, Jusa meninggal
dan dikuburkan di Manado.
Ketika Louwerier mengunjungi keluarga
Lodewijk setelah kembali ke Tomohon, Jemima, anak perempuan tertua menangis
karena Jusa adalah kesayangan dan kesombongan semua.
Louwerier berhasil menghibur Lodewijk dan
istrinya Ketsia yang menjadi tabah.
Namun, menurut Louwerier, Lodewijk hancur
oleh kehilangan Jusa. Ia masih bekerja dengan semangat dan kesetiaan yang sama
baik dalam kerja harian atau di jemaat. Tetapi ia berjalan lebih membungkuk. Ia
pun masih menghadiri kelas-kelas gereja dan kegiatan malam dengan setia, datang
ke rumah Louwerier dan setelah waktu gereja berbicara dengan riang.
‘’Tetapi, menjadi jelas bahwa Lodewijk telah
dihancurkan,’’katanya.
Lodewijk akhirnya terbaring di ranjang. Demam
menghancurkan kekuatannya. Anak-anaknya melakukan segalanya dengan kekuatan
mereka. Ia tidak kekurangan apa pun.
Louwerier pun secara teratur mengunjunginya
tiga kali sehari selama beberapa minggu. Mereka berdoa bersama berkali-kali.
Tapi, kekuatannya berkurang. Pada pagi hari kematiannya, Louwerier berlutut
bersama istri dan anak-anaknya sebelum kematian itu untuk mempersembahkan
jiwanya kepada Tuhan, untuk meminta pertempuran terakhir tidak terlalu sulit.
Lodewijk nyaris tidak berbicara, tapi jabat
tangannya adalah ucapan terima kasih. Ketika pelajaran pagi berakhir, Louwerier
menjenguknya sebentar. Dia sekarat. Setengah jam kemudian cucunya datang kepada
Louwerier sambil menangis. Kata cucunya,’’Kakek tertidur.’’
Itu tanggal 24 September 1906.
Keesokannya, Lodewijk dimakamkan (di Kamasi).
Seluruh Kampung, dapat dikatakan setengah Tomohon berkumpul untuk memberikan
penghormatan terakhir kepadanya. Louwerier memimpin langsung ibadah
penguburannya. Pelayat yang tinggal di luar Tomohon yang mengenal Lodewijk
berkata kepadanya ‘’Betapa ruginya Anda dan gereja.’’
Louwerier menerima surat ucapan terima kasih
yang dalam dari Gerrit, satu-satunya putra Lodewijk yang tersisa. Gerrit Johannis (ayah
Babe Palar) adalah kepala sekolah pemerintah (Gouvernementschool) di Rurukan.
Beberapa hari kemudian, Ketsia
jandanya dengan putri sulungnya Jemima datang untuk mengucapkan terima kasih
atas semua cinta dan perhatiannya dan mendermakan satu rijksdaalder sebagai pengorbanan syukur untuk kegiatan penginjilan.
***
-----
·
Foto
dari Delpher Kranten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.