Senin, 24 Juni 2019

Mengenal Sejarah Kamasi






Pemandangan di stad Tomohon tahun 1920-an.


Besok (tanggal 25 Juni 2019), Kelurahan Kamasi di Kecamatan Tomohon Tengah memperingati hari ulang tahun yang ke-340, merujuk ke tanggal 25 Juni tahun 1679. Tahun ketika dilakukan penandatangan kontrak politik Balak-Balak Minahasa dengan Kompeni Belanda yang berlangsung tanggal 10 Januari 1679 di Manado, di mana Tomohon diwakili Paat Kolano yang kelak bergelar terhormat sebagai Hoofd (Kepala) Hukum Majoor.

Kamasi memang sudah tua, bahkan bersama Talete telah ada jauh-jauh hari sebelum tahun yang telah diputuskan itu. 

Dr.Johan Friedrich Gerhard Riedel memastikan pendiri Kamasi bersama Talete adalah Mangantung (Mangangantung), Mapalendeng-tinamberan, Pondaag, Mamengko, Gosal dan Sambuaga. Mereka adalah cucu-cucu Tonaas Mokoagow (Rori), tokoh yang pertama membawa penduduk pindah dari Meiesu.

Peristiwa pendirian tersebut menurutnya terjadi beberapa waktu setelah pembagian di Watu Pinawetengan. Selain Kamasi dan Talete (masih dicatat Limondok), negeri lain yang didirikan oleh para cucu Mokoagow ini adalah Kinupit, Toumaajah, Rangihir, Tounbuntu dan Lingkonkong. Negeri-negeri inilah yang membentuk ‘kota’ Tomohon pertama.

Dari negeri-negeri awal Pakasaan lalu Balak dan Distrik Tomohon ini, di abad ke-17, tertinggal tiga nama yang ada. Kamasi, Talete dan Tomohon. Lima negeri lain telah menyatu sebagai bagian tak terpisahkan dari negeri besar Tomohon.

Penulis terkenal Belanda Francois Valentijn dalam buku ‘’Oud en Nieuw Oost-Indien’’ terbitan tahun 1714 mencatat laporan Residen Manado Abraham Meyert tahun 1682 bahwa Kamasi (ditulis Cormasje) menjadi satu pemukiman dengan Tomohon (ditulis Tomon). Dua negeri ini berpenduduk sebagai 800 awu (kepala keluarga, sekitar 4.000 jiwa), dan terpisah dengan Talete yang disebutnya Tontelette berpenduduk 80 awu.

Pemukiman awal Kamasi hingga peristiwa gempa bumi 8 Februari 1845 berada di bagian barat Kamasi sekarang. Dari lokasi Stambak di Nimawanua, Ranoneperet, Wakan hingga Kilomata yang menjadi batas dengan Kakaskasen di Nawanuanya.

Kamasi berada di tengah ruas jalan pertama (masih setapak) dari arah Manado melalui negeri Kakaskasen tua (Nawanua) ke negeri tua Tomohon di Nimawanua hingga ke negeri tua Sarongsong di Tulau dan Amian-Nimawanua.

Areal perkebunan milik penduduk membentang tanah-tanah luas di lokasi Walian,  bahkan mencapai Pangolombian, yang di masa berikut didirikan penduduk Kamasi menjadi negeri baru.

Konsentrasi penduduk besar berada di dekat Ranoneperet. Karena pekuburan tua waruga berada di lokasi ini, tidak terlalu jauh dengan Pinati yang menjadi tempat pengambilan waruga Kamasi dan Tomohon di masa lalu.

Baru setelah kejadian gempa bumi 1845, pemukiman Kamasi dibangun di sebelah timur, mendekati ruas jalan yang telah dibangun pemerintah kolonial.

BACA: Woloan,Ibukota Awal Tombariri, dengan peta masa Padtbrugge.

Asal nama Kamasi memunculkan beberapa versi. Ada menyebut dari nama tumbuhan yang dibuat obat tradisional disebut Kamasi atau Masi’ atau Kamesi, yang menurut Zendeling dan penulis Nicolaas Graafland bernama Latin Cubilis rumphii. Ada pula pendapat timbul dari jenis pohon bernama Kamasi yang di masa lalu tumbuh di tempatnya.

Versi lain lagi namanya dari Kakmas, karena pemukiman awalnya berawa-rawa, kotor dan bernyamuk. Paulus Supit, pengarang novel ‘’Kasih Ibu’’ memberi versi berbeda kalau di lokasi mata air Mararesak (batas dengan Kolongan), biasa dilaksanakan permainan rakyat Bakubintik (Mawintian), yakni adu kekuatan kaki pukul betis, tapi, di atas sebatang bambu menguji siapa orang terkuat di Tomohon. Yang kalah akan jatuh di telaga berbecek, dan dari rupa yang kotor setelah berlaga inilah sebutan Kakmas tercetus.

Masih ada menyebut nama Kamasi berasal dari Kamasilan, yakni jenis gelang (kulalu) dari akar bahar. Tapi, versi ini dikaitkan dengan Tonaas Tinaras ketika penduduk Kamasi lari mengungsi setelah kejadian gempa bumi 1845. Ia menemukan akar bahar di lokasi berdekatan Bukit Wawo. Padahal, nama Kamasi justru sudah lama muncul dan dicatatkan jauh-jauh hari dalam arsip kolonial.

Beberapa tokoh asal Kamasi terkenal dalam legenda bahkan dalam catatan sejarah. Dua wanita yang harum namanya adalah Ringking Bulawan yang menyebabkan Perang Kamasi, serta Laya, istri pertama Kepala Balak Tombariri Pacat Supit Sahiri. Bahkan Supit dipercayai ketika meninggal awalnya dikuburkan di lokasi Ranoneperet, sebelum dipindahkan ke Katingolan Woloan.


Tapi tokoh berasal Kamasi paling masyur di masa silam adalah Lontoh Tuunan. Hukum [1] Kamasi tahun 1785-1803 dan kemudian Kepala Balak Tomohon tahun 1803 hingga 1809.

Lontoh Tuunan merupakan keturunan dari Kepala Balak Sarongsong, Kepala Balak Tomohon dan para Hukum Kamasi di abad ke-17 dan 18. Ia merupakan sosok disegani dan dicintai rakyat dan ketika masih sebagai Hukum Kamasi menentang Kepala Balak Tomohon Mamengko (versi lain bernama Loho), sehingga kemudian menggantikannya.

Dari silsilah keluarga Lontoh Kamasi dan Sarongsong, ia disebut sebagai anak Hukum Kamasi bernama Wowor (2) yang disebut juga Pasiowan, sementara ibunya Mapalendeng adalah cucu Hukum Majoor Kepala Paat Kolano (Kepala Balak Tomohon). Wowor (2) sendiri  adalah anak kedua dari Hukum Majoor Rondonuwu (Kepala Balak Sarongsong), dan cucu Hukum Majoor Kepala Lontoh Kolano. Ibu Wowor (2) istri Rondonuwu bernama Rameij, adalah anak Hukum Kamasi bernama Wowor (1) yang dihadiskan memerintah di Kamasi tahun 1705-1740.
 
BACA: Silsilah Lontoh Tuunan dalam Silsilah Tombulu.

Selain menjadi Kepala Balak Tomohon, Lontoh Tuunan praktis memerintah Sarongsong. Kepala Balak Sarongsong ketika itu Tamboto tidak memiliki putra, hanya dua anak gadis. Salah seorang dari mereka bernama Tumete Liwun (dibaptis Kristen bernama Maria Lontoh) dikawini anak Lontoh Tuunan bernama Pangemanan. [2]

Sejarawan yang mantan Bupati (KDM) Minahasa Bert Supit dalam bukunya ‘’Minahasa dari Amanat Watu Pinawetengan sampai Gelora Minawanua’’ terbitan tahun 1986, menggambarkan pengaruh Lontoh Tuunan sangat besar mencapai banyak negeri dan balak lain di Minahasa.

Lontoh Tuunan yang dijulukinya si Tua’a Tombulu, Anoa dari Lokon menjadi organisator utama Perang Minahasa di Tondano yang berlangsung tahun 1808-1809.

Tanggal 1 September 1808 kolonial Belanda yang dipimpin Residen Carel Cristoffel Prediger (memerintah 6 November 1803-April 1809) menyerang Lontoh. Setelah bertempur sengit, dengan pasukannya Lontoh pergi ke Tondano (Minawanua).

Besoknya (2 September) Residen Prediger yang terpukul mundur di Tondano, kembali ke Tomohon dan membumihanguskan Kamasi, sehingga penduduk lari mengungsi.

Lontoh Tuunan sebagai tokoh utama perang tersebut bersama para kepala lain baru tertangkap setelah Minawanua Tondano diblokade.

Pada bulan Juli 1809, ia ditangkap patroli Belanda ketika akan memasuki Minawanua dari Remboken. Lontoh Tuunan dikenali beberapa bekas teman dekatnya yang telah menjadi kaki tangan Belanda dan menyamar sebagai pencari sagu. Versi lain penangkapannya terjadi ketika ia mundur ke Tomohon karena Minawanua sudah kekurangan makanan serta amunisi. Cerita lain lagi, ia tertangkap di perkebunan Wawo Walian dalam perjalanan ke Sarongsong.

Lontoh Tuunan dibawa dan ditahan di benteng Nieuw Amsterdam Manado, kemudian diinternir ke Ternate bersama Tewi, pejuang lainnya.

Menurut keturunannya, Lontoh kembali ke Tomohon ketika Inggris berkuasa dan membebaskannya. [3]

Ada versi, Lontoh Tuunan diberi pangkat Kapitein oleh Inggris karena membantu Inggris melawan Belanda. Keturunannya menyebut Lontoh Tuunan dikuburkan di Nimawanua Tomohon. Tapi ketika Belanda berkuasa ulang tahun 1817, kuburnya digali, dipindahkan di tanah miliknya di Kolongan (menjadi lokasi kelas SMP Katolik Stella Maris). Konon, saat pemindahan tersebut sempat ditemukan bintang ‘jasa’ dari Inggris yang di masa berikut telah hilang.

Keheroikan Lontoh Tuunan pantas dimonumenkan, dan diperjuangkan menjadi pahlawan nasional.

Di tahun 1992, ada usaha mengusung kisah perjuangan Lontoh Tuunan bersama tokoh lain dalam Perang Minahasa di Tondano. Sayang film dengan judul ‘’Benteng Moraya 1809’’ tersebut gagal, meski Wakil Presiden masa itu Try Soetrisno telah bertindak sebagai sutradara kehormatannya.

Setelah Lontoh Tuunan, dikenal sebagai Hukum Kamasi adalah Sangi, sekitar tahun 1810-1830. Kemudian anaknya Pandeirot yang disebut Graafland sebagai Mangulu, pemimpin pasukan Tulungan berasal Balak Tomohon tahun 1829 dalam kontingen tentara Tulungan dikomando Majoor Tololiu Hermanus Willem Dotulong memerangi Pangeran Diponegoro. Ia memperoleh pangkat militer dari Belanda Kapitein, dan diwarugakan di Ranoneperet.

Pandeirot, disebutkan diganti saudaranya bernama Sampouw yang memerintah dibantu Karias Wondal dan Reling Paat sebagai teterusan serta Marentek sebagai walian. Karias dan Reling Paat ditutur sebagai tokoh sakti yang banyak membunuh musuh yang mengganggu Kamasi. Kubur Sampouw, Karias dan Reling Paat berada di Ranoneperet tua (sekarang lokasi berdiri Poskesdes Kamasi), sementara Marentek diwarugakan di Nimawanua.

Tanggal 8 Februari 1845 terjadi gempa bumi dahsyat di Minahasa. Rumah-rumah tiang yang kokoh roboh. Koran-koran Batavia dan Belanda mencatat di Distrik (telah mengganti sebutan Balak) Tomohon rata-rata rumah roboh atau sebagian hancur dengan empat belas korban jiwa dan empat puluh korban luka.


Akibat gempa, penduduk Kamasi menyingkir di Walian, lokasi perkebunan milik orang Kamasi. Sisa-sisa pemukiman masih ditemukan tahun 1980-an, termasuk lokasi pengambilan air minum di mata air yang bernama Rano ne Kamasi, sekarang masuk kepolisian Kelurahan Matani Dua.

Di pengungsian Walian telah tampil sebagai pemimpin Tonaas Tinaras yang juga disebut dengan nama Timon Tudus sebagai Hukum dengan gelaran Rarangkang un Wanua atau pelindung negeri. Banyak versi tentang dirinya, ada menyebut ia asli Kamasi, namun versi lain keturunan Tonsea, seperti halnya Lukas Wenas dari Talete. Timon Tudus pun dianggap nama seraninya ketika dibaptis Kristen (namun disebut Simon Tulus).

Tinaras membawa kembali penduduk dari pengungsian Walian ke lokasi Kamasi sekarang.

Ada versi-versi kalau Pangemanan Lontoh, anak Lontoh Tuunan, sempat pula menjadi Hukum Kamasi. Juga Petrus Wenas, anak Lukas Wenas, sebelum menjadi Hukum Kedua Tomohon di Rurukan, sempat memangku secara singkat jabatan Hukum Tua Kamasi.

Yang pasti, Christiaan Lontoh, dipilih pertama menjadi Hukum Tua Kamasi di tahun 1876.

PUSAT PEMERINTAHAN

Sejak pembangunan Tomohon baru di tahun 1845 Kamasi mulai menjadi pusat pemerintahan Distrik Tomohon. Di tahun 1862 dibangun kantor distrik (tahun 1966 jadi kantor kecamatan, dan dijual 1971 jadi toko). Juga pembukaan Sekolah Genootschap (milik NZG) tahun 1858. Sekolah tersebut masa itu merupakan sekolah paling terkemuka di Minahasa (kelak dipakai Sekolah Kepandaian Putri, Kopschool, Kantor Sinode GMIM 1934, RS GMIM Bethesda 1950 dan sekarang Akper RS Bethesda).

Di Kamasi, dibangun pula pasar Tomohon (di lokasi Balai Kelurahan sekarang) sampai dipindah di Paslaten tahun 1913. Juga kantor pos disamping kantor distrik sejak 31 Januari 1905 dan bertambah kantor kawat (kelak Telkom hingga 1985). Penjara anjing lalu penjara sejak 1942 hingga 1985, Balai Koperasi tahun 1925 yang pernah menjadi Pusat Koperasi Minahasa (PKM). Bahkan, rumah bersalin, rumah piatu hingga bioskop Sonya di tahun 1949. Tentu juga dengan tumbuhnya pertokoan, rumah kopi dan rumah makan, sampai pompa bensin hingga 1979.

Namun, di akhir tahun 1852, Dr.Pieter Bleeker mencatat Kamasi berpenduduk masih sedikit, 501 jiwa. Tahun 1859 menurut Graafland sebanyak 520 jiwa, meski sudah termasuk salah satu negeri terbesar di Distrik Tomohon. Tahun 1859 berpenduduk 562 jiwa, dan sebagai negeri keempat terbanyak penduduk di Distrik Tomohon.

Salah seorang Hukum Tua, yakni Johannis J.Sangi yang memerintah tahun 1893-1923, sempat diangkat menjadi anggota dewan kehakiman (lid Landraad) Manado bulan Juli 1906. Ia pun dikenal sebagai Hukum Tua Bintang, karena memperoleh penghargaan pahala sipil untuk dedikasi dan masa dinas yang lama, yakni bintang bronzen ster voor trouw en verdienste dengan beslit Gubernur Jenderal Hindia-Belanda. Ketika meninggal tanggal 25 Agustus 1923, pemakamannya dilakukan dengan penghormatan besar serta tembakan salvo dari pasukan kehormatan.

Penggantinya Simon Wondal sama berwibawa, memimpin Kamasi 1923-1945, bahkan dipercaya merangkap Hukum Tua Kolongan tahun 1931. Simon Wondal juga dianugerahi Belanda dengan bintang bronzen (perunggu) tahun 1937.  

Tanggal 1 Januari 1981 ketika Kamasi dipimpin Hukum Tua Turambi Turang, status desa menjadi kelurahan, dengannya sebagai Lurah pertama. Kantor desa dan balai yang ada sekarang dibangun di periodenya sebagai Kepala Desa, dan diresmikan Bupati Minahasa ketika itu Bern Gustav Lapian bulan Agustus 1979.

Pertumbuhan pesat Kamasi, membawa Kampung Baru yang dibuka resmi 17 Agustus 1965 di masa Hukum Tua Menase Kainde, berawal dari 26 kepala keluarga, dimekarkan menjadi satu kelurahan bernama Kamasi Satu tanggal 29 Agustus 2008. ***


  ------------

[1].Sebutan lain dari Kepala (Hoofd) Negeri yang yang masih dipakai hingga pertengahan abad ke-19, kemudian dipilah lebih rinci untuk negeri besar sebagai Hukum Tua dan negeri kecil sekedar Hukum.
[2].Putri Pangemanan Lontoh dengan Tumete Liwun (Maria Lontoh) bernama Elisabeth Pangemanan Lontoh dikawini Lukas Wenas (Hoofd Talete 1831-1862 dan Kepala Distrik Tomohon 1862-1878), dan menurunkan keluarga Wenas Tomohon.
[3]. Inggris berkuasa ulang untuk periode kedua di Sulawesi Utara sejak pengganti Prediger yakni Residen Marinus Balfour menyerah di Manado pada Kapten Edward Tucker dari Inggris tanggal 24 Juni 1810. Belanda berkuasa ulang mulai 21 April 1817.



·         Sumber foto:Koleksi Maritiem Digitaal.
·         Sumber data: Buku ‘’Riwayatmu Tomohon’’ 1986, Buku ‘’Tomohon Kotaku’’ 2006 dan naskah ‘’Tomohon Dulu dan Kini.’’ Buku  Dr.J.F.G.Riedel ‘’Inilah Pintu Gerbang Pengetahuwan itu’’ 1862; dan buku Nicolaas Graafland  (terjemahan Yoost Kullit) ‘’Minahasa Masa Lalu dan Masa Kini’’ 1987, dan ‘’Inilah Kitab Batja akan Tanah Minahasa’’1863.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.