![]() |
Pemandangan di stad Tomohon tahun 1920-an. |
Besok (tanggal 25 Juni 2019), Kelurahan Kamasi di Kecamatan Tomohon Tengah memperingati hari ulang tahun yang ke-340, merujuk ke tanggal 25 Juni tahun 1679. Tahun ketika dilakukan penandatangan kontrak politik Balak-Balak Minahasa dengan Kompeni Belanda yang berlangsung tanggal 10 Januari 1679 di Manado, di mana Tomohon diwakili Paat Kolano yang kelak bergelar terhormat sebagai Hoofd (Kepala) Hukum Majoor.
Kamasi memang sudah tua, bahkan bersama Talete telah ada jauh-jauh
hari sebelum tahun yang telah diputuskan itu.
Dr.Johan Friedrich Gerhard Riedel memastikan pendiri Kamasi bersama Talete adalah Mangantung (Mangangantung), Mapalendeng-tinamberan, Pondaag, Mamengko, Gosal dan Sambuaga. Mereka adalah cucu-cucu Tonaas Mokoagow (Rori), tokoh yang pertama membawa penduduk pindah dari Meiesu.
Dr.Johan Friedrich Gerhard Riedel memastikan pendiri Kamasi bersama Talete adalah Mangantung (Mangangantung), Mapalendeng-tinamberan, Pondaag, Mamengko, Gosal dan Sambuaga. Mereka adalah cucu-cucu Tonaas Mokoagow (Rori), tokoh yang pertama membawa penduduk pindah dari Meiesu.
Peristiwa pendirian
tersebut menurutnya terjadi beberapa waktu setelah pembagian di Watu Pinawetengan. Selain
Kamasi dan Talete (masih dicatat Limondok), negeri lain yang didirikan oleh para
cucu Mokoagow ini adalah Kinupit, Toumaajah, Rangihir, Tounbuntu dan
Lingkonkong. Negeri-negeri inilah yang membentuk ‘kota’ Tomohon pertama.
Dari
negeri-negeri awal Pakasaan lalu Balak dan Distrik Tomohon ini, di abad ke-17,
tertinggal tiga nama yang ada. Kamasi, Talete dan Tomohon. Lima negeri lain
telah menyatu sebagai bagian tak terpisahkan dari negeri besar Tomohon.
Penulis
terkenal Belanda Francois Valentijn dalam buku ‘’Oud en Nieuw Oost-Indien’’
terbitan tahun 1714 mencatat laporan Residen Manado Abraham Meyert tahun 1682 bahwa
Kamasi (ditulis Cormasje) menjadi satu pemukiman dengan Tomohon (ditulis Tomon).
Dua negeri ini berpenduduk sebagai 800 awu
(kepala keluarga, sekitar 4.000 jiwa), dan terpisah dengan Talete yang disebutnya
Tontelette berpenduduk 80 awu.
Pemukiman
awal Kamasi hingga peristiwa gempa bumi 8 Februari 1845 berada di bagian barat Kamasi
sekarang. Dari lokasi Stambak di Nimawanua, Ranoneperet, Wakan hingga Kilomata
yang menjadi batas dengan Kakaskasen di Nawanuanya.
Kamasi berada di tengah ruas jalan pertama (masih setapak) dari arah Manado melalui negeri Kakaskasen tua (Nawanua) ke negeri tua Tomohon di Nimawanua hingga ke negeri tua Sarongsong di Tulau dan Amian-Nimawanua.
Areal
perkebunan milik penduduk membentang tanah-tanah luas di lokasi Walian, bahkan mencapai Pangolombian, yang di masa
berikut didirikan penduduk Kamasi menjadi negeri baru.
Konsentrasi
penduduk besar berada di dekat Ranoneperet. Karena pekuburan tua waruga berada
di lokasi ini, tidak terlalu jauh dengan Pinati yang menjadi tempat pengambilan
waruga Kamasi dan Tomohon di masa lalu.
Baru setelah
kejadian gempa bumi 1845, pemukiman Kamasi dibangun di sebelah timur, mendekati
ruas jalan yang telah dibangun pemerintah kolonial.
Asal nama
Kamasi memunculkan beberapa versi. Ada menyebut dari nama tumbuhan yang dibuat
obat tradisional disebut Kamasi atau Masi’
atau Kamesi, yang menurut Zendeling
dan penulis Nicolaas Graafland bernama Latin Cubilis rumphii. Ada pula pendapat timbul dari jenis pohon bernama
Kamasi yang di masa lalu tumbuh di tempatnya.
Versi lain lagi
namanya dari Kakmas, karena pemukiman
awalnya berawa-rawa, kotor dan bernyamuk. Paulus Supit, pengarang novel ‘’Kasih
Ibu’’ memberi versi berbeda kalau di lokasi mata air Mararesak (batas dengan
Kolongan), biasa dilaksanakan permainan rakyat Bakubintik (Mawintian), yakni adu kekuatan kaki pukul betis, tapi,
di atas sebatang bambu menguji siapa orang terkuat di Tomohon. Yang kalah akan
jatuh di telaga berbecek, dan dari rupa yang kotor setelah berlaga inilah
sebutan Kakmas tercetus.
Masih ada
menyebut nama Kamasi berasal dari Kamasilan,
yakni jenis gelang (kulalu) dari akar
bahar. Tapi, versi ini dikaitkan dengan Tonaas Tinaras ketika penduduk Kamasi
lari mengungsi setelah kejadian gempa bumi 1845. Ia menemukan akar bahar di
lokasi berdekatan Bukit Wawo. Padahal, nama Kamasi justru sudah lama muncul dan
dicatatkan jauh-jauh hari dalam arsip kolonial.
Beberapa
tokoh asal Kamasi terkenal dalam legenda bahkan dalam catatan sejarah. Dua
wanita yang harum namanya adalah Ringking Bulawan yang menyebabkan Perang
Kamasi, serta Laya, istri pertama Kepala Balak Tombariri Pacat Supit Sahiri.
Bahkan Supit dipercayai ketika meninggal awalnya dikuburkan di lokasi
Ranoneperet, sebelum dipindahkan ke Katingolan Woloan.
Tapi tokoh
berasal Kamasi paling masyur di masa silam adalah Lontoh Tuunan. Hukum [1] Kamasi
tahun 1785-1803 dan kemudian Kepala Balak Tomohon tahun 1803 hingga 1809.
Lontoh
Tuunan merupakan keturunan dari Kepala Balak Sarongsong, Kepala Balak Tomohon
dan para Hukum Kamasi di abad ke-17 dan 18. Ia merupakan sosok disegani dan dicintai
rakyat dan ketika masih sebagai Hukum Kamasi menentang Kepala Balak Tomohon
Mamengko (versi lain bernama Loho), sehingga kemudian menggantikannya.
Dari
silsilah keluarga Lontoh Kamasi dan Sarongsong, ia disebut sebagai anak Hukum
Kamasi bernama Wowor (2) yang disebut juga Pasiowan, sementara ibunya Mapalendeng
adalah cucu Hukum Majoor Kepala Paat Kolano (Kepala Balak Tomohon). Wowor (2)
sendiri adalah anak kedua dari Hukum
Majoor Rondonuwu (Kepala Balak Sarongsong), dan cucu Hukum Majoor Kepala Lontoh
Kolano. Ibu Wowor (2) istri Rondonuwu bernama Rameij, adalah anak Hukum Kamasi
bernama Wowor (1) yang dihadiskan memerintah di Kamasi tahun 1705-1740.
Selain
menjadi Kepala Balak Tomohon, Lontoh Tuunan praktis memerintah Sarongsong.
Kepala Balak Sarongsong ketika itu Tamboto tidak memiliki putra, hanya dua anak
gadis. Salah seorang dari mereka bernama Tumete Liwun (dibaptis Kristen
bernama Maria Lontoh) dikawini anak Lontoh Tuunan bernama Pangemanan. [2]
Sejarawan yang
mantan Bupati (KDM) Minahasa Bert Supit dalam bukunya ‘’Minahasa dari Amanat
Watu Pinawetengan sampai Gelora Minawanua’’ terbitan tahun 1986, menggambarkan pengaruh
Lontoh Tuunan sangat besar mencapai banyak negeri dan balak lain di Minahasa.
Lontoh
Tuunan yang dijulukinya si Tua’a Tombulu, Anoa dari Lokon menjadi organisator
utama Perang Minahasa di Tondano yang berlangsung tahun 1808-1809.
Tanggal 1
September 1808 kolonial Belanda yang dipimpin Residen Carel Cristoffel Prediger
(memerintah 6 November 1803-April 1809) menyerang Lontoh. Setelah bertempur
sengit, dengan pasukannya Lontoh pergi ke Tondano (Minawanua).
Besoknya (2
September) Residen Prediger yang terpukul mundur di Tondano, kembali ke Tomohon
dan membumihanguskan Kamasi, sehingga penduduk lari mengungsi.
Lontoh
Tuunan sebagai tokoh utama perang
tersebut bersama para kepala lain baru tertangkap setelah Minawanua Tondano
diblokade.
Pada bulan
Juli 1809, ia ditangkap patroli Belanda ketika akan memasuki Minawanua dari
Remboken. Lontoh Tuunan dikenali beberapa bekas teman dekatnya yang telah
menjadi kaki tangan Belanda dan menyamar sebagai pencari sagu. Versi lain
penangkapannya terjadi ketika ia mundur ke Tomohon karena Minawanua sudah
kekurangan makanan serta amunisi. Cerita lain lagi, ia tertangkap di perkebunan
Wawo Walian dalam perjalanan ke Sarongsong.
Lontoh
Tuunan dibawa dan ditahan di benteng Nieuw Amsterdam Manado, kemudian
diinternir ke Ternate bersama Tewi, pejuang lainnya.
Menurut
keturunannya, Lontoh kembali ke Tomohon ketika Inggris berkuasa dan
membebaskannya. [3]
Ada versi,
Lontoh Tuunan diberi pangkat Kapitein oleh Inggris karena membantu Inggris
melawan Belanda. Keturunannya menyebut Lontoh Tuunan dikuburkan di Nimawanua
Tomohon. Tapi ketika Belanda berkuasa ulang tahun 1817, kuburnya digali,
dipindahkan di tanah miliknya di Kolongan (menjadi lokasi kelas SMP Katolik
Stella Maris). Konon, saat pemindahan tersebut sempat ditemukan bintang ‘jasa’
dari Inggris yang di masa berikut telah hilang.
Keheroikan
Lontoh Tuunan pantas dimonumenkan, dan diperjuangkan menjadi pahlawan nasional.
Di tahun
1992, ada usaha mengusung kisah perjuangan Lontoh Tuunan bersama tokoh lain dalam
Perang Minahasa di Tondano. Sayang film dengan judul ‘’Benteng Moraya 1809’’ tersebut gagal, meski Wakil Presiden masa itu Try
Soetrisno telah bertindak sebagai sutradara kehormatannya.
Setelah
Lontoh Tuunan, dikenal sebagai Hukum Kamasi adalah Sangi, sekitar tahun
1810-1830. Kemudian anaknya Pandeirot yang disebut Graafland sebagai Mangulu,
pemimpin pasukan Tulungan berasal Balak Tomohon tahun 1829 dalam kontingen tentara
Tulungan dikomando Majoor Tololiu Hermanus Willem Dotulong memerangi Pangeran
Diponegoro. Ia memperoleh pangkat militer dari Belanda Kapitein, dan
diwarugakan di Ranoneperet.
Pandeirot,
disebutkan diganti saudaranya bernama Sampouw yang memerintah dibantu Karias
Wondal dan Reling Paat sebagai teterusan
serta Marentek sebagai walian. Karias
dan Reling Paat ditutur sebagai tokoh sakti yang banyak membunuh musuh yang
mengganggu Kamasi. Kubur Sampouw, Karias dan Reling Paat berada di Ranoneperet
tua (sekarang lokasi berdiri Poskesdes Kamasi), sementara Marentek diwarugakan
di Nimawanua.
Tanggal 8
Februari 1845 terjadi gempa bumi dahsyat di Minahasa. Rumah-rumah tiang yang
kokoh roboh. Koran-koran Batavia dan Belanda mencatat di Distrik (telah mengganti
sebutan Balak) Tomohon rata-rata rumah roboh atau sebagian hancur dengan empat
belas korban jiwa dan empat puluh korban luka.
Akibat
gempa, penduduk Kamasi menyingkir di Walian, lokasi perkebunan milik orang
Kamasi. Sisa-sisa pemukiman masih ditemukan tahun 1980-an, termasuk lokasi
pengambilan air minum di mata air yang bernama Rano ne Kamasi, sekarang masuk
kepolisian Kelurahan Matani Dua.
Di
pengungsian Walian telah tampil sebagai pemimpin Tonaas Tinaras yang juga
disebut dengan nama Timon Tudus sebagai Hukum dengan gelaran Rarangkang un Wanua atau pelindung
negeri. Banyak versi tentang dirinya, ada menyebut ia asli Kamasi, namun versi
lain keturunan Tonsea, seperti halnya Lukas Wenas dari Talete. Timon Tudus pun
dianggap nama seraninya ketika dibaptis Kristen (namun disebut Simon Tulus).
Tinaras
membawa kembali penduduk dari pengungsian Walian ke lokasi Kamasi sekarang.
Ada
versi-versi kalau Pangemanan Lontoh, anak Lontoh Tuunan, sempat pula menjadi
Hukum Kamasi. Juga Petrus Wenas, anak Lukas Wenas, sebelum menjadi Hukum Kedua Tomohon
di Rurukan, sempat memangku secara singkat jabatan Hukum Tua Kamasi.
Yang pasti,
Christiaan Lontoh, dipilih pertama menjadi Hukum Tua Kamasi di tahun 1876.
PUSAT PEMERINTAHAN
Sejak
pembangunan Tomohon baru di tahun 1845 Kamasi mulai menjadi pusat pemerintahan
Distrik Tomohon. Di tahun 1862 dibangun kantor distrik (tahun 1966 jadi kantor
kecamatan, dan dijual 1971 jadi toko). Juga pembukaan Sekolah Genootschap (milik NZG) tahun 1858.
Sekolah tersebut masa itu merupakan sekolah paling terkemuka di Minahasa (kelak dipakai Sekolah
Kepandaian Putri, Kopschool, Kantor
Sinode GMIM 1934, RS GMIM Bethesda 1950 dan sekarang Akper RS Bethesda).
Di Kamasi,
dibangun pula pasar Tomohon (di lokasi Balai Kelurahan sekarang) sampai
dipindah di Paslaten tahun 1913. Juga kantor pos disamping kantor distrik sejak
31 Januari 1905 dan bertambah kantor kawat (kelak Telkom hingga 1985). Penjara
anjing lalu penjara sejak 1942 hingga 1985, Balai Koperasi tahun 1925 yang pernah
menjadi Pusat Koperasi Minahasa (PKM). Bahkan, rumah bersalin, rumah piatu
hingga bioskop Sonya di tahun 1949. Tentu juga dengan tumbuhnya pertokoan,
rumah kopi dan rumah makan, sampai pompa bensin hingga 1979.
Namun, di akhir
tahun 1852, Dr.Pieter Bleeker mencatat Kamasi berpenduduk masih sedikit, 501
jiwa. Tahun 1859 menurut Graafland sebanyak 520 jiwa, meski sudah termasuk
salah satu negeri terbesar di Distrik Tomohon. Tahun 1859 berpenduduk 562 jiwa,
dan sebagai negeri keempat terbanyak penduduk di Distrik Tomohon.
Salah
seorang Hukum Tua, yakni Johannis J.Sangi yang memerintah tahun 1893-1923,
sempat diangkat menjadi anggota dewan kehakiman (lid Landraad) Manado bulan Juli 1906. Ia pun
dikenal sebagai Hukum Tua Bintang, karena memperoleh penghargaan pahala sipil
untuk dedikasi dan masa dinas yang lama, yakni bintang bronzen ster voor trouw en verdienste dengan beslit Gubernur
Jenderal Hindia-Belanda. Ketika meninggal tanggal 25 Agustus 1923, pemakamannya
dilakukan dengan penghormatan besar serta tembakan salvo dari pasukan
kehormatan.
Penggantinya
Simon Wondal sama berwibawa, memimpin Kamasi 1923-1945, bahkan dipercaya merangkap
Hukum Tua Kolongan tahun 1931. Simon Wondal juga dianugerahi Belanda dengan
bintang bronzen (perunggu) tahun 1937.
Tanggal 1
Januari 1981 ketika Kamasi dipimpin Hukum Tua Turambi Turang, status desa
menjadi kelurahan, dengannya sebagai Lurah pertama. Kantor desa dan balai yang
ada sekarang dibangun di periodenya sebagai Kepala Desa, dan diresmikan Bupati
Minahasa ketika itu Bern Gustav Lapian bulan Agustus 1979.
Pertumbuhan
pesat Kamasi, membawa Kampung Baru yang dibuka resmi 17 Agustus 1965 di masa
Hukum Tua Menase Kainde, berawal dari 26 kepala keluarga, dimekarkan menjadi satu
kelurahan bernama Kamasi Satu tanggal 29 Agustus 2008. ***
------------
[1].Sebutan lain dari
Kepala (Hoofd) Negeri yang yang masih
dipakai hingga pertengahan abad ke-19, kemudian dipilah lebih rinci untuk
negeri besar sebagai Hukum Tua dan negeri kecil sekedar Hukum.
[2].Putri Pangemanan Lontoh dengan Tumete Liwun (Maria
Lontoh) bernama Elisabeth Pangemanan Lontoh dikawini Lukas Wenas (Hoofd Talete
1831-1862 dan Kepala Distrik Tomohon 1862-1878), dan menurunkan keluarga Wenas
Tomohon.
[3]. Inggris berkuasa ulang untuk periode kedua di Sulawesi
Utara sejak pengganti Prediger yakni Residen Marinus Balfour menyerah di Manado pada
Kapten Edward Tucker dari Inggris tanggal 24 Juni 1810. Belanda berkuasa ulang
mulai 21 April 1817.
·
Sumber foto:Koleksi Maritiem Digitaal.
·
Sumber data: Buku ‘’Riwayatmu Tomohon’’ 1986,
Buku ‘’Tomohon Kotaku’’ 2006 dan naskah ‘’Tomohon Dulu dan Kini.’’ Buku Dr.J.F.G.Riedel ‘’Inilah Pintu Gerbang
Pengetahuwan itu’’ 1862; dan buku Nicolaas Graafland (terjemahan Yoost Kullit) ‘’Minahasa Masa
Lalu dan Masa Kini’’ 1987, dan ‘’Inilah Kitab Batja akan Tanah Minahasa’’1863.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.