Kamis, 13 Juni 2019

Kamasi. Negeri Tertua Tomohon








Pinati, lokasi pengambilan waruga.




Kamasi, kelurahan yang berada tepat di stad (pusat) Kota Tomohon, menjadi satu-satunya negeri yang paling lestari namanya di Kota Tomohon. Kamasi pun dipastikan adalah negeri paling tua, dibanding umpama kelurahan-kelurahan lain yang membentuk pusat Kota Tomohon sekarang berasal eks Distrik Tomohon, yakni: Talete, Matani, Kolongan dan Paslaten, tidak terhitung Walian, yang didirikan oleh para pemukim berasal Kamasi.

Negeri yang menyamai usia Kamasi adalah Talete, tetangganya di sebelah utara. Tapi, nama awalnya dikenal sebagai Limondok atau Sumondak, bukan langsung Talete, seperti halnya Kamasi. Demikian pula dengan sebutan Matani di sebelah selatan yang baru tercetus dan berdiri di akhir abad ke-18; seperti juga nama Paslaten dan Kolongan baru dikenal pada pertengahan abad ke-19. Kamasi sejak pendiriannya,–jauh-jauh hari memang–telah bernama demikian.

Legenda dan hadis-hadis Tombulu telah mengungkap kisah-kisah tua berkait Kamasi sejak setelah pembagian Tanah Minahasa di Watu Pinawetengan Desa Pinabetengan Kecamatan Tompaso Kabupaten Minahasa sekarang. Ada banyak tafsiran tahun pembagian Minahasa tersebut. Paling tua, pendapat dari peneliti terkenal Belanda Dr.Johann Friedrich Gerhard Riedel yang menegas bahwa kejadian tersebut terjadi di tahun 650 Masehi. Namun, ada pula taksiran yang berbeda, beberapa ahli menaksir pembagian di Watu Pinawetengan berlangsung tahun 1000, bahkan juga tahun 1300-an.

Lalu siapa pendiri Kamasi?

Doktor Riedel, putra dari Zendeling Tondano terkenal Johann Friedrich Riedel, dalam tulisannya tahun 1862 mengungkap bahwa Kamasi di­­­dirikan bersama-sama Talete. Kejadiannya adalah beberapa waktu setelah pembagian di Watu Pinawetengan.

Para pendirinya di­se­but Mangantung (Mangangantung), Ma­mengko, Ma­pa­lendeng-ti­nam­be­ran, Pondaag, Go­sal dan Sam­­bu­a­ga. Mereka adalah cucu Tonaas Mokoagow, pendiri Saru, yakni negeri awal Tomohon yang terletak di kaki Gunung Masarang, setelah sebagian penduduk Tombulu dipimpin Mokoagow pindah dari Maiesu (Meyesu, Meiesu) di Kinilow tua.

Namun, selain Kamasi dan Talete (ditulis Sumondak atau Limondok atau Limendok), negeri lain yang didirikan bersamaan oleh para pionir tersebut adalah: Lingkongkong, Toumunto, dan Kinupit. Doktor Riedel sendiri menyebut negeri-negeri ini sebagai Kinupit, Tou un maajah atau Toumaajah, Rangihir, Touunbuntu  dan Lingkonkong. Inilah negeri-negeri pertama dari  kota Tomohon, dimana kemudian nanti hanya tinggal tersisa Kamasi dan Talete saja.

Ada lagi, kisah tentang seorang gadis cantik Kamasi bernama Ringking Bulawan (Ringkingbulaon) yang dilarikan oleh pemuda bernama Kainde dari Kinilow (Kakaskasen). Peristiwa tersebut telah menyebabkan terjadi sengketa dan perang antara Kamasi/Tomohon dengan Kakaskasen yang menurut Doktor Riedel terkenal dengan nama ‘Peperangan Kamasi’. Perdamaian baru terjadi setelah para kepalanya bersepakat di Ilomata.

Lokasi Ilomata.

Kemudian gadis Kamasi lain yang tak kalah masyur bernama Laya, hidup di dekade kedua abad ke-17. Laya telah disunting oleh Tonaas Supit atau bernama lengkap Pacat Supit Sahiri Macex, Kepala Balk [1] Tombariri, ketika Tombariri masih berkedudukan di Katingolan.[2]

Ketika Supit meninggal bulan Maret 1731, dihadis sang Hukum Majoor Kepala (Hoofd Hoecum Majoor) tersebut awalnya diwarugakan di Kamasi. Tapi kemudian waruganya telah diambil diam-diam pada suatu malam oleh penduduk Tombariri dibawa ke Katingolan.

Nama Kamasi sendiri pertamakali dicatatkan secara resmi dalam dokumen sejarah masa Gubernur Maluku di Ternate Dr.Robbertus Padtbrugge (berkuasa 1675-31 Agustus 1682). Sumber utamanya berasal dari raport (laporan) Opperhoofd (Residen) Kompeni Belanda di Manado Abraham Meyert tahun 1682.
Raport tersebut dikutip kembali oleh penulis Belanda terkenal Francois Valentijn dalam bukunya ‘Oud en Nieuw Oost-Indien’ terbitan tahun 1714. Kamasi dicatat Valentijn dengan nama Cormasje, sebuah negeri tergolong besar di Tanah Minahasa, terletak hampir menyatu dengan Tomohon yang disebut dengan nama Tomon, serta agak terpisah dengan Talete yang dicatat sebagai Tontelette.

Sebutan Cormasje dapat dipastikan sebagai penangkapan telinga dan lidah pejabat Belanda ketika itu akan nama negeri ini. Bukan merupakan asal nama Kamasi, karena memang telah bernama Kamasi sejak sebelum Kompeni Belanda menginjakkan kaki dan ‘berkuasa’ di Minahasa yang ditandai oleh penandatanganan Kontrak (Verbond, perjanjian) Kompeni Belanda diwakili Gubernur Padtbrugge dengan para kepala Minahasa 10 Januari 1679.

LONTOH TUUNAN

Masa pemerintahan Hindia-Belanda (pengganti rezim Kompeni Belanda), sebuah peristiwa besar mencuatkan nama Kamasi, dan tokoh besarnya bernama Lontoh Tuunan. Kamasi sampai dibumihanguskan pasukan Belanda, diperintah oleh Residen Manado Carel Christoffel Prediger (berkuasa 6 November 1803-1809), karena peran Lontoh Tuunan sebagai putra Kamasi dan Kepala Balk Tomohon dalam Perang Minahasa di pulau delta Minawanua Tondano 1808-1809. Lontoh Tuunan meski berasal dari Kamasi justru dianggap sebagai tokoh utama dalam perang melawan Belanda, berakibat pembuangannya ke Ternate, pusat pemerintahan Maluku, dimana Minahasa dan Keresidenan Manado ketika itu masuk jadi wilayah pemerintahannya.

Sayang keheroikan Lontoh Tuunan yang juga pernah menjadi Hukum [3] Kamasi, sampai sekarang belum dihargai jasa-jasanya. Padahal di Tondano untuk mengenang peristiwa bersejarah tersebut, justru sejak lama telah didirikan patung Korengkeng-Sarapung, dua tokoh Tondano yang sebenarnya saat terjadinya perang Minahasa di Tondano itu banyak dianggap tidak berperan sepenting peran yang telah ditokohkan oleh Lontoh Tuunan.

Tokoh besar lain yang disebut berasal Kamasi adalah Mangulu, yang dalam versi lain disebut bernama Pandeirot. Berbeda Lontoh Tuunan yang anti-Belanda, Mangulu menurut Guru Zendeling dan penulis Belanda terkenal Nicolaas Graafland menjadi pimpinan pasukan berasal Balk Tomohon tahun 1829 dalam kontingen tentara Tulungan Minahasa membantu Belanda memerangi Pangeran Diponegoro. Dalam kontingen pimpinan Majoor Tololiu Dotulong dari Sonder tersebut, Mangulu diberi pangkat militer Kapitein (Kapten), sehingga terkenal dengan nama Kapitein Mangulu. Ia disebut-sebut pernah menjadi Hukum Kamasi pula.

Ranoneperet, banyak waruga tertimbun?

Masih merupakan misteri dan menjadi tanda tanya adalah pemukiman Kamasi tempo dulu ketika penduduk bermukim di lokasi bekas kota lama Tomohon di Nimawanua (sekarang masuk Kelurahan Kolongan Satu). Sangat unik, karena hampir seluas Nimawanua itu mayoritas arealnya dimiliki oleh penduduk dari Kamasi, bahkan mencapai ke Walian dan tanah-tanah Uluindano yang kemudian juga didirikan penduduk Kamasi sebagai sebuah negeri (sekarang terbagi 5 kelurahan). Rata-rata situs dan tinggalan yang ada di kepolisian Kelurahan Kolongan itu dalam tradisi-tradisi dianggap sebagai situs dan peninggalan orang Kamasi tempo dulu. Antaranya waruga beberapa tokohnya, Istambak, Batu Laki-Laki dan Perempuan (disimbolkan batu Toar dan Lumimuut) dan Watu Pahlalesan ne Tou Puuna yang di masa silam, masa animisme, menjadi tempat sakral penduduk Kamasi. Baru mulai dekade 1960-1970-an terjadi alih-status tanah-tanah di Nimawanua, terutama dengan sistem jual-beli.

Yang tampak jelas adalah posisi dan peran vital Kamasi di masa-masa pertumbuhan Kota Tomohon, sebagai negeri utama Pakasaan lalu Balk (sebelum nanti disebut Distrik) Tomohon. Hal mana begitu dominan setelah negeri-negeri pembentuk kota Tomohon pertama, yakni Kinupit, Tou un maajah, Rangihir, Touunbuntu  dan Lingkonkong hilang.

Penguasaan tanah yang sangat luas dari penduduk Kamasi masa silam menyiratkan pula apabila penduduk Kamasi pernah sangat banyak. Maka tidak aneh mereka akan mendirikan Pangolombian dan kemudian Walian pada permulaan tahun 1800-an.

Dibalik misteri ini, muncul pendapat apabila negeri-negeri Matani, Paslaten dan Kolongan yang baru berdiri di akhir tahun 1700-an serta pertengahan tahun 1800-an, telah dibuka pula oleh para pionir Kamasi.

Faktor lain yang menunjang pendapat ini adalah bekas rumah serta waruga Lontoh Tuunan yang berada di lokasi Susteran Tarekat JMJ Kolongan sekarang. Rumah Lontoh Tuunan kemudian diwariskan kepada anaknya Pangemanan lalu turun pada putrinya bernama Elisabet Pangemanan Lontoh yang dikawini Hukum Besar Kepala Distrik Tomohon Lukas Wenas (berkuasa 1862-Desember 1877). Tahun 1901 rumah dan pekarangannya ditukarkan kepada para suster JMJ oleh Herman Wenas, putra Elisabet Lontoh dan Lukas Wenas yang saat itu menjabat Kepala Distrik Tomohon-Sarongsong bergelar Majoor [4] (berkuasa Desember 1877-8 Oktober 1909).

Waruga Lontoh Tuunan, pahlawan perang Minahasa di Tondano sendiri berada di lokasi berdekatan yang sekarang telah menjadi ruang kelas dari SMP Katolik Stella Maris Tomohon.

Beberapa tua Kamasi yang diwawancarai tahun 1970-an dan 1980-an mengungkap apabila Kamasi di masa silam pernah bermukim di arah barat dari pemukiman sekarang, mendekati jalur jalan tua ke Manado dari negeri lama eks Distrik Sarongsong di Amian-Nimawanua, melewati Nimawanua Tomohon tembus negeri lama eks Distrik Kakaskasen di Nawanua. Lokasi pemukiman ini terletak tidak terlalu jauh pula dari areal Ranoneperet yang menjadi lokasi pekuburan tua penduduk Kamasi masa silam, dimana diperkirakan masih menyimpan banyak waruga yang tertimbun tanah, serta tidak jauh pula dari lokasi Pinati yang menjadi tempat pembuatan dan pengambilan waruga bukan hanya bagi penduduk Kamasi, tapi umumnya Tomohon.

Pemukiman Kamasi di tempat ini ditinggalkan ketika terjadi gempa bumi dahsyat 8 Februari 1845. Pemerintah Hindia-Belanda ketika itu membuka jalan baru di lokasi jalan utama Kota Tomohon sekarang, dan menganjurkan penduduk untuk pindah dan membangun rumah bentuk sederhana yang tahan gempa. Kamasi, dikisahkan, baru dibangun di lokasi sekarang setelah penduduk kembali dari mengungsi di Walian.

Kendati demikian, ada pula versi bahwa Kamasi sebenarnya telah berada di lokasi sekarang ketika terjadi pembumihangusan oleh Belanda di tahun 1808, ditandai umpama oleh waruga Kapitein Mangulu di Ranoneperet yang hidup di periode 1820-1830-an. Rumah Lontoh Tuunan disebut-sebut pula berada di lokasi depan kantor Kelurahan Kamasi sekarang.

Sayang memang karena tinggalan-tinggalan tempo dulu khas Minahasa sangat sedikit. Bekas-bekas rumah pemukiman tidak menyisakan apa-apa, karena umumnya terbuat dari papan dan balok, belum bertembok. Sisa-sisa negeri lama ini dengan rumah panggung besar didiami beberapa keluarga mungkin hancur dan tidak berbekas dirobohkan tanah goyang dan tanah terbelah. ***
———
  • [1] Balak, atau lebih terkenal sekarang dengan istilah Walak. Asal istilah ini diduga kuat karena Pakasaan, –demikian nama sebelumnya–sesuai kontrak dengan Kompeni Belanda (VOC) berkewajiban memasukkan balok untuk pembangunan Benteng (Fort) Amsterdam di Manado.
  • [2] Negeri tua Tombariri dan Woloan, kini masuk Kelurahan Woloan Satu Utara. Waruga Supit setelah peristiwa gempa bumi dahsyat tanggal 8 Februari 1845 telah dipindah dari Katingolan ke lokasi kompleks Gereja GMIM ‘Eben Haezer di Kelurahan Woloan Dua.
  • [3] Sebutan Hukum Tua sebelumnya, atau Hoofd.
  • [4] Gelaran atau titel Kepala Balak dan kemudian Kepala Distrik di Minahasa yang dianggap berjasa kepada pemerintah Kompeni Belanda dan Hindia-Belanda. Titel kepala distrik ‘biasa’ adalah hanya Hukum Besar. Pakasaan lalu Balak dan terakhir Distrik sebanding dengan Kawedanaan di Jawa. Kepalanya, Hukum Besar atau yang beroleh titel Majoor memiliki wakil, yakni seorang atau dua orang Kumarua yang kemudian disebut Hukum Kedua. Pola pemerintahan Distrik di Minahasa secara resmi dihapus tahun 1966, digantikan peran Kecamatan. Hukum Kedua yang sebelumnya hanya berbobot sebagai wakil Kepala Distrik ditingkatkan fungsinya sebagai kepala wilayah dengan sebutan Camat. Sementara sebutan Negeri diganti Desa.
Sumber foto: Jootje Umboh dan Jantje Wolah.
Sumber tulisan: Buku ‘Riwayatmu Tomohon’ 1986, buku ‘Tomohon Kotaku’ 2006 dan naskah ‘Tomohon Dulu dan Kini’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.