Kamis, 13 Juni 2019

Woloan, Ibukota Awal Tombariri










Waruga tua di Katingolan.




Woloan bermula bertempat di Katingolan atau disebut juga Katingelan, yang disebut
pula Tombariri. Penyebutan Katingolan atau Katingelan ditafsirkan sebagai celah
sempit yang kemudian melebar, atau tempat yang kecil di tengah. Memang letaknya
(kini Nimawanua), sangat strategis diapit jurang-jurang dalam di utara dan selatannya,
sehingga merupakan perbentengan yang alamiah.

Pintu gerbang masuknya adalah melalui bagian timurnya di celah selebar 5 meter yang
dipasangi jebakan jembatan bambu kimbok dan bambu-bambu runcing ditanam.
Kestrategisannya juga ditambahi oleh 5 sumber mata air penting di bagian utara yang
berjajar dari timur ke barat, yakni mata air Woloan, Sarapun, Manunumbeng, Walean
dan Walanda.

Sebelum di Katingolan, telah berdiri negeri awal yang disebut Tombariri. Pendirinya
adalah Tonaas Kaawoan atau Kauwan, saudara Kepala Kakaskasen bernama
Sumoindong (Lumoindong) serta Tumbelwoto yang mendirikan Tulau sebagai cikal
bakal Sarongsong ¹.

Kaawoan berangkat dari Kinilow tua (Meiesu, Meyesu) dengan rombongannya liwat
Tulau. Ia membangun negeri dinamai Tombariri di tempat yang sekarang dikenal
sebagai perkebunan bernama Tambariri, berdekatan Woloan, masuk kepolisian Lansot
Sarongsong.

Mereka tiba dan bermukim di lokasi mataair yang ditumbuhi rumput wariri. Itulah
sebabnya mereka menyebut diri Touwariri, lalu kemudian Tombariri. Namun, karena
lokasinya dirasa tidak strategis, beberapa waktu kemudian di bawah Lokon Mangundap, 
mereka pindah ke Katingolan, yang juga disebut dengan nama Tombariri, mengenang 
negeri awalnya.

Cerita tentang timbulnya istilah Tombariri bahkan telah ada jauh sebelum Tonaas
Tumbelwoto dan Kaawoan. Konon sebenarnya telah ada pemukiman purba. Pada
suatu hari ketika penduduk sedang mengerjakan Mapalus, datang angin topan, yang
menerbangkan mereka. Yang tertinggal hanya mereka yang sempat memegang rumput
wariri.

Versi lain mengatakan karena dari sinilah Dotu Siow Kurur, tokoh mitos yang jangkung
dan tunawicara ‘diterbangkan’ (meikalaur) ke Sangihe-Talaud (dan juga Mariri Poigar
Bolmong). Konon nama Siau dari namanya, dan Talaud dari peristiwa meikalaur itu.
Namun ada versi lain pula, kalau tokoh perintis pendirian Tombariri adalah Dotu
Tambariri, dengan mengambil namanya, di lokasi perkebunan Tambariri sekarang. 

Dari silsilahnya disebutkan Dotu Tambariri memperistri Arus. Keduanya memperoleh putri
bernama Rekesan yang disebut juga Wangke. Rekesan dari suami pertama bernama
Untu memperoleh anak wanita bernama Salea yang diperistri Tonaas Ohlor alias
Makiohloz, tokoh Kakaskasen terkenal.

Ketika Tonaas Kaawoan meninggal, Tombariri dihikayatkan diperintah oleh Tonaas
Pasiowan, dan dimasa itu pengayauan merajalela, sehingga diundang Tonaas Lokon
Mangundap dari Kakaskasen. Lelaki gagah berani ini bersama Kalelo, Aper, Karundeng, 
Kapalaan dan Posumah, berhasil memberantas para pengayau Zakian dan Zaziha yang
 merajalela di Mandolang (kini Buloh-Tateli Weru, Pineleng) ².

Dikisahkan, mereka mengalahkan para pengayau dengan membuat boneka kayu Wolo
menyaru rupa mereka. Saat malam, ketika ditusuk, senjata penyamun tidak dapat
ditarik kembali. Kemudian dari balik persembunyian mereka balas menyergap, lalu
memenggal kepala-kepala pengayau.

Lokon Mangundap segera menjadi Kepala Pakasaan Tombariri, kira-kira tahun 1500-an
di Katingolan (waruganya berada di negeri tua ini). Tombariri yang semula hanya
meliputi Katingolan dan sebelah selatan sungai Ranowangko hingga pantai barat liwat
pegunungan Manembo-nembo, ditambahinya dengan wilayah yang diambil Lokon
Mangundap dari Bantik (versi lain pemberian dari Kepala Kakaskasen sebagai hadiah),
yakni sebelah utara sungai Ranowangko, meliputi gugusan dari gunung-gunung: Lokon, 
Kasehe, Tatawiren hingga di tepi pantai sebelah barat.

Maka, segera dari Katingolan keluar keluarga-keluarga yang menyebar ke arah barat
dan membangun negeri baru. Begitu pun kawasan Tombariri ramai ditambahi oleh
pemukim Tombulu yang berdatangan dari Sarongsong, selain dari Kakaskasen.

Nama Woloan sebagai negeri Katingolan tercetus dimasa Lokon Mangundap ini. Konon
ketika pulang dari Mandolang, kepala Zakian dan Zaziha dibawa ke Katingolan untuk
dipamerkan. Tapi saat mereka singgah di mataair yang ada di bagian utara negeri dan
membuka daun pisang pembungkus kepala Zakian dan Zaziha, seluruh paras muka
mereka telah dipenuhi oleh mahreput atau kalumpang yang disebut Wolo atau Molon.
Maka, tempat itu dinamai Woloan, termasuk mataairnya ᵌ.

Tombariri-Woloan menjadi negeri maju di Minahasa ketika itu. Bulan April tahun 1619
Pater Blas Palomino dari Ordo Fransiskan bersama penulisnya P.Poega serta sejumlah
tentara Spanyol berkunjung ke Woloan-Katingolan dari arah Sarongsong. Negeri di
Katingolan ini ditulisnya sebagai Tombar.

Masa berikut, dari Tombariri muncul tokoh terkenal Supit. Ia dihadiskan bersama-sama
Lontoh Mandagi dari Sarongsong, Paat Kolano dari Tomohon serta Lontaan dari
Kakaskasen pergi ke Ternate tahun 1654 mengundang Belanda datang ke Minahasa
dan untuk mengusir Spanyol. 


Tiga Serangkai Supit-Lontoh-Paat.

Supit menjadi tokoh penting Minahasa, ikut meneken Kontrak Perjanjian (Verbond
Minahasa-Belanda tanggal 10 Januari 1679. Pihak Kompeni Belanda (VOC) sendiri 
diwakili Gubernur Maluku di Ternate Dr.Robertus Padtbrugge. Dalam kontrak tersebut 
namanya disebut sebagai Kapitein Pacat Supit (selengkapnya gelaran namanya adalah 
Pacat Supit Sahiri Macex). Gelaran Sahiri disandangnya karena ia menjadi saksi 
perjanjian bersejarah tersebut. Disamping itu arti sahiri adalah penengah atau penegak.

Sketsa lain Pacat Supit Sahiri Macex.

Supit kemudian menjadi Kepala Balak (Balk, atau sekarang lazim disebut Walak)
Tombariri dengan menggantikan ayah tirinya bernama Ombeng. Ia pun tahun 1689
memperoleh gelaran sebagai Hoofd Hoecums Majoor atau Kepala Hukum Majoor,
bersama-sama dengan Lontoh dan Paat. Sebagai penengah atau penghubung kepala
Minahasa lain dengan Belanda, sehingga sangat berkuasa dan ditakuti di Minahasa.
Kepala Balak Minahasa lain saat itu hanya bergelaran Hukum Majoor.

Bersama-sama dengan Lontoh dan Paat pula, Supit meneken Perjanjian tanggal 10
September 1699 dengan Residen Belanda di Manado Kapitein Paulus de Brevinghe.
Tombariri di Katingolan-Woloan di masa Supit menjadi negeri besar, kaya dan sangat
maju di Minahasa setelah Manado dan Tomohon. Dalam memori serahterima jabatan
Gubernur Robertus Padtbrugge tahun 1678, Tombariri (mengutip laporan dari
Opperhoofd atau Residen Manado Abraham Meyert), ditulis Tomberie, dan dicatat
berpenduduk sebanyak 400 awu, atau sekitar 2.000 jiwa.

Banding Balak Tomohon (ditulis Tomon) menyatu dengan Kamasi (Cormasje)
berpenduduk 800 awu (4.000 jiwa), ditambah Talete (Tontelette) 80 awu. Sarongsong
(ditulis Zeronson) berpenduduk 70 awu (350 jiwa), Kakaskasen (Cascasse) 100 awu
(500 jiwa).

Banding pula Tonsea baru berpenduduk 70 awu (350 jiwa), Aris (Ares) 100 awu (500
jiwa), Manado 40 awu (200 jiwa), Tombasian 80 awu (400 jiwa), Tondano 700 awu
(3.500 jiwa), Kakas 300 awu (1.500 jiwa), Langowan 250 awu (1.250 jiwa), Tongkimbut
(Kawangkoan dan Sonder) 700 awu (3.500 jiwa), Tompaso 70 awu (350 jiwa), serta
Rumoong 60 awu (300 jiwa).

Dari peta masa Gubernur Padtbrugge juga, tergambarkan negeri Balak Tomohon-
Kakaskasen dan Tombariri merupakan segitiga, yang dihubungkan jalan dari Manado.
Negeri Balak Tombariri dalam peta ini masih terkonsentrasi di Katingolan-Woloan, 
dan sama sekali tidak dilukiskan ada jalan lain ke arah pantai atau pun Tanawangko. Letak
Tombariri di Katingolan sangat dekat dengan Sarongsong yang masih berkedudukan di
negeri tuanya Tulau. Selain jalan ke Sarongsong, ada juga jalan langsung ke Tomohon
yang masih berkedudukan di negeri tua Nimawanua (sekarang Kolongan), serta ke
Kakaskasen, masih di negeri tuanya Nawanua (di Kakaskasen III sekarang).

Negeri-negeri lain di Balak Tombariri tidak disebutkan, mungkin karena tidak dikunjungi, 
tapi, kemungkinan besar pula karena belum berdiri. Nama Tanawangko pun belum (tak) 
ada dalam peta ini.

Peta Masa Padtbrugge.

Supit Sahiri adalah seorang petualang. Dari perkawinannya dengan putri-putri Tondano 
bernama Riri dan Wair, maka dia otomatis juga menjadi Kepala Balak Tondano tahun 
1710-1730. Dari Riri, Supit memperoleh anak bernama Nulu yang dikawini Rambek, dan 
kelak menurunkan kepala-kepala di Tondano, seperti Jacob Supit.

Supit Sahiri pun menjadi menantu Kepala Balak Ares (sekarang masuk Manado).
Menurut kisah, istri Supit dari Ares bernama Suanen, putri Kepala Ares Lolong (versi
lain istri Kepala Balak Ares bernama Rumondor). Supit bila turne ke Manado selalu
singgah di rumah Kepala Ares. Suanen jatuh cinta padanya dan dalam kesempatan
acara panen petik padi baru (konon ajang perkawinan masa itu), ia menyanyi
menyatakan perasaan cintanya. Keduanya menjadi suami-istri, dan memperoleh anak
bernama Tololiu Supit yang kelak menjadi Kepala Balak Ares. Suanen menjadi istri
ketiga Supit, tinggal dan mati di Ares.

Istri pertama Supit Sahiri adalah Laya dari Kamasi Tomohon, yang memberinya anak
bernama Rondonuwu yang kelak menjadi Kepala Balak Tomohon. Sementara istri
keduanya adalah Woki Konda. Woki Konda dikisahkan merupakan putri Kepala Balak
Pasanbangko (Ratahan) Watuseke. Ketika terjadi penghukuman terhadap
Pasanbangko yang masih berupeti kepada Raja Bolaang (Mongondow), meski
wilayahnya telah resmi masuk Minahasa, Supit dikirim Kompeni Belanda untuk
menundukkan dengan kekerasan senjata (versi resmi, ia sekedar mendampingi
Komandan Benteng Amsterdam Manado Sersan Herman Smith pada bulan Februari
1682 menyerang untuk menghukum Ratahan, Pasan, Ponosakan dan Tonsawang).

Dikisahkan, Kepala Balak Pasanbangko sangat takut, dan mengirim putrinya yang
cantik bernama Woki Konda untuk menyambut. Melihatnya, Supit segera jatuh cinta
dan mengawininya. Namun, ketika Laya, istri pertama Supit mendengar kejadian itu, ia
mengancam akan merobek-robek (kesee’en) mulut Woki Konda. Supit yang takut
menyembunyikan Woki Konda di ibukotanya Katingolan.

Dari Woki Konda (waruganya berada di negeri tua Lolah, tapi, dipercayai dan menurut
orang Lolah sebagai putri asal Lolah), Supit memperoleh anak bernama Mongi dan
Tinangon yang kelak menggantikannya menjadi Kepala Balak Tombariri berturut-turut.
Selain itu, dikisahkan Supit mempunyai selir di setiap tempat. Dia adalah tokoh
berkarisma, dan dimana-mana bila berkunjung selalu disambut seperti raja, dihadiahi
budak-budak (ata), dan harta, serta selalu ditandu. Dia pun dituturkan punya penyakit
rematik, yakni supi’, yang dikisah tercetus dari jenis sakit dan namanya sendiri.

Dengan sepak-terjangnya, Supit dilaporkan menjadi mabuk kekuasaan, semena-mena
dan suka memeras kepala Minahasa lain, sehingga kemudian kekuasaannya sebagai
perantara dicopot oleh Kompeni Belanda pada tanggal 12 Januari 1711. Supit tinggal
menjadi Kepala Balak Tombariri dan Tondano biasa, sampai mangkat bulan Maret 1738.

Kuburnya dalam waruga dibangun di Katingolan Woloan (kini berada di Woloan II di
depan gedung gereja GMIM ‘Eben Haezar’, dipindah dari Katingolan tahun 1845).

Penguburannya di tahun 1738 itu menimbulkan kericuhan, disebabkan hampir setiap
negeri yang merasa berkepentingan, seperti Balak Tomohon, Tondano dan Ares
menginginkan agar mayatnya dikubur di negerinya. Menurut kisah, Supit wafat di
Tomohon, dan awalnya dikubur di Kamasi, negeri istri pertamanya Laya, lalu di’curi’
orang Tombariri dimakamkan ulang di Katingolan. Ada versi pula, ia dimakamkan
sementara di Kayawu, sebelum dipindahkan ke Katingolan. Lalu versi lain ia mangkat di
Sonder, baru dibawa ke Katingolan 4.


Waruga Supit sekarang.

Memerintah Balak Tombariri, Pacat Supit Sahiri diganti tahun 1738 oleh anaknya dari
Woki Konda, yakni Mongi yang mendapatkan gelar Hukum Majoor dari Kompeni
Belanda. Masa Majoor Mongi ini, ibukota Balak Tombariri dipindahkannya dari
Katingolan ke Lolah (tua).

Menyusul, Mongi diganti oleh adiknya Tinangon sebagai Hukum Majoor Tombariri. Dari 
negeri Lolah (tua), tahun 1793 Belanda memindahkan ibukota Balak Tombariri ke
Tanawangko, setelah sebelumnya Tinangon melakukan perlawanan gara-gara
permintaannya agar dibuat jalan dari Tomohon tidak dipenuhi.

Tinangon merajuk dengan memerintahkan penduduk mempersenjatai diri dan
memperkuat benteng buluh tui yang mengelilingi Lolah tua (kini masih ada sisa-sisanya).


Waruga Majoor Tinangon.

Tapi, Belanda menyiasati penduduk Lolah dengan menembakkan meriam
yang sengaja telah ditaruh uang ringgit. Tentu saja buluh-buluh tui ditebang penduduk
yang mencari uang ringgit-ringgit itu.

Majoor Tinangon diganti sebagai Kepala Balak Tombariri di Tanawangko oleh
Rengkung, putra Mongi yang bermantukan Majoor Herman Carl Waworuntu, Kepala 
Balak Sarongsong. Di masa berikut terkenal Majoor Jacob Mantilen Supit van Tanawangko 
(dibaptis jadi Kristen tahun 1782 oleh Pdt.Johan Rubens Adams) yang lebih terkenal sebagai 
Kepala Balak Tondano tahun 1810 seusai Perang Minahasa di Tondano. Ia merupakan 
anak Mamenkou dengan Tindin, serta keturunan Supit Sahiri dari istri Tondano bernama Riri .

Kepala Balak Tombariri di masanya adalah Poluakan (ditulis Poelowakan) yang meneken 
kontrak politik tanggal 14 September 1810 dengan Residen Inggris Thomas Nelson. Jacob 
Supit sendiri mewakili Balak Tondano.

Berikutnya Kepala Balak (kemudian Distrik) Tombariri telah berkedudukan di Tanawangko 
adalah Majoor Tumurang Andries (dibaptis Pdt.Josephus Kam tahun 1817). Lalu berturut-
turut diganti dua anaknya, yakni Majoor Poleali Hermanus Andries, Majoor Montoh Marcus 
Andries. Berikutnya Majoor Johannes Andries (1840-1857), Majoor Samuel Andries (1857-
1867), Majoor Johannis Marcus Parera (1867- 1895), Hukum Besar Jan J.Manoppo (1895-
1901), Majoor Willem Walangitang (1901-1909), Hukum Besar A.Dengah (1909-1914), dan 
terakhir Hukum Besar Paul Alexander Ratulangi hingga tahun 1920 ketika Distrik 
Tombariri disatukan ke Distrik Tomohon. ***

——–
1.Tumbelwoto pun disebut sebagai pendiri negeri Lolah serta Ranotongkor di Tombariri.
2.Menurut Dr.J.F.G.Riedel, mereka adalah Lokon Mangundap, Kaleleh, Aper, Karundeng, Kapongoan, Karumboh dan Posumah. Ada versi mereka pindah dari Maiesu, karena tidak 
menyetujui kepemimpinan Tonaas Makiohlos, setelah terjadi kebakaran hebat di Maiesu.
3.Kisah lain Lokon Mangundap dan kawan-kawannya yang terkena penyakit Wolo. Tangan 
dan badan mereka sembuh ketika mandi di mataair Woloan. Asal nama Woloan pun 
dikaitkan dari jenis pohon Wolo yang tumbuh di mataair itu. Wolo pun ada menafsir sebagai 
tempat berkumpul untuk menyusun rencana kembali, dikaitkan kisah penghancuran Wanua 
Wangko (Tanawangko, ada menyebutnya sebagai Tomohon) oleh Laksamana Spanyol 
Bartolomeo de Soisa tahun 1651. Tak ada data pasti kapan nama Woloan mulai dipakai 
untuk menyebut negerinya, namun diduga telah dimulai setelah pemindahan ibukota Tombariri 
ke Lolah.
4.Tulisan dalam bahasa Melayu tua dengan huruf kapital pada waruga Supit Sahiri Macex di 
Woloan berbunyi: ‘’Inilah Coubur:Der:Hocom Majo:r:Soupit:Ter:D:B: M:S:1738.’’
  • Sumber gambar dan foto: Bode Talumewo/Matulandi Supit, Didi Sigar dan Rudy Kojongian.
  • Sumber tulisan:Buku ‘Riwayatmu Tomohon’ 1986 dan ‘Tomohon Kotaku’, 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.