Masa kolonial Belanda, hanya segelintir orang Minahasa yang
menjadi pengarang. Dan, dari Tomohon satu orang saja yang tercatatkan dalam
sejarah kesusasteraan Indonesia. Paulus Supit dari Kamasi.
Paulus Supit digolongkan sebagai pengarang Angkatan Balai
Pustaka. Bersama pengarang besar Indonesia lain seperti Sutan Takdir
Alisjahbana, Nur Sutan Iskandar, Abdul Muis, Suman Hs (Hasibuan), Merari
Siregar, Tulis Sutan Sati, Aman Datuk Madjoindo dan lain-lain.
Dari Minahasa, pengarang Angkatan Balai Pustaka selain Paulus Supit, terkenal
pula M.R.Dajoh dan H.M.Taulu. Marius Ramis Dajoh kelahiran Airmadidi 2 November 1909 meninggal di Bandung 15 Mei 1975. Sementara seniornya Hersevien Manus Taulu kelahiran Kawangkoan 19 Juli 1903, meninggal di Manado 4 Maret 1984. Taulu sendiri lama tinggal di Tomohon.
Terbitnya novel
M.R.Dajoh ‘’Peperangan Orang Minahasa dengan orang Spanyol'', serta novel
H.M.Taulu ‘’Bintang Minahasa’’ (Pingkan Mogogoenoij) yang sama-sama
diterbitkan Balai Pustaka tahun 1931, telah memotivasi Paulus Supit untuk mulai menulis novelnya.
Roman-roman awal dari senior (kelak rekan guru) sekaligus teman dekatnya H.M.Taulu seperti ’Radja Pertjintaan’’ yang terbit tahun 1928 serta ‘’Puteri Indonesia’’ di tahun 1929 menjadi pemicu. Disamping itu, karena Paulus Supit sangat berminat menjadi pengarang setelah membaca banyak roman karya sastrawan dari Sumatera yang telah beredar sebelumnya.
Roman-roman awal dari senior (kelak rekan guru) sekaligus teman dekatnya H.M.Taulu seperti ’Radja Pertjintaan’’ yang terbit tahun 1928 serta ‘’Puteri Indonesia’’ di tahun 1929 menjadi pemicu. Disamping itu, karena Paulus Supit sangat berminat menjadi pengarang setelah membaca banyak roman karya sastrawan dari Sumatera yang telah beredar sebelumnya.
Tapi, terutama sosok sang ibu yang menjadi inspirasi novelnya. Ia mencita-citakan sebuah karya sebagai monumen dan tanda bakti serta penghargaan sekaligus bentuk kasih sayang tiada terbatas kepada ibu
yang telah bersusah-lelah untuk memberi sesuap nasi dan pendidikan yang layak
bagi dirinya dan banyak saudaranya (sembilan bersaudara).
Sang ibu setelah ditinggal mati suami yang hanya petani kecil, demi anak-anaknya, mesti berjualan kecil-kecilan dan sebagai tibo di pasar Tomohon yang ketika itu berada di dekat rumahnya di Kamasi (sekarang kompleks kantor dan balai Kelurahan Kamasi).
Sang ibu setelah ditinggal mati suami yang hanya petani kecil, demi anak-anaknya, mesti berjualan kecil-kecilan dan sebagai tibo di pasar Tomohon yang ketika itu berada di dekat rumahnya di Kamasi (sekarang kompleks kantor dan balai Kelurahan Kamasi).
Kasih Ibu dengan doa dan pengorbanannya menjadi refleksi dari kecintaan,
rasa syukur dan ungkapan terima kasih berlimpah dari Paulus Supit dalam novel
yang disumbangsihnya untuk memperkaya dunia pendidikan yang menurutnya masih memprihatinkan di tanah jajahan ketika itu.
Sadar akan beban berat sang ibu, ketika masih bersekolah rakyat di Tomohon, Paulus Supit yang lahir
dengan nama lengkap Paulus Quirenus Rudolf Supit tanggal 22 Mei 1907 bersama
saudara-saudaranya mencoba meringankan beban sang ibu dengan bergiliran menjaga
jualan di pasar. ‘’Pulang sekolah, bahkan sebelum bersekolah pun, saya suka
membantunya berjualan sampai ketika pasar dipindah di Paslaten. Bahkan, ketika ulangan pun saya menjaga dagangan sambil belajar,’’ tuturnya di awal
tahun 1980-an.
Kasih Ibu juga yang menjadi pendorongnya untuk mengejar
beasiswa yang ditawarkan pemerintah kolonial ketika itu. Hampir menamatkan
pendidikan sekolah rakyat, dilaksanakan tes masuk untuk pendidikan Noormalschool
(Sekolah Guru) Gubernemen (pemerintah) di Makassar. Di Manado dilaksanakan
seleksi tingkat Keresidenan Manado yang diikuti banyak peserta
utusan berasal seluruh daerah dari Sulawesi Utara dan Tengah.
Meski baru baik dari sakit, Paulus Supit dengan dorongan sang
ibu mengikuti tes masuk Sekolah Guru itu. Dari sekian banyak peserta yang
mengikuti seleksi hanya dua orang yang lolos, dan di peringkat utama adalah
Paulus Supit.
Sebenarnya di Kuranga Tomohon berada pendidikan sejenis yakni
Normaalschool Kristen (terakhir menjadi Sekolah Pendidikan Guru
Kristen Tomohon) yang melahirkan banyak guru dan berkarya di penjuru Minahasa
bahkan kawasan Indonesia Timur. Namun, selalu menjadi impian setiap calon guru dan orang tuanya kalau dapat bersekolah di luar. Karena tanpa membayar biaya pendidikan bahkan disangu ongkos hidup selama bersekolah. Apalagi karena pamor tinggi untuk lulusan Makassar, bahkan di atas segalanya kalau lulus dari Noormalschool
Ambon (seperti beasiswa yang diraih M.R.Dajoh tahun 1924).
Bagian pertama novel ‘’Kasih Ibu’’ telah dikerjakan Paulus
Supit ketika masa sakitnya sebelum berangkat ke Makassar, hanya memakan waktu beberapa
pekan. Bagian akhir baru diselesaikan di asrama Normaalschool Makassar. Tidak
heran seting novelnya berakhir di pelabuhan Manado ketika ia berangkat untuk
bersekolah di Makassar. ‘’Saya sebenarnya masih ingin membuat lanjutannya. Tapi
tidak pernah jadi,’’ ia menceritakan.
Novel Kasih Ibu merupakan otobiografi Paulus Supit semasa
kecil dengan tokoh utama Rudolf--mengambil nama tengahnya-- sang Ibu dan dua
kakak wanitanya Corrie yang lulus dari Normaalschool Ambon dan Emma. Buku setebal 95
halaman ini diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1932.
Paulus Supit memperoleh honorarium dari penerbit Balai
Pustaka uang yang terbilang sangat besar di masa depresi yang dikenal sebagai
zaman Malaise itu. Seratus dua puluh lima gulden (rupiah) ditambah empat puluh
lima sen. Padahal, harga-harga kebutuhan pokok ketika itu masih berkisar pada
angka-angka sen dan benggol. Kendaraan roda empat tidak ada di Tomohon saat
itu, hanya dimiliki orang Belanda di Manado. Yang ada --meski juga tidak mampu
dibeli orang ketika itu--adalah jenis sepeda. Sepeda termahal adalah merk
Remington, seharga empat puluh gulden.
Lulus dari Normaalschool Makassar, Paulus Supit menjadi guru
dalam ikatan dinas pemerintah kolonial (Gubernemen) Belanda. Ketika itu gaji
bagi tiap lulusan Sekolah Guru berbeda-beda. Lulusan Normaalschool Tomohon
bergaji pertama tiga puluh gulden. Paulus Supit yang lulus dari Makassar
memperoleh empat puluh gulden sebagai gaji awal. Paling rendah adalah guru
angkat hanya memperoleh tujuh gulden lima puluh sen dan kalau sudah senior
mencapai dua puluh gulden. Sedangkan guru keluaran Normaalschool Ambon
memperoleh gaji paling tinggi tujuh puluh lima gulden.
Dengan gaji 40 gulden dan status hebat guru keluaran
Makassar, Paulus Supit yang berdinas awal di Sekolah Rakyat di Tomohon menjadi
pria muda yang sangat membanggakan keluarga dan warga Kamasi, bahkan bagi kota
Tomohon ketika itu. Tidak heran, dia dengan sangat bangga mengisahkan dirinya
menjadi idola banyak wanita dan idaman tiap ibu yang menginginkan putrinya
menjadi pasangan hidupnya.
‘’Saya jatuh cinta dan mengawini wanita tercantik dari
Lahendong,’’ akunya tentang ibu dari anak-anaknya.
MENENTANG BELANDA
Namun Meester, demikian orang Tomohon memanggil sesuai
profesinya, dalam pekerjaannya sebagai guru mengalami banyak
pertentangan dengan atasannya orang Belanda. Kebijakan pendidikan kolonial
ketika itu banyak dikritiknya, sehingga dalam waktu singkat Paulus Supit telah
berpindah kerja di banyak sekolah Gubernemen di Minahasa sampai Gorontalo.
Paling akhir ia memimpin sebuah Sekolah Rakyat di sebuah
negeri kecil di Gorontalo (saya lupa namanya). Sekolah yang hanya memiliki dua
kelas, sebagai buah penentangan dan pertengkarannya yang tidak berkesudahan
dengan para atasan Belandanya.
Di tempat tugas barunya, dia telah berkali memprotes
atasannya akan kondisi minim sekolah. Ketika Inspektur Pendidikan orang Belanda
datang menginspeksi sekolahnya, dia sangat kesal karena laporan-laporannya
untuk perbaikan sekolah tidak diindahkan. Saat inspektur mengkritik tidak
adanya jamban yang sebenarnya telah diusulkan pengadaannya, Paulus Supit
menjadi marah. Menumpahkan kekesalan, sebagai tanda pembangkangan, ketika
inspektur tersebut berbicara, ia sengaja duduk di meja guru dengan
membelakanginya.
Buntutnya Paulus Supit diberhentikan.
Ia hanya beristirahat sejenak. Jiwa kembara muncul di
dirinya. Paulus Supit melanglang ke Tanah Jawa. Tiba di Batavia (Jakarta),
kemudian melanjutkan perjalanan ke Pulau Sumatera. Akhirnya sampai di kota Padang
Sumatera Barat. Di sini ada salah seorang sahabatnya Muhammad Sjafei. Mereka
telah lama berkomunikasi dengan surat-menyurat.
Paulus Supit melanjutkan perjalanan ke Kayutanam di Padang
Pariaman. Ia menjadi guru di Indonesisch
Nederlandsche School (INS) Kayutanam yang didirikan Muhammad Sjafei yang kelak
tahun 1946 menjadi Menteri Pengajaran (Pendidikan) Indonesia. INS Kayutanam adalah lembaga
pendidikan swasta terkenal serta melahirkan banyak tokoh nasional dan pengarang
hebat Indonesia.
Kembali ke Minahasa Paulus Supit tidak melanjutkan lagi profesinya
sebagai guru.
Kasih Ibu yang fragmen ‘’31 Desember’’nya dikutip dalam buku
Bunga Rampai Pengarang Angkatan Balai Pustaka, merupakan satu-satunya
karya Paulus Supit. Dalam
fragmen, ia mendetilkan suasana hiruk pikuk dan kesibukan
para ibu berbelanja kebutuhan pesta dan baju baru di pasar Tomohon
menyongsong Tahun Baru, yang tidak berbeda jauh dengan suasana sekarang.
Paulus Supit masih menulis buku kecil berupa sebuah risalah ketika berada di Palembang Sumatera Selatan. Risalah tersebut terbit dengan disponsori putranya yang ketika itu menjadi Administrator Pelabuhan (Adpel) Palembang.
Paulus Supit masih menulis buku kecil berupa sebuah risalah ketika berada di Palembang Sumatera Selatan. Risalah tersebut terbit dengan disponsori putranya yang ketika itu menjadi Administrator Pelabuhan (Adpel) Palembang.
Putra lainnya Nicolaus Benjamin Supit kelahiran tanggal 19
September 1948 adalah lulusan Akabri Laut tahun 1970. Satu angkatan dengan Bernard
Kent Sondakh yang terakhir menjabat Kepala Staf TNI Angkatan Laut (Kasal)
berpangkat Laksamana. Nico Supit juga lulus sebagai insinyur perkapalan dari
Rusia (masih Uni Soviet) dan terakhir pensiun sebagai perwira tinggi TNI-AL.
Buku Paulus Supit Kasih Ibu tahun 1989 pernah didiskusikan para budayawan
dan seniman Sulut dengan disponsori temannya H.M.Taulu di perpustakaan pribadi
Taulu di Manado. Ketika itu riwayat hidupnya saya tulis panjang-lebar di harian
Manado Post. Ia diundang khusus dan menjadi pembicara tunggal. ‘’Saya ternyata
tidak dilupakan,’’ dia mengatakan ketika itu dengan bersyukur.
Paulus (Quirenus Rudolf) Supit meninggal dan dikuburkan di Kamasi tahun 1994
silam. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.