Sabtu, 05 Oktober 2019

Taratara Bekas Negeri Tombariri








Taratara tahun 1904.






Taratara (atau ada menulis Tara-Tara) adalah salahsatu dari negeri tertua yang didirikan pemukim Tombulu di bekas Distrik Tombariri. Taratara baru memisahkan diri dari Tombariri tahun 1955, bergabung Tomohon. Sekarang empat kelurahan di Kecamatan Tomohon Barat Kota Tomohon.

Adalah para pionir dari Tulau, negeri lama Distrik Sarongsong, yang pertama menyinggahi dan kemudian membuka negeri ini. Garam menjadi kebutuhan pokok yang sangat berharga. Penduduk dari Sarongsong tidak ke pantai Manado seperti dilakukan kebanyakan orang Minahasa lain, tapi mengambil garam di pantai Tanawangko bahkan mencapai hingga Mandolang di Tateli milik Kakaskasen.

Jalur garam Sarongsong di pantai barat Minahasa, menempatkan Taratara sebagai lokasi strategis. Tempat persinggahan yang berkembang setelah mereka membangun terung (pondok) untuk bermalam, sambil mereka menambah penghasilan dari berburu.  1]

Karena hasil berburu lumayan, lebih dekat dengan tempat mengambil garam, dan terutama tanahnya subur untuk diolah, muncul keinginan mereka membangun negeri. Dengan izin Kepala Balak Tombariri yang menguasai kawasan tersebut, para pionir, keluarga-keluarga dari Sarongsong membuka Taratara sebagai satu negeri baru di Tombariri.

Seperti lazim di mana-mana negeri, para pionir memohon petunjuk Empung tempat yang bagus dan terberkati untuk kemajuan negeri. Di lokasi Timbesi (tempat tinggi) mereka menggelar fosonya. Pertandanya adalah lokasi di mana terung-terung telah didirikan. Maka, satu batu Tumani atau batu Tinalingaan um wanua diletakkan, sebagai pertanda resmi berdiri negeri Taratara. Pemukiman tumbuh dari lokasi ini.  2]

Negerinya diberi nama Taratara. Karena masa itu wilayah tersebut banyak ditumbuhi sejenis rumput yang berbunyi taza-taza atau tar-tar.  3]

Para penutur dan pencatat hikayat Taratara tempo dulu sepakat kejadian ini terjadi di tahun 1701. Meski ada berpendapat sudah terjadi jauh-jauh hari sebelumnya.

Tulong dan Kalangi dianggap pemimpin awal Taratara.  4]

Dotu Tulong sebagai pemimpin rombongan menjadi kepala negeri pertama. Sebagai Tonaas um Wanua. Ia pun bertindak sebagai walian (imam agama leluhur). Ia menganjurkan pembukaan areal perkebunan.

Tahun 1720-an dikisah ia diganti Kalangi yang memimpin perluasan pemukiman. Kalangi diganti oleh Tambingon, memerintah tahun 1738 hingga 1750.

Masa Tambingon, tercetus sengketa tanah dengan negeri tetangga. Taratara sering dilanggar musuh, dan penduduk diculik atau dibunuh. Untuk pertahanan, Tambingon memerintahkan penduduk membangun warangka, yakni lobang jebakan sedalam 3 meter yang diberi ranjau bambu runcing. Karena muslihat warangka ini, bahaya terhindar dengan korban jiwa besar di pihak lawan.

Sebagai monumen peristiwa kemenangan tersebut, ditancapkan batu Tinalingaan um Wanua. Batunya sebagai ikrar yang bermakna: ‘’Bila batu perjanjian hilang atau diambil penduduk negeri lain, maka, demikian pula akan terjadi pada penduduk Taratara. Mereka akan kehilangan kepala mereka.’’  5]

Tradisi menyebut Tambingon digantikan Sembel tahun 1750 yang dianggap membangkitkan kebudayaan seni pahat dan seni ukir seperti terlihat pada relief penutup batu waruga Taratara.

Lontoh menggantikan Sembel tahun 1789. Lontoh dipercaya sebagai peletak dasar batas Taratara saat ini. Batas-batas yang disepakati ketika itu, di utara wilayah Taratara mencapai lereng selatan Gunung Lokon. Di barat daerah sepanjang 5 kilometer mengikuti sipat dengan Ranotongkor sekarang. Di timur wilayah Katingolan Woloan dengan menyusuri sepanjang 400 meter sebelah lain sungai Ranowangko, memotong ke jurusan Bukit Irang dan naik ke lereng Gunung Lokon. Sedangkan batas di sebelah selatan mengikuti sipat dengan Pinaras dan Sawangan sekarang.

WILAR
Ketika Lontoh meninggal tahun 1808, dan penduduk Taratara belum sempat memilih pengganti, serdadu Belanda yang akan menyerbu Minawanua Tondano dalam perang Minahasa di Tondano 1808-1809 liwat di Taratara. Mereka membawa perahu Kora-kora serta perbekalan perang, termasuk meriam yang ditarik tawanan Mindanau (Mangindano) serta pemuda yang dipaksa atau ditangkap berasal negeri-negeri Tombariri yang dilewati.

Penduduk Taratara takut dipaksa menarik kora-kora. Mereka lari mengungsi di utara dan selatan Taratara, di lokasi bernama Gonggulang, tempat beristirahat juga sebagai persembunyian yang dibangun di kebun. Mereka telah mendengar kekejaman serdadu Belanda memaksa penduduk dan pemuda Lolah, negeri lain Tombariri yang berada di barat Taratara serta penentangan pemimpinnya Hukum Woi yang berakibat pemecatannya.

Maka, ketika serdadu Belanda memasuki Taratara, mereka tidak menemukan seorang pun. Hanya ada seorang bernama Wilar yang ditinggal penduduk sendirian, karena penyakitan. Wilar dijadikan penunjuk jalan. Pasalnya sebelum mengungsi penduduk telah mengaktifkan kembali jebakan-jebakan warangka serta memutuskan jembatan penghubung dari arah Lolah (di dekat Ranotongkor sekarang).

Karena jasa Wilar menunjukkan tempat-tempat berbahaya, ia diangkat sebagai Hukum (Tua) Taratara yang pertama. Administrasi kolonial Belanda dianggap bertolak darinya.

Berangsur-angsur penduduk Taratara yang mengungsi kembali, dan mengakui kepemimpinannya. Mereka mengindahkan perintah Belanda liwat Wilar untuk membangun kembali jembatan penghubung yang dirusak di lokasi Meras dan Ranowatu.

Jalanan yang diliwati kora-kora dan serdadu Belanda, konon, yang pertama membuka isolasi Minahasa di bagian barat. Ruas jalan rintisan tersebut sekarang menjadi jalan raya yang membentang dari Tanawangko sampai Tomohon.

Pengganti Wilar adalah Roring, disebut memerintah 1810-1815, lalu Kandow 1815-1840, Wati Roring 1840-1855 dan Hukum Tua Welan yang ketika menjadi Kristen bernama Daniel Wohon. Daniel Wohon adalah salah seorang Hukum Tua Taratara yang sangat disegani, karena memerintah dengan cakap sekali.  6]

Kebijakan kolonial Belanda berlaku dan diterapkan di Taratara. Penduduk sejak tahun 1819 diharuskan menanam kopi yang dikumpul di gudang kopi Tanawangko. Ketika panennya berlimpah, di Taratara dibangun sebuah gudang kopi yang masih berfungsi hingga akhir abad ke-19. Penduduk pun mengerjakan hereendienst (kerja wajib atau paksa atau rodi) membangun jalan dan jembatan. Antara lain membuka ruas jalan bekas kora-kora untuk angkutan gerobak yang membawa kopi dan beras hasil Taratara. Masa itu juga tanah-tanah kebun dan pemukiman dari tanah Kalakeran dipilah sebagai Pasini.

Seperti negeri lain di Distrik Tombariri, Taratara ikut memiliki bersama tanah Kalakeran Tombariri yang sekarang berada di stad Tanawangko, di Desa Borgo dan Sarani Matani. Juga tanah Kalakeran Tombariri di Manado. Bersama penduduk negeri Tombariri lain, mereka telah membangun di budel kalakeran tersebut, Pasar Sembilan Manado yang di masa kolonial tahun 1919 telah disewa Gemeente (pemerintah kota) Manado.  7]    

-------
1] Dihadis lokasi awal terung para pionir sudah berada di kawasan stad Taratara. Sekarang kompleks gereja GMIM Imanuel Taratara (perbatasan Taratara Satu dan Taratara Dua).
2] Batu Tumani terletak sekitar 40 meter dari utara gereja Imanuel. Di sini masih terdapat beberapa waruga. Satu waruga di antaranya tahun 1909 telah dibawa ke Negeri Belanda, jadi koleksi 's Rijks Etnographisch Museum di Leiden sejak awal 1910.
3] Zendeling Nicolaas Graafland berpendapat Taratara berasal dari jenis rumput ini. Tapi, ada lain anggapan taza-taza adalah jenis bunga yang tumbuh di rawa-rawa dan kolam, dengan sumber tempat yang menjadi asal tumbuhan subur ini adalah taza-taza di saluran Kemer yang mengalir di tengah Taratara.
4] Versi berkembang berikut menyebut Dotu Kalangi dan Tambingon. Versi lain menyatukan mereka. Tulong bersama Kalangi dan Tambingon.
5] Batu yang pernah dikeramatkan sebelum era Kristen ini berada di sekitar SD GMIM 1 Taratara. Konon batu ini ditancapkan oleh Walian Sumarandak Lelepouan, namun dalam versi pertama sebagai batu Tumani dikaitkan tempo pendirian negeri masa Tulong, ketika dalam acara foso para pionir bertanya tempat tersebut berjawab baik untuk ditinggali dan dijadikan sebuah negeri. Versi lain, berkait masa Tambingon, bahwa batu yang diletakkan tokoh walian sama Sumarandak Lelepouan adalah Watu Zi’zang um Wanua, atau batu penjaga dan pelindung negeri, yang antaranya bernama Poronglaka dan Manembo-nembo, dipasang mengelilingi negeri Taratara.
6] Disebut Daniel Wohon memerintah hingga tahun 1867. Namun dalam suratkabar Tjahaja Sijang terbitan Tanawangko No.11 tahun 1871 dicatatkan ia masih sebagai Hukum Tua Taratara, dan mengaku sebelum menjadi Kristen adalah seorang walian yang memimpin upacara-upacara foso di Taratara. Ia pun masih dicatat di tahun 1873. Dalam kisah tutur, ia dipercaya sempat merangkap memerintah Woloan, Ranotongkor, Lolah dan Lemoh. Mungkin sebagai Wakil Kepala Distrik Tombariri (Kumarua atau Hukum Kedua), karena di masanya yang menjadi Hukum Tua Lolah Joel Saul Tindangen 1853-1883, yang merangkap di Ranotongkor 1865-1885. Sedangkan di Woloan Perewis Rumondor lalu diganti Hukum Tua Fransiskus Kojongian. Distrik Kedua Tombariri di Taratara baru resmi terbentuk tahun 1880 dengan Hukum Kedua pertama Nataniel Bastiaan Andries.
7] Sampai masa Hukum Tua Pieter Tangkuman (memerintah 1953-1958, 1961-1978) meski Taratara telah bergabung dengan Tomohon (seperti Woloan), masih menuntut bagian dari penyewaan Kalakeran Tombariri berupa Pasar Sembilan di Manado, serta sewa fasilitas di tanah Kalakeran Tanawangko, termasuk hasil penyewaan bangunan pertokoan di Borgo.


·         Foto dari Berichten uit Nederlandsch Oost-Indie voor de leden van den Sint Claverbond 1905.
·         Sumber tulisan buku ‘Riwayatmu Tomohon’ 1986, buku ’Tomohon Kotaku’ 2006 dan naskah ‘Tomohon Dulu dan Kini’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.