Taratara tahun 1904. |
Taratara (atau ada menulis Tara-Tara) adalah
salahsatu dari negeri tertua yang didirikan pemukim Tombulu di bekas Distrik
Tombariri. Taratara baru memisahkan diri dari Tombariri tahun 1955, bergabung
Tomohon. Sekarang empat kelurahan di Kecamatan Tomohon Barat Kota Tomohon.
Adalah para pionir dari Tulau, negeri lama
Distrik Sarongsong, yang pertama menyinggahi dan kemudian membuka negeri ini. Garam
menjadi kebutuhan pokok yang sangat berharga. Penduduk dari Sarongsong tidak ke
pantai Manado seperti dilakukan kebanyakan orang Minahasa lain, tapi mengambil
garam di pantai Tanawangko bahkan mencapai hingga Mandolang di Tateli milik
Kakaskasen.
Jalur garam Sarongsong di pantai barat
Minahasa, menempatkan Taratara sebagai lokasi strategis. Tempat persinggahan
yang berkembang setelah mereka membangun terung
(pondok) untuk bermalam, sambil mereka menambah penghasilan dari berburu. 1]
Karena hasil berburu lumayan, lebih dekat
dengan tempat mengambil garam, dan terutama tanahnya subur untuk diolah, muncul
keinginan mereka membangun negeri. Dengan izin Kepala Balak Tombariri yang
menguasai kawasan tersebut, para pionir, keluarga-keluarga dari Sarongsong
membuka Taratara sebagai satu negeri baru di Tombariri.
Seperti lazim di mana-mana negeri, para
pionir memohon petunjuk Empung tempat
yang bagus dan terberkati untuk kemajuan negeri. Di lokasi Timbesi (tempat
tinggi) mereka menggelar fosonya.
Pertandanya adalah lokasi di mana terung-terung telah didirikan. Maka, satu
batu Tumani atau batu Tinalingaan um wanua diletakkan, sebagai
pertanda resmi berdiri negeri Taratara. Pemukiman tumbuh dari lokasi ini. 2]
Negerinya diberi nama Taratara. Karena masa
itu wilayah tersebut banyak ditumbuhi sejenis rumput yang berbunyi taza-taza atau tar-tar. 3]
Para penutur dan pencatat hikayat Taratara
tempo dulu sepakat kejadian ini terjadi di tahun 1701. Meski ada berpendapat
sudah terjadi jauh-jauh hari sebelumnya.
Tulong dan Kalangi dianggap pemimpin awal
Taratara. 4]
Dotu Tulong sebagai pemimpin rombongan
menjadi kepala negeri pertama. Sebagai Tonaas
um Wanua. Ia pun bertindak sebagai walian
(imam agama leluhur). Ia menganjurkan pembukaan areal perkebunan.
Tahun 1720-an dikisah ia diganti Kalangi yang
memimpin perluasan pemukiman. Kalangi diganti oleh Tambingon, memerintah tahun
1738 hingga 1750.
Masa Tambingon, tercetus sengketa tanah
dengan negeri tetangga. Taratara sering dilanggar musuh, dan penduduk diculik
atau dibunuh. Untuk pertahanan, Tambingon memerintahkan penduduk membangun warangka, yakni lobang jebakan sedalam 3
meter yang diberi ranjau bambu runcing. Karena muslihat warangka ini, bahaya
terhindar dengan korban jiwa besar di pihak lawan.
Sebagai monumen peristiwa kemenangan tersebut,
ditancapkan batu Tinalingaan um Wanua. Batunya sebagai ikrar yang bermakna:
‘’Bila batu perjanjian hilang atau diambil penduduk negeri lain, maka, demikian
pula akan terjadi pada penduduk Taratara. Mereka akan kehilangan kepala
mereka.’’ 5]
Tradisi menyebut Tambingon digantikan Sembel
tahun 1750 yang dianggap membangkitkan kebudayaan seni pahat dan seni ukir
seperti terlihat pada relief penutup batu waruga Taratara.
Lontoh menggantikan Sembel tahun 1789. Lontoh
dipercaya sebagai peletak dasar batas Taratara saat ini. Batas-batas yang
disepakati ketika itu, di utara wilayah Taratara mencapai lereng selatan Gunung
Lokon. Di barat daerah sepanjang 5 kilometer mengikuti sipat dengan Ranotongkor
sekarang. Di timur wilayah Katingolan Woloan dengan menyusuri sepanjang 400
meter sebelah lain sungai Ranowangko, memotong ke jurusan Bukit Irang dan naik
ke lereng Gunung Lokon. Sedangkan batas di sebelah selatan mengikuti sipat
dengan Pinaras dan Sawangan sekarang.
WILAR
Ketika Lontoh meninggal tahun 1808, dan
penduduk Taratara belum sempat memilih pengganti, serdadu Belanda yang akan
menyerbu Minawanua Tondano dalam perang Minahasa di Tondano 1808-1809 liwat di
Taratara. Mereka membawa perahu Kora-kora
serta perbekalan perang, termasuk meriam yang ditarik tawanan Mindanau
(Mangindano) serta pemuda yang dipaksa atau ditangkap berasal negeri-negeri Tombariri
yang dilewati.
Penduduk Taratara takut dipaksa menarik
kora-kora. Mereka lari mengungsi di utara dan selatan Taratara, di lokasi
bernama Gonggulang, tempat beristirahat juga sebagai persembunyian yang dibangun
di kebun. Mereka telah mendengar kekejaman serdadu Belanda memaksa penduduk dan
pemuda Lolah, negeri lain Tombariri yang berada di barat Taratara serta penentangan
pemimpinnya Hukum Woi yang berakibat pemecatannya.
Maka, ketika serdadu Belanda memasuki
Taratara, mereka tidak menemukan seorang pun. Hanya ada seorang bernama Wilar
yang ditinggal penduduk sendirian, karena penyakitan. Wilar dijadikan penunjuk
jalan. Pasalnya sebelum mengungsi penduduk telah mengaktifkan kembali
jebakan-jebakan warangka serta memutuskan jembatan penghubung dari arah Lolah
(di dekat Ranotongkor sekarang).
Karena jasa Wilar menunjukkan tempat-tempat
berbahaya, ia diangkat sebagai Hukum (Tua) Taratara yang pertama. Administrasi
kolonial Belanda dianggap bertolak darinya.
Berangsur-angsur penduduk Taratara yang
mengungsi kembali, dan mengakui kepemimpinannya. Mereka mengindahkan perintah
Belanda liwat Wilar untuk membangun kembali jembatan penghubung yang dirusak di
lokasi Meras dan Ranowatu.
Jalanan yang diliwati kora-kora dan serdadu
Belanda, konon, yang pertama membuka isolasi Minahasa di bagian barat. Ruas
jalan rintisan tersebut sekarang menjadi jalan raya yang membentang dari
Tanawangko sampai Tomohon.
Pengganti Wilar adalah Roring, disebut
memerintah 1810-1815, lalu Kandow 1815-1840, Wati Roring 1840-1855 dan Hukum
Tua Welan yang ketika menjadi Kristen bernama Daniel Wohon. Daniel Wohon adalah
salah seorang Hukum Tua Taratara yang sangat disegani, karena memerintah dengan
cakap sekali. 6]
Kebijakan kolonial Belanda berlaku dan
diterapkan di Taratara. Penduduk sejak tahun 1819 diharuskan menanam kopi yang
dikumpul di gudang kopi Tanawangko. Ketika panennya berlimpah, di Taratara
dibangun sebuah gudang kopi yang masih berfungsi hingga akhir abad ke-19. Penduduk
pun mengerjakan hereendienst (kerja wajib
atau paksa atau rodi) membangun jalan dan jembatan. Antara lain membuka ruas
jalan bekas kora-kora untuk angkutan gerobak yang membawa kopi dan beras hasil
Taratara. Masa itu juga tanah-tanah kebun dan pemukiman dari tanah Kalakeran
dipilah sebagai Pasini.
Seperti negeri lain di Distrik Tombariri,
Taratara ikut memiliki bersama tanah Kalakeran Tombariri yang sekarang berada
di stad Tanawangko, di Desa Borgo dan Sarani Matani. Juga tanah Kalakeran
Tombariri di Manado. Bersama penduduk negeri Tombariri lain, mereka telah
membangun di budel kalakeran tersebut, Pasar Sembilan Manado yang di masa
kolonial tahun 1919 telah disewa Gemeente
(pemerintah kota) Manado. 7]
-------
1] Dihadis lokasi awal terung para pionir sudah berada di kawasan
stad Taratara. Sekarang kompleks gereja GMIM Imanuel Taratara (perbatasan
Taratara Satu dan Taratara Dua).
2] Batu Tumani terletak sekitar 40 meter dari utara gereja
Imanuel. Di sini masih terdapat beberapa waruga. Satu waruga di antaranya tahun 1909 telah dibawa ke Negeri Belanda, jadi koleksi 's Rijks Etnographisch Museum di Leiden sejak awal 1910.
3] Zendeling Nicolaas Graafland berpendapat Taratara berasal
dari jenis rumput ini. Tapi, ada lain anggapan taza-taza adalah jenis bunga
yang tumbuh di rawa-rawa dan kolam, dengan sumber tempat yang menjadi asal
tumbuhan subur ini adalah taza-taza di saluran Kemer yang mengalir di tengah
Taratara.
4] Versi berkembang berikut menyebut Dotu Kalangi dan
Tambingon. Versi lain menyatukan mereka. Tulong bersama Kalangi dan Tambingon.
5] Batu yang pernah dikeramatkan sebelum era Kristen ini
berada di sekitar SD GMIM 1 Taratara. Konon batu ini ditancapkan oleh Walian
Sumarandak Lelepouan, namun dalam versi pertama sebagai batu Tumani dikaitkan
tempo pendirian negeri masa Tulong, ketika dalam acara foso para pionir
bertanya tempat tersebut berjawab baik untuk ditinggali dan dijadikan sebuah
negeri. Versi lain, berkait masa Tambingon, bahwa batu yang diletakkan tokoh
walian sama Sumarandak Lelepouan adalah Watu
Zi’zang um Wanua, atau batu penjaga dan pelindung negeri, yang antaranya
bernama Poronglaka dan Manembo-nembo, dipasang mengelilingi
negeri Taratara.
6] Disebut Daniel Wohon memerintah hingga tahun 1867. Namun
dalam suratkabar Tjahaja Sijang terbitan Tanawangko No.11 tahun 1871 dicatatkan
ia masih sebagai Hukum Tua Taratara, dan mengaku sebelum menjadi Kristen adalah
seorang walian yang memimpin upacara-upacara foso di Taratara. Ia pun masih
dicatat di tahun 1873. Dalam kisah tutur, ia dipercaya sempat merangkap
memerintah Woloan, Ranotongkor, Lolah dan Lemoh. Mungkin sebagai Wakil Kepala
Distrik Tombariri (Kumarua atau Hukum Kedua), karena di masanya yang menjadi
Hukum Tua Lolah Joel Saul Tindangen 1853-1883, yang merangkap di Ranotongkor
1865-1885. Sedangkan di Woloan Perewis Rumondor lalu diganti Hukum Tua Fransiskus
Kojongian. Distrik Kedua Tombariri di Taratara baru resmi terbentuk tahun 1880
dengan Hukum Kedua pertama Nataniel Bastiaan Andries.
7] Sampai masa Hukum Tua Pieter Tangkuman (memerintah 1953-1958,
1961-1978) meski Taratara telah bergabung dengan Tomohon (seperti Woloan),
masih menuntut bagian dari penyewaan Kalakeran Tombariri berupa Pasar Sembilan di
Manado, serta sewa fasilitas di tanah Kalakeran Tanawangko, termasuk hasil penyewaan
bangunan pertokoan di Borgo.
·
Foto
dari Berichten uit Nederlandsch
Oost-Indie voor de leden van den Sint Claverbond 1905.
·
Sumber
tulisan buku ‘Riwayatmu Tomohon’ 1986, buku ’Tomohon Kotaku’ 2006 dan naskah
‘Tomohon Dulu dan Kini’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.